Hilangnya Perlindungan Hakiki Perempuan dan Anak, Tanggung Jawab Siapa?

Rut Sri Wahyuningsih

Penulis

Sabtu, 05 Juni 2021  /  1:58 pm

Rut Sri Wahyuningsih, Institut Literasi dan Peradaban. Foto: Ist.

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban

DUKA anak Indonesia sepertinya belum berakhir. Dan tugas Komnas Perlindungan Anak (PA) semakin berat saja, sebab selesai satu kasus pasti muncul masalah baru.

Dirilis dari Telisik.id, 29 Mei 2021, KPA melaporkan adanya temuan kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan verbal terhadap puluhan anak di sebuah sekolah di Batu ke Polda Jatim, Sabtu (Telisik.id, 29/5/2021).

Laporan tersebut langsung dilaporkan oleh Ketum Komnas PA, Arist Merdeka Sirait di Polda Jatim. Laporan ini mengenai dugaan ekploitasi ekonomi dan seksual terhadap pemilik sebuah sekolah gratis di Malang, Jawa Timur.

Tersangka berinisial JE, pemilik sekolah SPI di Kota Batu. Sedangkan yang menjadi korban adalah anak-anak dari keluarga miskin dari Palu, Kalimantan Barat, Kudus, Blitar, Kalimantan Timur, dan sebagainya.  

Kejahatan seksual yang dilakukan pemilik SPI, menurut Arist tak hanya pada satu orang namun pada puluhan, dan ada pada masa bersekolah sampai pada anak itu lulus dari sekolah masih ada yang mengalami eksploitasi.

Kepala Sekolah SMA SPI (Selamat Pagi Indonesia) Kota Batu, Risna Amalia, membantah dan merasa kaget dengan informasi yang beredar. Dia juga mempertanyakan tujuan dan motif atas laporan tersebut.  

Sebab sejak SPI berdiri di tahun 2007, bahkan ia yang menjadi kepala sekolah sekaligus ibu asrama tidak pernah terjadi kejadian-kejadian seperti yang disampaikan (kumparan.com, 29/5/2021).

Arist mengatkan, pihaknya melaporkan pemilik sekolah tersebut dengan pasal pidana antara lain tiga pasal berlapis yaitu kekerasan seksual Pasal 82 UU 35 tahun 2014 dan UU 17 tahun 2016 dengan hukuman maksimal seumur hidup.

“Jika dilakukan berulang-ulang bisa dilakukan kebiri. Lalu ada kemudian eksploitasi ekonomi bisa di Pasal 81, kekerasan fisik di Pasal 80. Bagi Komnas PA, apa yang dilakukan tersangka ini bukan hanya semata-mata tindak pidana biasa. Ini luar biasa," tutupnya.  

Kasus ini terus bergulir hingga menunggu keputusan sidang. Dunia pendidikan kita sedang tak baik-baik saja. Tentu publik belum lupa dengan kasus kekerasan di IPTDN tahun 2005, bahkan menurut data yang dilansir detikNews.com, 3 April 2007 sejak 1990-an sampai 2005 tercatat 35 praja tewas.

Kemudian kasus pembunuhan dan pelecehan seksual di JIS, tahun 2017. Ini menurut data yang terekspos, sementara fenomena gunung es seringkali yang menjadi fakta. Artinya data yang sebenarnya jauh lebih banyak dari yang tidak terekspos.  

Bisa karena faktor ketidakpedulian masyarakat, tak mau repot, cari aman maupun tak lagi percaya dengan aparat keamanan di negeri ini yang sudah bukan rahasia lagi, jika dikenal tebang pilih kasus dan tergantung siapa yang melapor. Jika pejabat, dalam waktu singkat kasus pasti tuntas, sedang untuk rakyat, tak ada fulus tak ada tindak lanjut kasus.  

Jika kita berbicara pelecehan, pembunuhan, bullying dan tindak kriminal yang lainnya, bisa dipastikan anak-anak dan perempuan paling rentan menerima resikonya. Dan kasusnya tidak terbatas di dalam lingkup sekolah saja tapi juga di luar sekolah atau di tempat umum.

Dari hasil survey yang dilakukan hollanack Jakarta!, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JFDG) dan Change.org Indonesia, di tahun  2018, dimana survey dilakukan terhadap 62.000 orang tentang pelecehan seksual di ruang publik didapati jumlah yang mencengangkan.

3 dari 5 perempuan pernah menjadi korban, 1 dari 10 laki-laki juga pernah menjadi korban. 1 dari 2 korban pernah mengalami pelecehan di bawah umur. 18% korban mengenakan rok dan celana panjang. 17% korban menggunakan jilbab, 16% korban mengenakan baju lengan panjang.

Baca juga: Mengenang Ideologi Soekarno Muda

Baca juga: Generasi Z dalam Bayang-Bayang Krisis Perempat Usia

Baca juga: Anarki Perusakan Kantor Polisi dan Renungan Bagi Keterbukaan

Salah satu penyebab survey ini adalah maraknya begal payudara. Artinya, hampir-hampir tak ada jaminan rasa aman bagi anak dan perempuan. Dimana salahnya? Dan siapa yang harus bertanggung jawab?

Tentu kita harus melihat akar dari persoalan ini, pelecehan, bullying ataupun eksploitasi seringkali muncul dari birahi yang tak terkontrol dan tidak ada rasa takut, tepatnya takwa, takut kepada Allah dalam diri seseorang telah lama hilang.

Birahi atau dalam Islam disebut gharizah (insting) Nau' (naluri berkasih sayang) adalah salah satu dari naluri yang diciptakan Allah begitu manusia itu dilahirkan di dunia, sebab bersama dengan kebutuhan hajatul udwiyah (kebutuhan pokok manusia, makan, minum, tidur dan lain-lain) adalah potensi kehidupan manusia, dengan keduanya manusia bisa bertahan hidup.  

Maka di sinilah perlunya agama, sebagai pengatur ketika manusia memenuhi kebutuhan hidupnya dari kebutuhan pokok dan nalurinya. Hanya Allah Sang Khalik dan Mudabbir yang paling paham ketika membuat peraturan, jika kewenangan itu dihilangkan atau dialihkan kepada manusia maka yang terjadi adalah kekacauan.

Ketidak adilan bahkan zalim. Sekularisme inilah yang saat ini berkuasa di negara kita maupun di dunia, agama dianggap tak solutif terhadap persoalan manusia. 

Padahal, datangnya birahi atau syahwat bukan dari diri manusia itu sendiri, namun dari luar, baik berupa tontonan, buku, media sosial dan yang lainnya, jika setiap orang dengan bebas bisa mengakses tentu akan menciptakan kegelisahan.

Pemenuhannya inilah yang akhirnya menjadi persoalan, sebab menggunakan hukum manusia, beda kepala beda kepentingan. Ada yang motif sekadar pemuasaan semata, ada yang motif ekonomi. Tak ada pembahasan peran Allah ataupun agama.

Itu pilihan, lantas, jika itu dilakukan oleh negara, yaitu dengan membiarkan takut kepada Allah sebagai pilihan, maka hari inilah yang terjadi. Kerusakan aklak dimana-mana.  

Negaralah seharusnya yang menjamin penjagaan kehormatan perempuan dan anak perempuan, bagaimana kelak nasib bangsa dan negara? Generasi yang bagaimana yang akan memimpin bangsa jika perempuan dan anak hidup dalam tekanan dan ketakutan.

Padahal mereka adalah calon ibu generasi, dari rahim mereka akan tercetak generasi cemerlang, tangguh dan bertakwa. Itu jika sistem pendidikannya sesuai, yaitu kurikulum yang berbasis akidah.  

Akan berapa banyak lagi kita butuh korban perempuan dan anak untuk memulai perubahan? Sakit akibat penyakit mungkin bisa sembuh dengan cepat namun trauma ini akan berbeda dampaknya kepada setiap orang, ada yang bisa tegar, mudah melupakan dan menerima takdir dengan pasrah, namun ada yang justru dendam dan akan membalas dengan perlakuan yang sama kepada orang yang berbeda.  

Dari sisi hukum juga sangat berpengaruh terhadap berkurang atau bertambahnya kasus, kebiri tidak akan berjalan efektif jika pendidikan, ekonomi, kesehatan, keamanan dan kebutuhan pokok tak terpenuhi dengan baik individu perindividu. Sebab semua aspek itu memang saling berkelindan.

Tak bisa satu menguatkan yang lain atau sebaliknya, dan pasti! Kapitalisme dengan sistem politik demokrasinya akan sangat kesulitan menerapkan hal ini. Rakyat butuh edukasi tentang takwa, dan negarapun yang menerapkan harus konsisten. Semua itu hanya ada dalam sistem Islam.  

Kita diperintahkan untuk berpegang teguh pada tali (agama) Allah, sebab dengannya kita akan kuat dan mampu menempuh kehidupan dunia ini lebih baik.

Allah SWT berfirman, "Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk (QS Ali Imran :103). Wallahu a' lam bishshowab. (*)