Jangan Terapkan 'Restorative Justice' pada Pemerkosa
Penulis
Sabtu, 05 Februari 2022 / 11:33 am
Oleh: Suryadi
Pemerhati Pers, Budaya, dan Kepolisian
“RESTORATIVE Justice (RJ) itu bagus. Langkah ini, adalah kebijakan untuk mewujudkan keadilan dengan mengalihkan ke posisi seperti tidak terjadi suatu kejahatan.”
Begitu kalimat singkat yang terlontar dari Prof. Dr. Maromi, S.H., M.Hum,
Guru Besar Universitas Lampung (Unila) seperti ditulis dalam "Kombes Pol. Yan Budi Jaya, M.M., Kapolresta
Bandar Lampung: Generasi Transisi di Era Perubahan." (Suryadi dan Helsi, Pelita, Jakarta, 2020: 195)
Akan tetapi, haruskah “Keadilan Restorasi” juga akomodatif terhadap pemerkosa, apalagi yang korbannya perempuan difabel?
Jenderal Pol. Drs. Listyo Sigit Prabowo genap setahun memimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) pada 27 Januari 2022. Dua puluh dua hari sebelumnya (5/1/22), Irjen Pol. Prof. Dr. Rudy Heriyanto Adi Nugroho, S.H., M.H., M.B.A. genap pula setahun memimpin Kepolisian Daerah (Polda) Banten.
Sejarah mencatat, di penghujung 2021, tepatnya Jumat 31 Desember, Jenderal Sigit mengumumkan akan menaikkan Sub Direktorat Perlindungan Perempuan dan Anak (Sub Dit PPA) sejajar dengan Direktorat (Dit) yang lain, sehingga menjadi Dit PPA.
Kotak baru direktur dalam struktur organisasi Polri ini, tentu bukan sekadar ruang penampung perwira tinggi berpangkat brigjen dan perwira menengah kombes, tetapi lebih daripada itu agar PPA “lebih bergigi” ketimbang kapasitasnya di masa-masa sebelumnya.
Mengisi substansi “lebih bergigi”-nya Dit PPA, Polda Banten punya sejarah bagus juga. Pada 29 Juni 2021 Polda yang bertetangga langsung dengan wilayah hukum Polda Metro Jaya, Polda Jawa Barat, dan berada di seberang wiayah hukum Polda Lampung ini, menggelar Forum Grup Diskusi (FGD) terkait PPA.
Tema yang diangkat ketika itu menitikberatkan pada pencegahan: Mendorong Tumbuhnya Kelompok Peduli Lingkungan Rawan Kejahatan Terhadap Anak dan Perempuan. Mulya bukan?
Ditandai deklarasi melawan kejahatan seksual yang disampaikan ulama Ki H. Embay Mulya Syarief, FGD tersebut dibuka oleh Kapolda, dan diikuti oleh sejumlah perwira Polda, aktivis, akademisi, dan anggota masyarakat.
Acara di masa pandemi Covid-19 yang menampilkan pembicara dari unsur akademisi, psikolog, Kepada Dinas Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Kependudukan dan Keluarga Berencana (DP3AKKB) Provinsi Banten, dengan moderator budayawan Dr. Usmar ini, juga diikuti secara daring oleh peserta di enam Polres jajaran Polda Banten.
Sementara Polda Kalimantan Barat (Kalbar) sejak pertengahan Desember 2021, telah siap mengoperasikan Gedung Pelayanan Khusus Perlindungan Perempuan dan Anak (PK-PPA) Polda Kalbar. Kapolda Kalbar, Irjen Pol Dr. R. Sigid Tri Hardjanto telah meresmikannya pertengahan Desember 2021 (15/12/21).
Di Gedung tersebut, selain terdapat ruang tamu, juga tersedia ruang-ruang konseling dan pemeriksaan, kontrol, bermain anak, dan ruang istirahat. Digambarkan oleh aspirasipublik.com (15/12/21), suasananya tenang, terang, nyaman, bersih, dan jauh dari kesan menakutkan. Privasi dan keamanan saksi dan korban dijamin terjaga dengan baik selama dalam Gedung PK - PPA itu.
Kekerasan Seksual
Dalam siaran pers akhir 2021 Polri menyampaikan, sepanjang 2021 tercatat kejahatan yang melibatkan perempuan dan anak, dilaporkan sebanyak 2.524 perkara, dengan penyelesaian perkara sebanyak 1.094 perkara. Kejahatan lainnya tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sebanyak 173 perkara (antara/ mediaindoensia.com, 1/1/22).
Polri tidak menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh kata “melibatkan” dalam siaran persnya. Akan tetapi, dalam "Diskusi Publik: Potret Situasi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual Tahun 2021” secara virtual (10/12/21), terungkap data yang sungguh memrihatinkan.
Berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sepanjang 1 Januari - hingga 9 Desember 2021, terdata 7.693 kasus kekerasan terhadap perempuan. Di antaranya 73,7% merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tak kalah mengenaskan, terungkap pula angka yang menimpa generasi penerus bangsa. Dari 10.832 kasus kekerasan terhadap anak, didominasi oleh kasus kekerasan seksual, yaitu 59,7 persen.
Dalam event tersebut, LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, juga mengungkap data yang dimilikinya. Seperti pemberitaan Kompas.com (11/12/2021, 13:54), sepanjang 2021 masuk laporan sebanyak 1.321 kasus. Jumlah ini meningkat drastis dibandingkan 1.178 kasus di tahun 2020.
Kekerasan berbasis gender online (KBGO) menjadi yang terbanyak dilaporkan, yaitu 489 kasus. Berikutnya, 374 kasus KDRT, 81 kasus tindak pidana umum, 73 kasus kekerasan dalam pacaran, dan 66 kasus kekerasan seksual
Perkosaan Perempuan Difabel
Kasus-kasus dugaan kekerasan dan pelecehan seksual marak terjadi sepanjang 2021 di banyak daerah, seperti di Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Banten. Gencarnya pemberitaan media membuat publik cepat tahu tempat-tempat kejadiannya, bahkan di tempat yang selama ini dianggap aman, seperti sekolah, perguruan tinggi, dan hingga pesantren. Korbannya beragam pula, mulai dari santri, mahasiswa, pegawai di lembaga negara, istri tahanan sampai perempuan difabel.
Di antara kasus-kasus kekerasan seksual yang menjadi sorotan di tahun 2021, yakni yang menimpa anak penyandang disabilitas rungu-wicara, di Soppeng dan Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Korban diperkosa beramai-ramai (gang rape).
Seorang remaja putri berusia 16 tahun hamil 4 bulan. Satu lagi, sejak 2017 menjadi korban kekerasan seksual oleh pelaku tiga orang dalam keluarga dekatnya. Pengakuan korban, dua kali dilakukan oleh kakeknya, AB (64) pada 2017, ayah korban A (37) empat kali pada 2020, dan paman korban O (35) tujuh kali pada 2020.
Kasus yang sungguh mengenaskan terjadi juga pada perempuan difabel di Magelang. Jawa Tengah. Korbannya, AR berusia (27). Dalam waktu yang berbeda, ia diperkosa oleh dua laki-laki, yang tak lain adalah anak dan ayah (IW). Kedua pelaku adalah tetangga belakang rumah korban. Bahkan, istri tersangka IW bekerja pada orangtua AR yang membuka usaha makanan. Perbuatan IW telah mengakibatkan korban hamil tujuh bulan.
Pada kasus pertama dengan pelaku anak IW, ditempuh penyelesaian secara kekeluargaan, dengan keputusan pelaku diusir ke luar dari kampung. Pada kasus yang kedua, polisi sempat mengalami kesulitan menyusun berita acara pemekisaan (BAP). Keterangannya kerap berubah-ubah. Apalagi tentang hari dan tanggal kejadian yang menimpanya. Korban yang sudah berusia 27 tahun, namun secara psikologi, daya pikirnya setara anak usia 10 tahun.
Pada kejadian kedua, AR konsisten menyebut nama IW yang memerkosanya. Dalam mediasi yang dihadiri oleh RT dan tokoh pemuda, IW berjanji membiayai persalinan AR dan memenuhi kebutuhan korban dan anak yang dilahirkannya kelak. Namun, setelah AR melahirkan, pengungkapan kasusnya menjadi lebih mudah, yaitu lewat pencocokan DNA (deoxyribo nucleic acid/ molekul terpenting dalam sel biologi). Tersangka AR tak bisa mungkir, kemudian polisi melanjutkan penyelidikannya.
Masih dari Magelang, HN juga berusia 27 tahun. Hampir serupa dengan AR, korban HN menurut penilaian psikologis daya pikirnya setara anak usia sembilan tahun. Menurut Efi Nurlaila, pendamping HN dari Konseling Bantuan Hukum (KBH) “Sahabat Perempuan”, kliennya itu sulit diajak berkomunikasi dan tak bisa disuruh menceritakan kronologi kejadian.
“Harus dipancing-pancing. Kalau ditanya kowe dikapake (kamu diapakan), dia konsisten menyebut nama A. Dia bilang manuke A nancep (burung A) di tempatku,” ungkap Efi. Cerita bahwa korban juga mengaku ditindih oleh A, ditindaklanjuti dengan memvisum.
Hasilnya, memunculkan dugaan pemerkosaan diakukan berkali-kali. Juga, ditemukan luka lama dan luka baru pada alat kelamin korban. Berbekal keterangan dan hasil visum, ibu korban kemudian melaporkan A ke PPA Polres Magelang.
Akan tetapi, keterangan Ibu korban itu cepat ditepis terduga. Ketika si ibu menceritakan kronolgi dan tanggal kejadiannya, terduga A yang berprofesi sopir dan karenanya kerap bepergian itu, membantah dengan alibi bahwa saat itu ia berada di tempat lain. Alibi A diperkuat dengan WA dan foto (di HP) bertanggal sama dengan yang disebut Si Ibu. Sementara seorang saksi mengaku cuma sering melihat HN bermain di sekitar rumah A dan memintanya jangan main jauh-jauh.
Untuk kasus (korban) yang tidak hamil, sebenarnya bisa menggunakan bukti sperma. “Tapi, biasanya sudah mengering. Kalau masih luka baru dan ada bekas sperma yang menempel, mungkin masih bisa diproses,” kata Efi yang tak mengungkap penyelesaian dugaan A memerkosa HN (suara.com., 12/12/21).
Kasus serupa di Magelang menimpa YA (21), perempuan difabel di Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten. Seperti pemberitaan media, Hidayat melaporkan EJ (39) dan S (46) telah memerkosa YA ke Polres Serang Kota. Sejak November 2021 polisi telah menjadikan keduanya sebagai tersangka pemerkosa YA. Kini YA dalam keadaan hamil tujuh bulan.
Akan tetapi, kemudian Polisi menangguhkan penahanan EJ dan S, menyusul pelapor, Hidayat mencabut laporannya dalam upaya penyelesaian melalui jalur “Keadilan Restorasi.” Upaya penyelesaian melalui RJ dilakukan setelah polisi menerima surat pencabutan laporan yang disertai berkas berisi hasil musyawarah kedua belah pihak dan keluarga.
Dalam surat pernyataan yang tak menyebutkan musyawarah juga melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, agama dan adat atau pemangku kepentingan (Pasal 2 ke-3 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia/ Perkap), itu S bersedia menikahi YA.
Mereka, seperti dibenarkan oleh Ketua RT Heri Kartini, sudah dinikahkan oleh ustadz di hadapan keluarga. Sementara, menurut Kompas.com (18/01/2022, 07:21), Kasatserse Polres Serang Kota, AKP David Adhi Kusuma akan melakukan gelar perkara untuk penghentian.
Dari proses kasus S dan YA sampai kepada penangguhan penahanan, tampaknya polisi patut memahami secara mendalam tentang keawaman masyarakat. Banyak dari mereka yang memahami “penangguhan penahanan” adalah bebas dari jerat hukum.
Apalagi, ada tanda-tanda penghentian perkara. Ini sangat berbahaya bila banyak di antara masyarakat melanjutkan di setiap kali ada anggota keluarga atau warganya terlibat kasus pemerkosa. Padahal, sebenarnya, di situlah korban (perempuan dan anak) berjatuhan.
Bukan rahasia lagi, terlalu banyak kasus pemerkosaan ketika terungkap ternyata bak gunung es; satu diungkap, bermunculan kasus-kasus berikutnya setelah semuanya sangat terlambat. Hal ini terjadi cuma karena malu tidak pada tempatnya sehingga masyarakat menutup rapat-rapat kasus-kasus pemerkosaan yang menimpa angota keluarga atau warga mereka.
Di daerah-daerah yang masyarakatnya demikian itu, para kepala daerahnya patut didorong memrakarsai penanganan kasus pemerkosaan di daerahnya secara terbuka (secara hukum). Sebab penanganan secara hukum bukanlah untuk yang berperkara saja, tapi lebih luas lagi berguna bagi publik.
Proses Hukum Tidak Setop
Peristiwa pidana pemerkosaan terhadap perempuan disabilitas, merupakan kasus-kasus di antara kasus-kasus kekerasan lainnya. Terkait pencabutan laporan di Polres Serang, Banten, menurut penulis, tidak seharusnya polisi kemudian menyetop proses hukum atas kedua tersangka, EJ dan S. Demikian pula terhadap kasus-kasus serupa di mana pun di tanah air.
Meski, S telah menikahi YA, kemudian telah pula ditempuh jalur penyelesaian RJ, polisi tidak terikat menghentikan proses hukumnya. Menurut Mukti Ali, S.H., M.Kn, praktisi hukum dari Firma SAGO MGP & Partner, pemerkosaan adalah delik biasa, bukan delik aduan. Jadi, polisi wajib melanjutkan sampai pelimpahan kepada jaksa. Selanjutnya, biarlah menjadi urusan jaksa (diskusi dengan penulis, Jumat, 21/1/22).
Lagi pula, merujuk pada Perkap No. 8 tahun 2021 tentang “Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restorasi” yang ditandangani Kapolri pada 19 Agustus 2021, ternyata musyawarah yang dilakukan antara pelaku dan korban beserta keluarganya, belum menyertakan tokoh-tokoh masyarakat.
Padahal, pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ke-3 Perkap itu disebutkan: Keadilan Restoratif adalah penyelesaian Tindak Pidana (TP) dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.
Bahkan, menurut penulis, terhadap penyelesaian perkara pemerkosaan, apa lagi korbannya perempuan yang karena “kekhususannya” sudah seharusnya mendapat perlindungan”, tidak sepatutnya diterapkan RJ. Memang, Pasal 5 Perkap No. 8 tahun 2021 mengekslud perkara dengan persayaratan matriil, yakni: d) Bukan pelaku pengulangan TP berdasarkan Putusan Pengadilan; dan e) Bukan TP terorisme, TP terhadap keamanan negara, TP Korupsi dan TP terhadap penghilangan nyawa orang.
Akan tetapi, tersedia dua ketentuan persyaratan materiil yang lain, yaitu: a) Tidak menimbulkan keresahan dan/ atau penolakan dari masyarakat; b) Tidak berdampak konflik sosial; dan c) Tidak berpotensi memecah-belah bangsa. Tiga persyaratan matriil tersebut (a, b, dan c), sangat jelas relevan dihubungkan dengan kepatutan menyertakan tokoh-tokoh dalam masayarakat dalam musyawarah.
Di Indonesia yang masyarakatnya secara umum menganut “patriark”, musyawarah yang bersentuhan dengan kebiasaan, adat-istiadat, norma tidak tertulis, dan norma agama, patut melibatkan sesepuh atau orangtua yang sangat dihormati di kampung (“patriark” dalam KKKSADBI, JSB.,2003: 267). Sampai di situ saja, gugurlah sudah kasus YA atau jika ada YA-YA yang lain di Tanah Air, untuk diselesaikan melalui jalur “RJ”.
Baca Juga: Nusantara di Tengah Khatulistiwa
Memperhatikan hirarki perundang-undangan, di atas Perkap, setidaknya ada Undang-undang (teratas ada UU 1945) yang musti diacu secara lurus dan konsisten terkait dengan kejahatan pemerkosaan, apalagi jika pemerkosaan terhadap penyandang disabilitas. Selain ada UU Hukum Pidana (KUHP), juga ada UU No. 8 tahun 2016 tentang “Penyandang Disabilitas” yang musti diacu.
Utang Wujudkan Pencegahan
Polri adalah bagian dari pemerintah yang menyelenggarakan pelayanan dan penegakan hukum secara berkeadilan. Terkait kewajiban terhadap penyandang disabilitas, saat ini Pemerintah terus berupaya memenuhi hak-hak penyandang disabilitas untuk menciptakan Indonesia yang inklusif.
Berbagai regulasi, kata Plt. Asisten Deputi Bidang Disabilitas dan Lansia Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Ade Rustama, telah menjadi modalitas yang cukup kuat.
"Tinggal kita bersama-sama mengawal memastikan regulasi tersebut betul-betul bisa terimplementasi dengan baik. Terutama untuk penghormatan perlindungan hak-hak disabilitas," Ade mengingatkan dalam Rakor Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, 16 Agustus 2021 di Jakarta (kemenkopmk.go.id. 17 Aug, 2021).
Selain mengekslud penerapan JR terhadap tersangka pemerkosa yang bersedia menikahi atau dinikahkan dengan korbannya, patut dipikirkan secara matang, arif, jauh ke depan (featuring). Apalagi kalau korbannya penyandang disabilitas.
Tujuannya, agar korban tidak menjadi korban berkali-kali di sepanjang berumah tangga. Misalnya, pernikahan cuma untuk melepaskan diri tersangka dari jerat hukum, kemudian segera setelah itu si laki-laki pergi meninggalkan sang istri begitu saja atau menceraikannya; kepastian tidak sedang berstatus suami dari perempuan lain; konsistensi pada komitmen untuk menafkahi keluarga.
Padahal, fakta menunjukkan, banyak ditemukan di mana-mana, perceraian dengan berbagai latar belakang persoalan, dilakukan oleh laki-laki beristri perempuan bukan penyandang disabilitas. Belum lagi, yang ditinggalkan begitu saja.
Memperhatikan penerapan RJ pada YA oleh Polres Kota Serang, patut membuahkan hikmah bagi Polri, untuk memperketat pengawasan agar tidak ditiru dengan berbagai modifikasi oleh para penyidik lainnya di seluruh Polda dan jajaran di tanah air. Hal yang sama juga disaksikan oleh masyarakat yang cenderung meniru, sehingga besar kemungkinan jalan RJ juga akan mereka tiru.
Tentu saja, yang paling berutang adalah Kapolri. Sebab, menaikkan Sub Dit PPA, dapat dimaknai akan membuatnya “lebih bergigi” ketika sudah menjadi Direktorat tersendiri. Maka, dalam lingkup tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya, Direktorat baru ini, baik dalam semua layanan dan penindakan, akan lebih tajam dan berkualitas dibandingkan masa-masa sebelumnya. Untuk itu, perlu dimatangkan dari sekarang.
Baca Juga: Relasi Hati dan Pikiran
Polri juga patut mempertinggi langkah-langkah pencegahan. Ini antara lain dapat dilakukan dengan mewujudkan di seluruh tanah air Kelompok Peduli Lingkungan Rawan Kejahatan Terhadap Anak dan Perempuan, seperti yang digagas oleh Kapolda Banten melalui FGD 29 Juni 2021. Polda Banten sendiri, tentu menjadi pihak yang paling di depan dan pertama dalam hal ini.
Bukankah, bila perkosaan sudah terjadi, tak jarang penyidik menemukan kerumitan sehingga tidak sederhana dalam melakukan penyidikan. Contoh konkret, seperti yang dialami dalam proses hukum kasus pemerkosaan difabel (AR dan HN) di Magelang, Untuk itu, polisi patut melakukan terobosan ketika alat bukti formal pengusutan perkara, tidak tampak.
Pasti tidak gampang. Tetapi, seperti dikutip suara.com (12/12/21-07.38), dosen hukum dan kriminologi Universitas Tidar, Magelang, Triantono, S.H., M.H. mengingatkan, penegak hukum harus berani mencari terobosan metode penyelidikan, terutama ketika alat bukti sebagai syarat formal pengusutan perkara tidak tampak. Maka, penyidik harus mencari teori lain ketika ilmu mengenai alat bukti tidak bisa dicapai dengan satu teori.
Jadi, penyidik tak sekadar berputar-putar pada pasal-pasa UU terkait. Juga, gedung-gedung semacam Gedung Pelayanan Khusus PPA yang bagus, bersuasana nyaman dan menyenangkan, seperti yang dibangun di Polda Kalbar, menjadi efektif termanfaatkan. Perlu kreativitas untuk itu! (*)