Hadis Palsu dan Lemah tentang Ramadan yang Marak Beredar Bagian 1
Reporter
Kamis, 15 April 2021 / 1:28 pm
BAUBAU, TELISIK.ID - Amalan seputar ibadah dalam Islam harus bersandar kepada Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW.
Hukum asal ibadah adalah haram. Maksudnya, kreasi dan inovasi ibadah yang tidak berkesesuaian dengan yang dicontohkan Nabi adalah tertolak.
Termasuk juga di dalamnya adalah menyandarkan dalil. Dalil dalam agama harus bersandarkan pada Al-Quran dan habis Nabi yang sahih.
Al-Quran secara umum sulit untuk dipalsukan ayat-ayatnya, karena telah terangkum dalam satu kitab yang setiap umat Islam hampir dipastikan memilikinya. Berlainan dengan hadis Nabi, terbuka ruang tersebarnya hadis lemah atau hadis palsu.
Namun, kita masyarakat awam tidak perlu khawatir. Sebab, para ulama telah sepenuh hati dan gigih melakukan penelitian status kesahihan hadis-hadis yang tertulis pada kitab-kitab tertentu atau tersebar di masyarakat.
Pemakaian hadis lemah (dhaif) sebagai rujukan dalam ibadah tidak diperkenankan, apalagi hadis palsu (maudhu). Beberapa ulama memberikan kelonggaran, hadis lemah bisa dipakai untuk motivasi dalam ibadah.
Memang salah satu manfaat pemilahan pemakaian dalil yang sahih itu adalah agar tetap pada ajaran Islam yang murni. Tidak terkontaminasi dengan susupan pemikiran dari orang-orang yang mau merusak Islam atau kejahilan segelintir orang.
Olehnya itu, masyarakat umum perlu mengetahui hadis palsu atau hadis lemah seputar Ramadan yang selama ini marak beredar. Untuk memudahkan pembaca, berikut ini kami tuliskan 12 hadis yang lemah atau palsu itu, seperti dilansir dari muslim.or.id.
Dalam tulisan ini, tidak menjelaskan sisi kelemahan hadis yang dimaksud. Untuk memudahkan, hanya menyebutkan kesimpulan dari peneliti hadis. Bagi yang ingin menelisik lebih dalam bisa merujuk kitab ulama yang bersangkutan.
Hadis 1
“Berpuasalah, kalian akan sehat.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).
Hadis ini lemah, sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadis ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).
Sebagai catatan tambahan, meskipun berdasarkan penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, tetapi tidak bisa disandarkan sebagai sabda Nabi SAW.
Hadis 2
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).
Hadis ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadis ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).
Terdapat juga riwayat yang lain:
“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadis ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).
Tidur adalah perkara mubah. Perkara mubah dalam Islam bisa bernilai ibadah, jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah.
Tidur orang yang berpuasa untuk mengistirahatkan tubuh sehingga bisa kuat beribadah merupakan ibadah. Termasuk juga karena khawatir membatalkan puasa sebelum waktunya. Sebaliknya, tidur karena kemalasan atau kekenyangan setelah sahur, bisa bernilai bukan ibadah.
Baca Juga: Jadi Primadona, Ini 8 Fakta Unik Kurma Ajwa
Hadis 3
“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1.000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain.
Ramadan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezeki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun.
Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah SAW bersabda, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)
Hadis ini didhaifkan oleh para pakar hadis seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115). Juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadis ini munkar.
Seluruh waktu di bulan Ramadan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka. Tidak hanya sepertiganya.
Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
“Orang yang puasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al Bukhari No. 38, Muslim, No.760).
Dalam hadis ini disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadan saja. Lebih jelas lagi pada hadis yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah bersabda:
“Pada awal malam bulan Ramadan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’. Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam.” (HR. At Tirmidzi 682, disahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Hadis 4
“Biasanya Rasulullah SAW ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341): “Hadis ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadis ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafaz yang semisal, semua berkisar antara hadis lemah dan munkar.
Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar di masyarakat dengan lafaz:
“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon rahmat-Mu wahai zat yang Maha Penyayang.”
Hadis ini tidak terdapat di kitab hadis manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadis palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”
Doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW terdapat dalam hadis:
“Biasanya Rasulullah SAW ketika berbuka puasa membaca doa:
Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah
(Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah).”
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.
Baca Juga: Sebaik-baik Sahur di Akhir Waktu
Hadis 5
“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).
Hadis ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Sebagian ulama ada yang mensahihkan hadis ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Sebagaimana kesimpulan ulama berbeda pendapat mengenai ada atau tidaknya qadha (mengganti) bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.
Penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa, “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa uzur syari, ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah No. 16480, 9/191)
Hadis 6
“Jangan menyebut dengan Ramadan karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan bulan Ramadan.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).
Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadis ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadis ini daif, bukan palsu”. Hadis ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).
Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadis yang menyebutkan ‘Ramadan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’. (C)
Reporter: Haidir Muhari
Editor: Haerani Hambali