Hari Pers Nasional untuk Siapa?
Kolumnis
Sabtu, 05 Februari 2022 / 9:20 am
Oleh: Dr. M. Najib Husain
Dosen FISIP UHO
“JIKA Anda mau mendengarkan keinginan rakyat, maka jangan batasi kebebasan pers.” (public opinion quarterly)
Dalam ilmu politik, dikenal konsep “trias politica” dari pemikir politik Perancis Charles Louis de Secondat Baron de Montesquieu (1689-1755). Trias Politica memiliki tiga pilar demokrasi yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Kesemuanya tercermin dalam fungsi pemerintahan, dalam suatu negara yang berjalan, yaitu masing-masing eksekutif sebagai pengambil keputusan, legislatif sebagai lembaga pembuat undang-undang dan yudikatif sebagai lembaga peradilan yang memberi pertimbangan dari sisi hukum.
Selanjutnya Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm lewat buku mereka Four Theories of the Press (1963) memperkenalkan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Ketiga penulis teori pers itu menginginkan adanya kontrol terhadap tiga pilar “trias politica” Montesquieu (Nugraha, 2012 ).
Pilar keempat ini melesat tajam sebagai teori yang diterima di kalangan pers dan masyarakat sipil. Ini dibuktikan dalam koreksi tulisan dalam media cetak, dan penyiaran hingga kekinian dalam media baru yang lebih dikenal sebagai media sosial.
Perjalanan pers disebut sebagai pilar keempat demokrasi berawal dari pers yang meliput di ruang sidang di parlemen Inggris. Pers yang meliputi dan menempati balkon sering disebut dengan fraksi balkon, dan dari sini timbul olok-olokan bahwa pers sebagai pilar keempat demokrasi yang memiliki fungsi mengkoreksi (Siebert, Fred S, Wilbur Shcramm Four Theories of The Press: 1963).
Pers sebagai pilar keempat demokrasi, memiliki kekuatan yang dianggap lembaga “superbody” disebabkan memiliki fungsi tidak saja sebagai “watch dog” menjalankan pengawasan, sekaligus juga dapat mengkritik tiga pilar demokrasi sebelumnya yang lebih dikenal dengan institusi resmi negara yang berdaulat.
Tugas itu ada di jari-jari para jurnalis yang hari ini berada di tengah ketidakpastian. Seorang wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya seringkali menghadapi permasalahan tuntutan hukum terkait dengan pemberitaannya.
Para jurnalis dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya selalu dibenturkan dengan pasal pelanggaran pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan juga pemuatan berita bohong (hoax) dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dengan sanksi pidana yang dapat mengancam bagi setiap wartawan atau media dengan hukuman yang menakutkan.
Catatan yang saya dapatkan dari Dewan Pers yang hadir di Sulawesi Tenggara dan mengundang saya di salah satu diskusi di rangkaian hajatan HPN 2022, bahwa pada tahun 2019-2021 ini, kasus-kasus pers yang pernah disampaikan oleh kepolisian dan masyarakat kepada Dewan Pers setidaknya ada 900 surat, yang isi suratnya berupa permintaan kajian berita dan permohonan keterangan Ahli Pers. Sebagian besar terkait dengan karya dan tugas jurnalistik.
Sepanjang tahun 2021 Dewan Pers mencatat, terdapat setidaknya 44 perkara yang dikoordinasikan antara Kepolisian Republik Indonesia dengan Dewan Pers terkait dengan dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam proses kerja jurnalis.
Penggunaan UU ITE dalam kasus-kasus sengketa jurnalistik umumnya dikenakan dalam Pasal 27 ayat (3), 28 atau 45. Kesemua pasal tersebut pada umumnya mengatur mengenai penyebaran informasi tanpa hak, sehingga menjadi sebuah kejanggalan apabila kerja jurnalistik yang diatur dan dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers dikategorikan sebagai penyebaran informasi yang dilakukan tanpa hak.
Polemik penggunaan UU ITE kepada jurnalis seharusnya semakin berkurang dengan dikelurkannya Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informasi RI, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian Negara RI No 229 Tahun 2021.
Namun demikian, meski telah ada Keputusan Bersama jumlah wartawan yang dilaporkan atas pelanggaran ketentuan UU ITE tetap tinggi, menunjukkan bahwa kemerdekaan pers di Indonesia yang dijamin Undang-Undang Pers masih buruk dalam tataran pelaksanaan.
Baca Juga: Prediksi Penurunan Perolehan Suara PKS Pemilu 2024
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting.
Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media.
Pers diharapkan memberikan berita harus dengan seobjektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan. Sudah bukan eranya lagi pembaca harus dipaksa membaca sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta.
Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Lalu apa gunanya setiap tanggal 9 Februari diperingati sebagai hari Pers Nasional jika para jurnalis bekerja dalam belenggu UU ITE.
Lalu, jika seperti itu, apa bedanya kebebasan pers di era kepemimpinan Presiden Jokowi dan kebebasan pers di masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah.
Baca Juga: Relasi yang Menguntungkan
Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers).
Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers sebagai karakter yang dimiliki masing-masing media cetak dan media online, dan khusus di Sulawesi Tenggara telah tumbuh dengan subur media online dan hari ini telah mencapai 300 media online. (*)