Hub Pariwisata
Ombudsman
Minggu, 26 Januari 2020 / 2:34 pm
Oleh: Indarwati Aminuddin
Ombudsman telisik.id
Seorang wisatawan terduduk lesu di kursi ruang tunggu Bandara Haluoleo. Rencananya, sesuai tiket ia harus terbang dari Kendari ke Wakatobi pukul 2 siang, namun sejam lalu, pengumuman ground staff Wings Air menyampaikan bahwa pesawat delay karena cuaca.
Wisatawan itu tak sendiri, ia bersama dua temannya yang membaringkan diri di kursi bandara. Salahsatu dari mereka menyarankan untuk membatalkan penerbangan dan tinggal beberapa hari di Kendari, lalu selanjutnya ke Wakatobi, dengan kapal laut atau pesawat.
Salah seorang dari mereka bertanya, "Apa yang akan kita lakukan di Kendari?” Mereka bertiga lalu terdiam.
Ya, kegiatan wisata apa yang tersedia di Kendari?
Kendari bukan kota yang sepi. Puluhan tahun lalu, saat rumah rumah toko belum terbangun, kota ini dikenal sebagai kota yang penghuninya memiliki halaman luas, kota yang terhubungkan dengan jalur mangrove yang cantik, kota yang terhubungkan dengan pantai yang berpasir putih.
Ketika kapal laut tak lagi menjadi satu satunya moda transportasi luar kota atau menuju pulau lain, Kendari dikenal sebagai hub—penghubung—menuju pulau pulau yang indah.
Tak sedikit media meliput pulau yang memiliki terumbu karang berwarna warni dan ikan beragam di Pulau Bokori. Media bahkan menjelajah hingga ke Pantai Nambo, lalu ke daerah keraton Baubau, menyusuri jejak Belanda di Raha, atau mengulik ulik kuliner di Kota Kendari.
Di tahun terakhir, nama Pulau Labengki mencuat dan menjadi magnet bagi wisatawan. Para operator pariwisata mempromosikan trip trip ke Kendari melalui media sosial. Mereka tampaknya berjuang sendiri.
Wisatawan yang terduduk lesu di ruang tunggu Bandara Haluoleo, sayangnya tidak terpapar dengan informasi destinasi pariwisata Kendari.
Informasi di google mayoritas berbahasa Indonesia, menunjukkan minimnya ulasan berbahasa Inggris terhadap objek wisata Kendari. Bandara Kendari-sebagai salahsatu pintu gerbang masuknya pengunjung---bahkan tak mampu menjadi medium informasi informasi objek wisata yang bisa ditempuh dari Kendari. Dinding bandara kosong melompong, tak ada peta dan tak ada informasi atraktif.
Bandara ini benar benar menjadi tempat orang hanya untuk berangkat dan tiba. Kemungkinan bila bertanya pada para driver—supir—yang menanti di luar pintu kedatangan, mereka pasti akan menjawab beragam. Dan saya bisa bayangkan, ini pasti memusingkan para wisatawan.
Bali dan Labuan Bajo (Komodo National Park) merupakan contoh dua kota yang saling terkoneksikan. Bali, sebagai hub untuk menuju Labuan Bajo pintar betul menjerat wisatawan untuk stop di Bali, menghabiskan berapa persen uangnya di Bali sebelum atau setelah dari Labuan Bajo.
Bandara dipenuhi informasi yang cukup tentang kota ini. Dinding dinding bandara Bali diwarnai berbagai informasi.
Wajah kota Bali bahkan bisa ditemui di bandara Bali, mulai dari tipikal orang Bali yang mengenakan pakaian adat, makanan ringan Bali seperti kerupuk atau kacang. Tak perlu kaget, ayam betutu Bali juga tersedia di sini. Wisatawan memiliki pilihan, mau mencicipi dan menikmati Bali dari bandara saja, atau mulai membooking hotel dan tinggal beberapa hari di Denpasar, Kuta, Legian, Ubud atau destinasi lainnya.
Sebagai kota yang tumbuh dan memiliki banyak potensi pariwisata, Kendari berpeluang mendapatkan limpahan wisatawan yang pergi dan datang dari Wakatobi, Baubau atau kota lain. Namun untuk menuju ke tahap ini, Kendari perlu membenahi informasi yang centang perenang, perlu meningkatkan infrastruktur pariwisata, menyiapkan sumberdaya manusia dan ….memberikan dukungan pada para tour operator yang selalu berjuang sendiri mempromosikan destinasinya.
Tapi bila pariwisata tidak menjadi sektor unggulan Kendari, yah…cukuplah Kendari menjadi daerah transit. (*)