Ibadah Puasa, antara Syariat dan Hakekat

Syaifuddin Mustaming

Penulis

Sabtu, 16 Maret 2024  /  6:59 am

Syaifuddin Mustaming, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Kolaka. Foto: Ist.

Oleh: Syaifuddin Mustaming

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Kolaka

PUASA atau “ash-shiyam”, berasal dari kata sháma, yashúmu, sháiman–shiyám–shaum, terkandung makna ”imsákun nafs,” yang berarti menahan diri dari sesuatu.

Secara umum, pengertian ash-shiyam (shaum) adalah ”Menahan diri dari segala perbuatan yang membatalkan, dilakukan sejak terbit fajar hingga terbenam matahari disertai niat berpuasa pada hari-hari yang tidak diharamkan untuk melakukan puasa.”

Dalam perspektif syariat, makna ash-shiyam atau puasa memiliki dua pengertian: pertama, menahan diri dari segala perbuatan yang mufthirát (membatalkan), dan kedua, menahan diri dari segala perbuatan yang muhlikát (merusak).

Mufthirát adalah segala tuntutan jasmaniah, seperti: makan, minum, dan hubungan seksual suami-isteri. Menahan diri dari mufthirát berarti menghentikan segala kegiatan jasmaniah yang telah disebutkan mulai terbit fajar hingga terbenam matahari selama bulan Ramadan, dilandasi keimanan dan ketaatan terhadap Allah SWT, serta mengharapkan keridhaan-Nya semata-mata. Padahal pada hari-hari biasa (di luar bulan Ramadan), semua perbuatan itu dihalalkan.

Muhlikát adalah segala tuntutan nafsu dan syahwat yang menjurus kepada perbuatan dosa (munkar dan maksiat) seperti berdusta, menista, memfitnah, menghasut, menggunjing, mengadu domba, menipu, dan perbuatan keji yang tidak terpuji lainnya. Semua perbuatan muhlikát tadi diharamkan bagi mukmin bukan hanya pada bulan Ramadhan saja, melainkan juga pada setiap saat.

Menahan diri dari perbuatan mufthirát dan muhlikát itulah yang dimaksud dengan ibadah puasa dalam syariat Islam. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Bukanlah puasa itu (menahan diri) dari makan dan minum saja, melainkan juga menahan diri dari perbuatan jahat dan keji. Bila ada orang mencaci maki atau hendak berlaku jahat kepadamu, maka katakanlah kepadanya: ”Sesungguhnya aku berpuasa, sesungguhnya aku berpuasa.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Hakim)

Baca Juga: Pelayanan Publik yang Berkeadilan Sosial

Dalam hadits lain, Nabi SAW Bersabda: “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, dan beramal dengannya, maka tidak ada penilaian Allah atas jerih payahnya meninggalkan makan dan minum itu”. (HR. Jamaah).

Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ibadah puasa yang sempurna dapat mengantarkan orang mukmin untuk mendapat derajat muttaqín dan muqarrabín. Menurut beliau, untuk mencapai derajat tersebut dalam melaksanakan ibadah puasa diperlukan beberapa syarat, antara lain:

Pertama; menahan mata dari melihat semua perkara yang terlarang,

Kedua; menahan lidah (perkataan) dari berkata keji dan kotor,

Ketiga; menahan telinga dari mendengarkan suara yang dapat menyeret pada kejahatan,

Keempat; menahan anggota badan dari perbuatan terlarang, seperti menahan perut dari makanan dan minuman yang diharamkan,

Kelima; menahan nafsu makan yang berlebihan pada waktu berbuka, sehingga menyebabkan kekenyangan, badan lesu, kemauan hilang, dan kurang gairah untuk beramal,

Baca Juga: Tidak Semua Yahudi Pro Israel

Keenam; setiap kali berbuka puasa, hati selalu takut kalau-kalau terdapat kekurangan dalam  menjalankan puasa dan senantiasa berharap agar puasanya diterima Allah SWT.

Dengan demikian, ibadah puasa merupakan perjuangan besar, dilakukan dengan menahan diri dari segala tuntutan nafsu syahwati yang menjurus kepada perbuatan negatif destruktif, kemudian mengendalikannya agar tunduk pada ketentuan Allah SWT.

Hakekat puasa adalah membentuk manusia yang bertakwa. Implikasi dari ibadah puasa menggiring dan menjadikan mukmin untuk senantiasa taat kepada Allah. Dengan kata lain bahwa segala i’tikad, kecenderungan khanif dan amaliah yang baik, termasuk optimalisasi pengamalan ibadah serta ikhtiar maksimal meninggalkan semua larangan Allah SWT, mesti terwujud di setiap saat, bukan hanya di bulan suci Ramadan.

Dengan kemampuan mengendalikan nafsu syahwati tersebut, manusia makin terpelihara dari berbagai pengingkaran, pelanggaran serta penyimpangan perilaku yang menyungkurkan martabat kemanusiaan ke tempat dan tingkat yang paling rendah dan hina (asfala sáfilín). (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS