Wah, Potensi Korupsi IT di Pemerintahan
Penulis
Sabtu, 23 Juli 2022 / 12:33 pm
Oleh: Dr. Usmar, SE, M.M
Dekan FEB Unmoes (Beragama) Jakarta/Ketum Lembaga Kebudayaan Nasional
GEGAP gempita merespon era digitalisasi government yang sedang trending dilakukan oleh berbagai kementerian dan lembaga (K/L) saat ini, sangat kental berbalut nuansa gagap dan gegar budaya digital dalam meresponn realitas itu.
Hal ini terlihat seperti yang dikatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat side event "G20: Festival Ekonomi Keuangan Digital" di Bali, Senin lalu (11/7/2022). Cukup bikin kaget. Menurutnya, “Pemerintah memiliki sekitar 24.000 aplikasi tersebar di berbagai kementerian dan lembaga (K/L), dan 2.700 'data base' masing-masing" yang tidak beroperasi secara multifungsi, sehingga tidak efisien dan membuat boros anggaran negara”.
Pernyataan Menkeu ini patut di apresiasi sebagai tindakan “Kritik Oto Krtitik” untuk kebaikan jalannya pemerintahan dalam situasi resesi yang melanda dunia saat ini.
Besarnya Pemborosan Biaya
Besarnya biaya yang teralokasi unttuk pengadaan sebanyak 24.000 aplikasi itu, sungguh sangatlah luar biasa.
Betapa tidak, harga di market pembuatan aplikasi tata kelola pemerintahan itu rata-rata berada di sekitar angka Rp 1 sampai Rp 2,5 miliar per aplikasi. Ini di luar dari biaya pemeloharaab server dan team operasional yang mungkin bisa berkisar antara Rp 300 dan Rp 500 jutaan per bulan.
Dengan mengambil harga pembuatan rata-rata per aplikasi terendah Rp 1 miliar, maka dana yang di benamkan hanya untuk aplikasi tersebut adalah 24.000 aplikasi dikalikan dengan Rp 1 miliar, maka total pengeluarannya sebesar Rp 24 triliun. Fantastis sungguh!
Adapun estimasi untuk biaya pemeliharaan server dan team operasional, katakanlah k yang terendah saja sekitar Rp 300 juta, maka biaya yang harus dikeluarkan perbulan adalah 24.000 aplikasi dikalikan dengan Rp 300 juta. Jadi, total biaya yang harus dikeluarkan memcapai Rp 7,2 triliun per bulan, dan dalam satu tahun mencapai Rp 86,4 triliun. Wow!
Di sisi lain, diketahui menurut Kementerian Kominfo, bahwa masih ada 84.000 desa kelurahan, dan lebih dari 10.000 puskesmas belum semuanya terkoneksi internet, Sungguh ironi yang tak boleh dibiarkan berlarut.
Mengurangi Ego Sektoral
Melihat hal ini, tentu saja kita sangat mendukung ketika ada keinginan dari pemerintah akan melakukan intergovernmental connection atau integrasi data yang akan disederhanakan dalam satu database, sehingga dapat mengurangi ego sektoral.
Baca Juga: Hoegeng Award, Sungguh Langkah Berani
Karena itu, kita berharap untuk mengatasi hal ini, Kominfo punya inisiasi untuk membuat sebuah standarisasi sistem. Sebab pada dasarnya proses bisnis di setiap bagian dari pemerintahan itu akan sama saja, jadi dapat di duplikasi dengan tetap memperhatikan sisi skalabilitas infrastruktur saja.
Tentu ini tidaklah mudah, mengingat problem ego sektoral yang berkelindan dengan potensi “korupsi” dalam pengadaan system IT, baik untuk pemerintah pusat maupun daerah. Namun jika ini mampu dilakukan, maka paling tidak ego sektoral dapat dikurangi.
Persoalan Integrasi Data
Integrasi data, selain dapat melakukan penghematan biaya, juga sekaligus dapat lebih taktis dalam merespon dinamika perubahan yang terjadi.
Hanya saja hal pertama yang harus dilakukan Kominfo adalah membuat Standarisasi proses bisnis, standarisasi integrasi data, dan standarisasi keamanan data. Sebab upaya menggabungkan 24 ribu aplikasi yang sudah berjalan dengan data bergerak terus bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah.
Yang perlu dicermati adalah jangan sampai muncul issue interoperability system saat integrasi data dan system, dimana tiap aplkasi mempunyai version, bahasa pemrograman, environment teknis pendukung yang bisa jadi tidak sama atau berbeda satu sama lainnya.
Begitu juga dengan standarisasi open data akan menjadi satu hal fundamental ketika ingin disatukan. Tantangannya untuk open data di lapangan adalah mungkin saja tidak semua kementerian/badan/pemerintahan mengerti dan sudah menerapkan open data ini, belum lagi terkadang transparansi data sengaja di “mainkan” oleh oknum untuk memperkaya dirinya sendiri.
Hal lain ini yang perlu di kaji dalam perencanaan integrasi data adalah dari issue teknis. dimana kendala muncul karena kemungkinan terdapat issue kemampuan dari dua atau lebih sistem atau komponen untuk berbagi pakai data/ informasi. Sebab kompatibilitas tidak dapat menjamin bahwa setiap sistem dapat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki sistem lainnya.
Jadi tidak bisa dengan tiba-tiba dan serta merta main langsung melakukan integrasi 24 ribu aplikasi. Mencermati dengan seksama kendala teknis, untuk mencegah proyek untuk menyatukan data, jadi proyek yang mangkrak juga.
Untuk itu yang pertama dilakukan sejak awal sebelum mengintegrasikan data adalah melakukan mapping dan klasifikasi dari 24 ribu aplikasi yang ada, mana yang berjalan dan mana yang tidak. Kemudian collect semua dokumentasi teknis systemnya dan apabila tidak ada dokumentasi teknis nya, cari tau siapa pengembangnya, kejar pengembangnya dan cari tau juga berapa anggarannya, untuk system yang anggarannya relatif murah dan tidak terpakai ya dibuang saja,
Jika semua aplikasi sudah termapping, baru kemudian issue selanjutnya bagaimana system-system yang terpilih ini di pikirkan bridging API nya (Application Programming Interface), sehingga issue interoperability tadi terjawab, dan masing-masing layanan tsb bisa berkomunikasi data secara terintegrasi
Kedaulatan Data
Persoalan lanjutan dari integrasi data adalah bagaimana kita menjaga “kedaulatan data”.
Umumnya cloud data yang merupakan bagian dari infrastruktur beserta storage penyimpanan sistem IT, biasanya di sediakan oleh provider, pemain provider global nya seperti Google Cloud, Alibaba Cloud, AWS Amazone, Microsoft Azure dan sebagainya.
Baca Juga: Peminat Baca, ke Perpustakaan Yoo...
Sehingga ketika data pemerintahan kita yang sifatnya credential ada di provide cloud luar, maka dengan sendirinya mereka akan mengetahui detail tentang rahasia data kita, karena semua data mereka collect, own by mereka.
Ini tentu menjadi tugas utama dan penting bagi Kominfo harus sudah siap terhadap standarisasi proses bisnis, standarisasi integrasi data, standarisasi keamanan data.
Jadi sudah saatnya pemerintah menggunakan Kode NIK sebagai Single Identity untuk semua kepentingan dan urusan masyarakat.
Karena sejatinya saat ini secara system kita masih menerapkan decentralisasi system. Ini dapat kita lihat misalnya BPJS Tenaga Kerja punya nomer sendiri, BPJS Kesehatan punya nomer sendiri, SIM punya nomernya sendiri, NPWP juga punya nomernya sendiri.
Terakhir sudah saatnya Kominfo melakukan pengembangan teknologi berbasis Web 3.0 yang menjamin keamanan data beserta security data. Siapapun yg berkontribusi data di Web 3.0, data yg di store pure own by contributor. Tidak seperti sekarang data kita semua ini own by platform provider yang kita beli/sewa ketika masih berbais Web 2.0. (*)