Guru dan Perkembangan Karakter Peserta Didik

Neldi Darmian L

Penulis

Sabtu, 27 November 2021  /  4:14 pm

Neldi Darmian L, Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. Foto: Ist.

Oleh: Neldi Darmian L

Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta 

HARI guru nasional tahun 2021, Kemenristekdikti mengakat tema bergerak dari hati, pulihkan pendidikan. Hari guru pada tahun kedua pandemi COVID-19 dapat menjadi ekosis yang harapannya menjadi rapor evaluasi kinerja dan pengoptimalan kerja guru di Indonesia, terlebih telah dilaksanakannya assesmen nasional.  

Semua data tersebut harus menjadi bahan evaluasi untuk melahirkan soslusi terhadap dunia pendidikan yang lebih baik.

Berbicara tentang guru, pasti kita memiliki memori kolektif yang sama. Bahwa guru adalah penuntun dan kaca teladan bagi perkembangan karakter peserta didik. Guru dalam istilah Ki Hadjar Dewantara adalah pamong, yang menggiring dan menuntun karakter (kodrat) peserta didik untuk tumbuh dan berkembang.

Masih hangat diingatan kita tentang bagaimana kondisi pendidikan Indonesia di masa pandemi. Kekeroposan mulai nampak dan bahkan rasanya tergopoh-gopoh untuk kembali bangkit. Hal itu terjadi ketika ruang kelas konvensional berpindah ke ruang virtual.

Disini guru menjadi satu faktor penting untuk membendung perubahan tersebut. Guru menjadi kunci pemegang tanggung jawab sentral, dia berupaya untuk mampu mengakselerasi dan menjadi tangan perbaikan dalam kondisi yang serba berubah akibat dampak dari pandemi.

Perubahan gaya mengajar yang sebelumnya dia lakukan secara konvensional dengan pertemuan fisik harus beralih dengan pertemuan virtual. Adaptasi terhadap perubahan media belajar dan revaluasi untuk mempertahankan kefokusan peserta didik menerima materi ajar menjadi kunci penting yang pasti dia pikirkan. Bahwa guru memperoleh tugas besar dan berat selama dua tahun terakhir ini. Itu benar.

Perubahan-perubahan tersebut masih sebagai sample kecil, yang secara holistik sebenarnya masih banyak bila kita runtut lebih jauh lagi. Bagaimana adaptasi guru terhadap penggunaan media ajar, bagaimana adaptasi guru terhadap gaya mengajar baru (virtual)?

Guru sebagai Cerminan Perkembangan Zaman

Perkembangan adalah fenomena nyata dari kemajuan, dia selalu berkelindan dengan proses adaptasi dan revaluasi/solusi. Santer diingatan kita bahwa gaya mengajar guru dan gaya belajar peserta didik perlu menjadi perhatian penting, artinya gaya mengajar guru harus menyesuaikan dengan gaya belajar peserta didik.

Dalam buku Sekolahnya Manusia yang ditulis oleh Munif Chatib (2009) menjelaskan tentang penyakit distechia atau salah mengajar yang diampu oleh beberapa guru.

Teacher Talking Time

Guru mengajar dan siswa belajar. Hal ini mempertimbangkan interaksi dua arah antara guru dan peserta didik. Kelas yang baik adalah kelas yang hidup dengan komunikasi interaktif dan dialogis antara guru dan peserta didik.

Guru mengajar belum tentu siswa belajar. Sebab, metode satu arah dalam penyampaian materi dalam ruang kelas adalah contoh penerapannya. Ketika peserta didik belum ada pertanyaan dalam satu sesi penyampaian materi, harusnya pendidik lebih peka.

Jangan langsung menyodorkan soal atau pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Ini buntutnya akan menarik peserta didik untuk mencari solusi dengan cara apapun untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Ini akan menjadi sebuah kesalahan dan ketidaktepatan dalam proses belajar.

Kemasan atau medium menyampaikan materi belajar bisa dilakukan dengan beragam metode. Sebab, antisipasi nya adalah saluran informasi atau materi yang disampaikan oleh pendidik harus benar-benar diresapi atau dipahami oleh peserta didik.

Sadar bahwa metode konservatif, hanya akan membuat ruang belajar menjadi tidak menarik, tidak nyaman, tidak akan menyenangkan. Menegaskan apa yang menjadi pesan Ki Hadjar Dewantara. Ruang belajar ibaratnya taman yang indah dan nyaman bagi peserta didik untuk belajar.

Baca Juga: Kekuasaan dan Watak Manusia

Task Analysis

Ringkasnya bagian ini menggambarkan ketika guru masuk ke ruang kelas tanpa tedeng aling-aling menyodorkan materi dan soal yang harus di kerjakan kepada peserta didik.

Saya masih ingat betul, bagaimana kondisi ruang kelas ketika guru memposisikan peserta didik seperti penjelasan diatas. Semua materi yang diajarkan, diterangkan sangat tidak menarik sekali untuk dipahami.  

Sebab, tidak ada ekosistem kelas yang nyaman dan menyenangkan disana. Ruang kelas yang menarik adalah ruang kelas yang nyaman dengan materi ajar yang selalu dinantikan peserta didik. Bukan menanti jam pulang.

Tetapi sebaliknya, peserta didik akan sedih ketika waktu belajar berakhir.  

Task analysis lebih jelas memberi gambaran bahwa materi yang disampaikan melalui ruang kelas haruslah realistis dengan lingkungan sepermainan peserta didik.

Kemasan materi belajar harus memiliki kesesuaian. Artinya, ketika ada kesesuaian peserta didik akan lebih antusias dan merasa dekat dengan apa yang disampaikan oleh guru.

Materi ajar juga harus dijelaskan secara lebih gamblang. Bahwa manfaat dan fungsinya apabila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika ini menjadi terapan seorang guru dalam mengajar, peserta didik akan merasa bahwa materi ajar yang disampaikan oleh guru penting untuk dipahami, sebab dekat dengan solusi penyelesaian dalam kehidupan dia sehari-hari.  

Bagian ini termaksud dalam logika deduksi, yaitu menjelaskan informasi yang bersifat umum, kemudian merambah ke hal-hal yang lebih khusus. Sebab, disini adalah proses yang memang perlu digambarkan secara lebih menyeluruh dahulu lalu beranjak ke hal-hal yang konteksnya lebih khusus dan spesifik.

Dijelaskan juga muara tujuannya. Agar lebih dapat memiliki daya tarik untuk peserta didik, agar peserta didik dapat merangkai imajinasinya dan mengaitkan itu dengan kehidupan dia sehari-hari.

Harapannya tidak ada lagi guru yang masuk kelas dengan. Salam, selamat pagi anak-anak. Ayo buka buku halaman 10. Saya jelaskan sedikit 30 menit dan setelah itu kerjakan soal latihan di halaman 15.  

Baca Juga: Krisis Kepedulian Sosial

Tracking

Tracking atau pengelompokan siswa berdasarkan kemampuan kognitifnya. Penerapan ini selalu dilakukan pada sekolah-sekolah bergengsi, memiliki reputasi yang baik secara akademik (untuk tidak mengatakan hanya unggul secara kognitif).

Terapan ini akan menjadi mimpi buruk bagi peserta didik yang muaranya akan melemahkan karakter peserta didik. Buktinya, stigmatisasi bagi peserta didik yang belum memiliki kemampuan kognitif yang baik.

Ki Hadjar Dewantara memiliki konsep kodrat alam, didalamnya menjelaskan bahwa setiap peserta didik memiliki karakter (kodrat) dia masing-masing, yang pasti setiap peserta didik tidak benar-benar sama satu sama lain.

Terlebih parameter baik atau belum baiknya hanya satu yaitu kemampuan kognitif. Bagaimana bisa guru atau secara menyeluruh sekolah menilai kemampuan baik atau belum baiknya kemampuan peserta didik hanya pada aspek kognitif.

Penulis percaya bahwa setiap peserta didik adalah jenius sesuai dengan potensi, minat dan bakat dia. Tidak ada peserta didik yang bodoh. Lebih tepatnya, dia belum menemukan lingkungan belajar yang baik sesuai dengan karakter dia.  

Selamat hari guru nasional. (*)