Diduga Akomodasi Permintaan Peserta Pemilu 2024 Batasi Kuota Perempuan, KPU Dituding Sangat Lembek
Reporter
Rabu, 22 November 2023 / 8:43 am
JAKARTA, TELISIK.ID – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI yang sudah mengagendakan sidang dugaan pelanggaran administrasi pemilu terkait kuota keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap (DCT) anggota legislatif, Selasa (21/11/2023), memutuskan menunda.
Penundaan sidang ini membuat kecewa Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan sebagai pelapor. Penyebabnya adalah terlapor dalam hal ini Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tidak bisa hadir.
“Ketua majelis, kami kecewa seharusnya jadwal hari ini kami bisa mendengarkan jawaban terlapor tapi tidak terjadi, majelis yang terhormat,” keluh Hadar Nafis Gumay mewakili Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, di ruang Sidang Bawaslu RI, Jakarta, Selasa (21/11/2023).
Hadar yang juga mantan Komisoner KPU periode 2012-2017 berharap Bawaslu tak menunda-nunda proses persidangan sehingga laporan bisa diputuskan dengan cepat. Dia mengingatkan bahwa putusan akan sangat ditunggu karena juga terkait logistik pemilu.
“Oleh karena itu, sekali lagi mohon tidak panjang-panjang proses ini supaya tidak berdampak lebih lanjut kepada pemilu,” imbau Hadar.
Direktur Eksekutif Netgrit ini mendesak KPU mengakomodasi kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dalam DCT anggota legislatif, kendati tahapan terus berjalan dan pelaksanaan Pemilu 2024 semakin dekat.
Berapa pun sisa waktu yang ada, Hadar meminta harus diakomodir karena ribuan perempuan yang kehilangan hak konstitusionalnya untuk menjadi calon anggota legislatif. Dia mengingatkan bahwa belum pernah terjadi sejak peraturan afirmasi ini ada di dalam UU Pemilu.
Hadar menduga ada permainan politik dalam upaya membatasi keterwakilan perempuan di DCT anggota legislatif.
Baca Juga: Tak Hadiri RDP dan Pilih ke Luar Negeri, KPU RI Dikecam
“Jadi, ini ada persoalan penyelenggara (pemilu) yang memang bermain politik, dugaan saya karena ingin mengakomodir permintaan peserta pemilu. Tidak bisa dibenarkan oleh penyelenggara Pemilu seperti ini,” tegas dia.
Daerah yang terbebas dari masalah jumlah keterwakilan perempuan, menurut Hadar, bisa langsung mengadakan pencetakan surat suara. Sementara untuk daerah lain yang diketahui masih bermasalah, surat suara bisa dicetak belakangan sambil menunggu putusan dari sidang yang dilaporkan mengenai keterwakilan perempuan ini.
“Sekarang cetak saja (surat suara). Misalnya ya, untuk DPR RI itu ada 84 dapil (daerah pemilihan, red), 30 dapil itu bebas dari persoalan ini, 30 dapil inilah cetak duluan. Kalau memang itu persoalan strategi pencetakan yang menjadi mendesak, sisanya tunggu putusan,” jelas Hadar.
Hadar melaporkan tujuh Komisioner KPU RI terkait pelanggaran administratif pemilu atas penetapan DCT Pemilu Anggota DPR RI Tahun 2024.
“Menyatakan KPU terbukti melakukan pelanggaran administratif pemilu karena menetapkan DCT Pemilu DPR tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap daerah pemilihan Pemilu Anggota DPR sebagaimana tata cara, prosedur, dan mekanisme yang telah diatur dalam pasal 245 UU No.7 Tahun 2017 jo. Pasal 8 ayat (1) huruf c Peraturan KPU No.10 Tahun 2023 jo. Putusan MA No.24 P/HUM/2023,” urai Hadar dalam laporannya.
Dia juga mendesak KPU untuk memperbaiki DCT Pemilu Anggota DPR, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2024 yang tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap dapil.
“Memerintahkan KPU untuk membatalkan atau mencoret DCT yang diajukan partai politik untuk Pemilu Anggota DPR, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota di daerah pemilihan yang tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen,” imbuh Hadar.
Mantan anggota Bawaslu RI periode 2008-2012, Wahidah Suaib, juga meragukan komitmen KPU untuk menegaskan parpol segera memenuhi kuota keterwakilan perempuan 30 persen. Dia pun tak segan menyebut KPU bagaikan petugas partai.
“Kali ini, KPU bukan hanya tidak tegas, tapi sangat lembek dan cenderung menjadi petugas partai menurut kami,” tegas Wahidah di Kantor Bawaslu RI, Selasa (21/11/2023).
Dia mengingatkan, pemberlakuan 30 persen keterwakilan perempuan peserta pemilu bukan baru diterapkan. Namun, sudah sejak Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD diberlakukan.
“Berarti telah 20 tahun berlaku ya dan dulu itu kalimatnya 'memerhatikan', sekarang kalimatnya 'memuat', berarti lebih kuat,” jelas Wahidah.
Tak puas dengan sikap KPU itu, Wahidah kemudian membandingkan komisioner KPU periode sebelumnya yang dinilainya bersikap tegas mematuhi aturan mengenai keterwakilan perempuan.
“KPU periode ini mestinya kan lebih mudah untuk mendorong partai politik memenuhi 30 persen itu. Tapi ternyata ada penurunan spirit komitmen keterwakilan 30 pesen di KPU-nya,” ujar Wahidah yang juga melaporkan KPU ke Bawaslu atas dugaan pelanggaran Pemilu terkait kuota perempuan 30 persen.
Wahidah pun tak bisa menyembunyikan kekesalannya setelah Bawaslu menunda sidang karena ketidakhadiran para Komisioner KPU RI.
Penundaan sidang oleh Bawaslu disebabkan Komisioner KPU RI sebagai terlapor sedang berada di luar negeri. Keberadaan mereka di luar negeri dengan alasan memberikan bimbingan teknis (bimtek) kepada para anggota Panitia Pemungutan Luar Negeri (PPLN) dari beberapa negara.
Baca Juga: Kominfo Ungkap 117 Isu Hoaks Pemilu 2024, KPU Gandeng TikTok Tak Tampilkan Iklan Politik
Selain berada di luar negeri, Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari dan enam komisioner lainnya juga tidak menyiapkan jawaban secara tertulis. Majelis Pemeriksa sekaligus Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, kemudian memberikan waktu dua hari bagi KPU menyiapkan jawaban sebagai terlapor.
“Tanggal 23 November, hari Kamis jam 13:00 WIB dan agenda sidang pada hari Kamis tersebut adalah untuk mendengarkan jawaban terlapor dan juga pembuktian,” jelas Bagja.
Pembuktian salah satunya adalah pengecekan barang bukti yang disampaikan dalam persidangan atau aduan, yaitu alat bukti yang disampaikan kemudian juga mendengarkan keterangan ahli atau saksi.
Karena ketidakhadiran para Komisioner KPU RI, Bagja berjanji akan mengupayakan sidang digelar secara online.
“Kita akan usahakan hadirkan secara online karena saya juga mengerti kemungkinan tidak bisa dihadirkan karena waktu yang sangat pendek ini. Jadi saksi dan ahli itu tidak ada di Jakarta ini,” ujarnya.
Tujuh Komisioner KPU RI sehari sebelumnya, Senin (20/11/2023), juga tidak hadir saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi II DPR RI. Rapat saat itu hanya dihadiri Ketua dan anggota Komisi II, pemerintah yang diwakili Kementerian Dalam Negeri, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
KPU beralasan tidak bisa hadir karena sedang berada di Hong Kong dengan agenda memberikan bimbingan teknis (bimtek) pemungutan dan penghitungan suara luar negeri kepada 14 Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) se-Asia Timur dan Asia Tenggara. (A)
Penulis: Mustaqim
Editor: Haerani Hambali
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS