Jelang 2025: Saya, Kami, Dia, dan Kita
Penulis
Minggu, 08 Desember 2024 / 7:54 pm
Oleh: Suryadi
Penulis Buku & Pemerhati Budaya
GENERALISASI “300 tahun penjajahan Belanda” perlu dilihat dengan pandangan kritis, apabila hendak diterapkan di seluruh wilayah Kepulauan Nusantara, tulis sejarawan Indonesia A.B. Lapian (pengantar buku G.J. Resink berjudul Bukan 350 Tahun Dijajah, 2012: xxi).
Sejarawan A.B.Lapian kini telah berpulang. Toh berapa pun lamanya dijajah, pasti hidup di bawah penjajah asing, tak boleh terulang di negeri ini.
Sebentar lagi tahun 2024 pasti tutup, tahun 2025 pun segera dimasuki.
Jalan tengah sebutan Indonesia telah dimulai 1908 saat rasa nasionalisme bangkit dari anak-anak bangsa dan kemudian menjelma menjadi Hari Kebangkitan Nasional. Mungkin juga setidaknya 1928 ketika para kaum muda dengan berani mengumandangkan Soempah Pemoeda, sehingga lahirlah Hari Sumpah Pemuda.
Paling mutakhir, ketika para pendiri bangsa ini kepada dunia resmi bersitegas mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Dari klaim-klaim resmi berbangsa, berbahasa, dan bernegara, yakni Indonesia yang satu, tampak jelas sudah ada sejak 116 tahun atau 96 tahun atau sekurangnya sudah sejak 79 tahun silam.
Akan tetapi, hingga kini masih ada saja ironi dan dekil yang belum tuntas, kalau tak mau dikatakan kian menjadi-jadi. Apakah itu? Negeri ini masih dililit oleh klaim-klaim “aku/saya”, “kamu”, “kami”, dan “dia”, yang seharusnya bagaimanapun baik-buruk semua yang terjadi, adalah “kita”. Agaknya, inilah bentuk ironi dan dekil bangsa ini, yang berdampak tak kalah pahitnya ketimbang masa-masa dulu saat dijajah secara fisik dan psikologis oleh bangsa asing.
Ketika duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR) atau Sekolah Dasar (SD) setiap anak bangsa ini, pasti pernah belajar Bahasa Indonesia. Khususnya, tentang kata ganti “aku/ saya”, “kamu”, “kami”, “dia”, dan “kita”.
“Aku/ saya” sebagai kata ganti orang pertama tunggal, sedangkan “kamu” dan “kami” merupakan kata ganti orang kedua tunggal dan jamak. Sementara “dia” dan “kita” adalah kata ganti orang ketiga tunggal dan jamak.
Dalam konteks menuding, bolehlah bila dikatakan orang pertama tunggal adalah yang terlibat berbicara dengan orang kedua tunggal, sedangkan “dia” dan “kita” merupakan orang ketiga tunggal dan jamak yang mereka (“aku/ saya” dan “kami”) tuding.
Pemberian tanda kutip (“…”) pada kata ganti, bukan dimaksudkan itu sebagai kata asing, tapi sekadar untuk membedakan dengan kata-kata lain dalam kalimat. Pada judul sengaja penulis sengaja tulis dia bukan Dia (bukan dengan huruf besar “D”). Di negeri dengan kelompok tertentu yang gampang dan cepat “terpanggang” ini, penulis “sangat takut” dituduh telah menista agama, bila dia ditulis dengan awal huruf besar “D”.
Di tengah-tengah hidup merdeka dari penjajah bangsa asing, banyak dari anak-anak bangsa ini, hingga kini masih terlibat pertengkaran hanya karena “aku/ saya” dan “kami” untuk men-“dia”-kan saat menghadapi kejadian negatif. Bukan “kita” yang ikut bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa, negatif atau positif sekalipun.
Baca Juga: Kepedulian dalam Pengabdian Sepanjang Masa
Paling konkret hal itu sangat terasa ketika “aku/ saya” dan “kami” mendapati praktek pelacuran, misalnya. Padahal, kebanyakan pelacuran oleh WTS (tidak bermaksud merendahkan kaum Hawa) di negeri “lemah ekonomi” ini --sangat mungkin terjadi karena persoalan sosial yang kebanyakan dari “aku/ saya” dan “kami” ikut andil langsung atau tak langsung “mendorong keberadaannya”.
Bukankah praktek-praktek pelacuran yang masih dialami warga negara yang belum beruntung ini, banyak juga dilakukan oleh kaum “berdasi”? Sebutan “berdasi” populer ditujukan kepada kaum hedon. Misalnya, kaum berpunya yang berada pada “posisi-posisi empuk dan karenanya mampu menyenang-senangkankan diri sendiri” lewat fasilitas negara, demi perbuatan jahatnya. Contoh, korupsi dengan segala turunannya!
Contoh lain dari kegagalan melihat “aku/ saya”, dan dia sebagai “kita”, dapat dilihat pada banyak bertebarannya anak-anak bangsa yang mengklaim sebagai “ankamsi” (“anak kampung sini”). Kerja mereka tak bedanya pemalak saat menemukan pekerja suatu perusahaan masuk melakukan pembangunan di suatu kampung. Seraya mengaku “ankamsi”, mereka dengan macam-macam dalih minta bagi duit. Mereka yang sudah hafal menyebutnya sebagai “uang (p)reman”.
Hal serupa itu suatu ketika pernah dialami oleh pekerja perusahaan instalasi listrik yang masuk ke sebuah lorong kampung untuk memperbaiki jaringan. Pekerjaan mereka sempat tertunda demi lebih dahulu melayani permintaan duit dari sekelompok ankamsi.
Di suatu perkampungan pinggiran Jakarta yang dilintasi jalan alternatif, kerap terjadi peristiwa kriminal. Serentet peristiwa kriminal itu justru seiring tumbuh menjamurnya kafe-kafe seusai bencana nasional nonalam Covid-19. Terakhir seorang “pengojek online” (taksi sepeda motor) dibokong oleh para pembegal yang terkesan sudah mengincarnya. Sepeda motornya berhasil diambil oleh si pembokong setelah si pengojek dilukai.
Hal serupa itu layaknya secara dini mendorong kepekaan aparat terdepan perintahan bersama warga bangkit menggalakkan upaya-upaya pengamanan lingkungan. Toh kepasifan yang terjadi.
Ada pula yang terjadi dalam satu profesi di Sumatera Barat. Seorang perwira pertama (pama) menembak seorang pama lainnya. Seiring tewasnya korban, belakangan terkuak, bahwa peristiwa ini berlatarbelakang si korban telah memroses secara hukum seseorang pelaku tambang liar yang tak lain juga dibekengi oleh si penembak. Kini si penembak menghadapi proses hukum dan sidang kode etik (SKE).
Kejadian serupa itu bukan baru kali ini saja terjadi. Dua tahun lalu seorang jenderal bintang dua mengomando anak buahnya menembak anak buah yang lain. Tetapi, hingga kini publik hanya bisa menduga-duga apa latarbelakang sebenarnya penembakan itu, kecuali yang paling jelas bahwa sang jenderal dipidana seumur hidup dan dipecat lewat SKE. Ada lagi, seorang jenderal bintang dua lainnya yang dipidana seumur hidup dan di-PTDH, lantaran terbukti menggelapkan segepok barang bukti kejahatan narkoba untuk diperdagangkan.
Meningkat dari soal-soal kriminal masuk pula soal lain menembus ruang politik. Misalnya, dalam sebuah pemilihan umum, ada pasangan calon (paslon) yang dapat diduga tak terima atas kekalahan paslonnya. Entah benar entah tidak tapi gejala busuk seperti itu memang sudah tercium. Maka, mulailah dilontarkan isu-isu adanya aparat yang membantu perolehan kemenangan si paslon.
Di parlemen malah tembus sampai ke badan kehormatan. Tambah membesar lagi persoalannya lantaran badan itu tak berusaha menghadirkan pihak-pihak yang dipandang layak mereka mintai keterangan sehubungan pelibatan suatu institusi oleh pihak partai yang kalah. Memanjang dan melebarlah persoalannya, dan kini bermuara jadi santapan media.
Kalau mau disusun masih panjang deretan kasus yang sebenarnya bisa memperlihatkan kegagalan membuat latar belakang semua itu. adalah persoalan “kita” bersama. Sebab, secara hukum sudah terwadahi, tinggal lagi dimanfaatkan atau tidak. Ini bentuk kegagalan melihat bahwa “kita” ini satu bangsa. Celakanya, bangsa ini memang tak kunjung selesai dengan upaya-upaya perbaikan moral bangsa serta pereknomian yang kerap dihubungkan dengan hambatan besar bagi kesejahteraan.
Hal serupa itu tak bisa disembuhkan dengan pengobatan yang cuma charity. Sebab, cuma sementara. Malah boleh jadi akan mengundang lahirnya sifat-sifat negatif warga. Mereka jadi pemalas, lantas “berisik” kalau tak kebagian, dan sebaliknya baru berbangga cerita sana-sini saat tiba giliran kebagian.
Padahal, bila secara selektif bantuan-bantuan disatukan menjadi modal usaha bersama, warga yang tadinya pemalas (hanya “tampung tangan”), boleh jadi akan berubah menjadi positif dan produktif. Pengangguran atau sejenis ankamsi tadi pun jadi terpinggirkan.
Positif
Patut mendapat acungan jempol, bila di saat-saat seperti itu muncul figur yang berinisiatif secara nyata melakukan perbaikan, dengan memulainya dari hal mendasar. Mulai dari pembangunan moral dan semangat keteladanan, termasuk lewat sesuatu yang berlatar belakang sejarah. Tentu saja, dengan tak mengabaikan aktivitas yang edukatif dalam kerangka membangkitkan semangat juang.
Komandan Korps Brimob (Dankorbrimob) Polri, Komjen Pol. Drs. Imam Widodo, M.Han pekan lalu (3/12/24) memprakarsai diselenggarakannya diskusi terbuka membedah “Museum dalam tinjauan sejarah dan pentingnya membangun Sistem Manajemen Museum (SMM)”.
Ia sendiri yang membuka acara tersebut sekaligus memoderatorinya bersama penulis. Diskusi terbuka diikuti sekitar 70-an orang terdiri atas pejabat utama (PJU) di lingkungan Korbrimob Polri, mulai dari perwira tinggi (pati), perwira menengah (pamen), hingga pama. Tampil sebagai pembicara para pembangun SMM, Heri Hidayat, Ir. Syamsul Arif, Didi Habsar. Selain itu, juga penyunting data Drs. Herryanto Prabowo dan Imanuella Anastasia Brigitha Carneliaputri Dewanty, S.S.
Baca Juga: 'Humble'
Kegiatan berlatar sejarah perjuangan Brimob Polri sejak masa Polisi Istimewa (PI, 1945) hingga perkembangannya kini, digulir dengan keseriusan tinggi. Terbukti diskusi terbuka tersebut didahului oleh Forum Diskusi Grup (FGD), pertengah Agustus lalu (14/8/24), yang dibuka oleh Wadankor Brimob Polri, Irjen Pol. Ramdani Hidayat, S.H.
Pada FGD pertengahan Agustus 2024, hadir para PJU sebagai peserta aktif menyimak pembicara tunggal, Yiyok T Herlambang --pendiri Museum Bank Indonesia (MBI). Dharwis Widya Utama Yacob dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sebagai fasilitator.
Dankor Imam yang selalu rendah hati, namun tetap serius dan konsisten membangun semangat juang anak buah beserta keluarga besarnya, hari itu seketika menggabungkan diri setiba dari perjalanan dinasnya di Kalimantan Timur (Kaltim).
Personel Brimob Polri kini berjumlah tak kurang dari 50.000 orang, belum termasuk yang terbilang sebagai keluarga besarnya. Dengan peralatan dan matrial khusus (almatsus) yang dimiliki kini kian bagus, museum berlatar sejarah memang bukan satu-satunya sarana membangun moral dan semangat mereka.
Sejarah dan Keilmuan Lain
MASIH banyak keilmuan lain yang juga akan mampu memberi sumbangan untuk tujuan positif itu. Tetapi, dengan SMM yang benar, diharapkan secara sistematis, akan terbangun tujuan edukasi yang mulya secara terarah beraturan.
Pendidikan yang edukatif dan diselenggarakan dengan saksama oleh institusi terkait, akan mampu mengubah kondisi menjadi lebih baik pada masa yang akan datang ketimbang kondisi sebelumnya.
Kemajuan teknologi tak bisa ditolak-tolak. Ini satu keniscayaan. Akan tetapi, sejarah juga bukan sekadar pintu bagi masa lalu untuk melangkah menuju masa depan. Sejarah, akhirnya, ditentukan secara terbimbing dan metodologis oleh sejarawan.
Di antara tahapan-tahapan yang harus dilalui, terutama pada saat menentukan metodologi, khususnya pada tahap interpretasi haruslah seminim mungkin terhindar dari campur tangan pihak yang dinilai berkuasa dan mendominasi.
Berkuasa, maksudnya, baik secara otoritas maupun materi. Ini demi terhindarnya ungkapan --yang agaknya masih berkepanjangan hingga kini--, bahwa "sejarah cuma milik pribadi penguasa". Sehingga, sejarah cuma bak “anjing menggongong kafilah terus berlalu sambil terus umbar lip service” hingga ke masa mendatang.
“Sejarah”, demikian tersaji dalam “Apa itu Sejarah” menyebut, “terdiri dari kumpulan fakta yang telah dipastikan. Fakta-fakta yang tersedia bagi sejarawan ada di dalam dokumen, parasasti, dan sebagainya –bagaikan ikan di atas meja potong penjual ikan. Sejarawan mengumpulkannya, membawanya pulang, serta memasak dan menyajikannya dengan gaya apapun yang menarik baginya (Edward Hallet Carr, 2014: 5).
Dengan demikian dapat diharapkan, sejarah akan terkikis dari istilah “ketidakbenaran sejarah”, kecuali memambahi dan melengkapinya di kemudian hari. Selanjutnya, biarkan fakta-fakta itu sendiri yang saling mengoreksi. Pada saat yang sama sejarah terus melangkah mencerdaskan masyarakat.
Pelaku sejarah ada pada masa lalu, kini, dan masa yang akan datang. Semuanya akan menjadi masa lampau. Maka, kembalilah pada hakekat sejarah: tidak jalan di tempat, namun tidak juga menyempurnakan kepalsuan akibat dominasi “pejuang yang lahir di kamar jongos penjajah fisik dan pikiran”, seperti pada masa Orde Baru.
Sejarah yang bukan milik seseorang pribadi, patut dihidup-dihidupkan terus, antara lain melalui meseum yang juga berfungsi dan akomodatif terhadap librari bagi edukasi sepanjang masa.
Harapannya, lahir keteladanan yang memicu semangat juang seraya menghargai para pendahulu yang memang layak dihargai. Setialah pada proses ketimbang harus “matang karbitan” atau masak sebelum matang alias matang sebagai hasil peraman. Minus selalu ada, sedangkan sempurna cuma milik Tuhan! (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS