Direktur Jenderal HAM Soroti Peningkatan Kasus Anak Berkonflik dengan Hukum, Desak Revisi UU SPPA

Sigit Purnomo

Reporter

Senin, 16 September 2024  /  3:03 pm

Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM), Kementerian Hukum dan HAM Manusia, Dhahana Putra. Foto: Ist.

JAKARTA, TELISIK.ID - Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM), Dhahana Putra, menyoroti tren peningkatan kasus anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) di Indonesia. Fenomena ini menimbulkan keprihatinan masyarakat yang mendesak pemerintah untuk mengambil langkah lebih efektif dalam mencegah terjadinya kasus-kasus tersebut.

Dhahana menegaskan bahwa hak-hak anak telah dijamin secara tegas dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa semakin banyak anak terlibat dalam tindak pidana berat seperti pembunuhan dan kekerasan seksual.

"Harus kita akui, peningkatan kasus kejahatan serius yang melibatkan anak belakangan ini memunculkan pertanyaan besar terkait efektivitas pendekatan restorative justice bagi ABH," ujar Dhahana.

Restorative justice telah diatur secara formal melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Dhahana menjelaskan bahwa UU SPPA menjadi landasan bagi penerapan peradilan pidana yang berfokus pada pemulihan, bukan semata-mata hukuman.

Salah satu konsep utama yang diperkenalkan dalam UU SPPA adalah diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke luar sistem peradilan.

Baca Juga: Kasus Kekerasan Seksual Anak dan Perempuan Mendominasi Sepanjang Tahun 2023

Pasal 5 ayat (1) UU SPPA secara eksplisit menyatakan bahwa sistem peradilan pidana anak harus mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Sementara itu, Pasal 7 ayat (1) mengatur bahwa diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, dengan ketentuan bahwa tindak pidana yang dilakukan anak tidak diancam pidana penjara lebih dari tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Namun, dalam beberapa kasus kejahatan berat seperti pembunuhan dan kekerasan seksual, ancaman pidana yang dikenakan lebih dari tujuh tahun. Hal ini membuat diversi tidak dapat diterapkan, dan anak yang terlibat dalam tindak pidana berat harus menghadapi proses hukum formal.

Melihat tren peningkatan kasus kejahatan yang melibatkan anak dengan ancaman pidana di atas tujuh tahun, Dhahana Putra mengusulkan perlunya revisi terhadap UU SPPA.

Menurutnya, revisi tersebut diperlukan untuk memberikan kejelasan kapan rehabilitasi dapat diberikan dan kapan proses hukum formal lebih tepat diterapkan.

"Penyesuaian ini harus memperhatikan keadilan bagi korban, tetapi tetap mempertimbangkan hak anak. Dengan adanya revisi UU SPPA, diharapkan proses hukum yang dijalankan dapat lebih adil dan sesuai dengan dinamika perkembangan tindak kriminal yang melibatkan anak," jelas Dhahana.

Dhahana menambahkan bahwa revisi UU SPPA harus memastikan anak yang terlibat dalam kejahatan berat tetap memiliki kesempatan untuk mendapatkan rehabilitasi yang efektif, sementara hak-hak korban juga tidak terabaikan.

Dengan penyesuaian ini, diharapkan sistem peradilan anak di Indonesia dapat berjalan lebih komprehensif dan adil, baik bagi anak pelaku maupun korban.

Baca Juga: Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak Tertinggi di Buton Selatan

Selain itu, Dhahana juga menyoroti perlunya pengaturan lebih jelas mengenai restorative justice dalam undang-undang atau peraturan pemerintah.

Saat ini, penerapan restorative justice di Indonesia diatur melalui berbagai peraturan, seperti Peraturan Kepolisian, Peraturan Kejaksaan, dan Peraturan Mahkamah Agung. Menurutnya, adanya payung hukum yang lebih komprehensif akan mendukung penerapan pendekatan keadilan restoratif yang lebih efektif di seluruh jenjang peradilan.

"Dengan adanya regulasi yang lebih kuat dan jelas, diharapkan restorative justice dapat menjadi solusi yang tidak hanya memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga memberikan kesempatan rehabilitasi yang layak bagi anak yang berkonflik dengan hukum," pungkas Dhahana.

Revisi UU SPPA dan pengaturan restorative justice yang lebih baik diyakini akan memperkuat perlindungan terhadap anak serta menciptakan keseimbangan antara pemulihan bagi anak dan hak-hak korban kejahatan. (C-Adv)

Penulis: Sigit Purnomo

Editor: Haerani Hambali

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS