Jokowi Berulang Kali Sebut Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat

Ahmad Jaelani

Reporter

Kamis, 22 Agustus 2024  /  9:47 pm

Presiden Joko Widodo pernah bilang bahwa putusan MK final dan mengikat. Jokowi sendiri tercatat telah beberapa kali mengucapkan hal tersebut. Foto: Instagram@golkar.indonesia

JAKARTA, TELISIK.ID - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) selama ini dikenal sebagai landasan hukum yang bersifat final dan mengikat, terutama dalam konteks Pilpres dan Pilkada beberapa kali sudah disebutkan Presiden Jokowi Widodo (Jokowi).

Namun, situasi berubah saat DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyepakati revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada pada Rabu, (21/8/ 2024), secara eksplisit menganulir dua putusan MK terkait ambang batas pencalonan dan batas usia calon kepala daerah.

Keputusan ini langsung menuai reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat. Sikap DPR yang cenderung "mengakali" putusan MK dengan menyusun draf RUU Pilkada dalam rapat tertutup selama tujuh jam dinilai mencederai prinsip hukum dan demokrasi.

Dikutip dari Tempo, Kamis (22/8/3024), meskipun Jokowi berulang kali menegaskan bahwa putusan MK adalah final dan mengikat, langkah DPR ini seolah bertolak belakang dengan pernyataan Presiden.

Baca Juga: Peringatan Darurat, Deretan Artis Tanah Air Geruduk DPR Tolak Revisi UU Pilkada

Di masa lalu, Jokowi pernah menegaskan bahwa putusan MK adalah final dan harus dihormati oleh semua pihak. Pernyataan ini diucapkannya saat MK memutuskan hasil sengketa Pilpres 2019. Saat itu, Jokowi mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk menerima keputusan MK sebagai bukti keberhasilan dalam menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil.

"Putusan MK adalah putusan yang bersifat final dan sudah seharusnya kita semuanya menghormati dan laksanakan bersama-sama," ujar Jokowi di Lanud Halim Perdana Kusuma Jakarta pada Kamis, (27/6 2019).

Pada kesempatan lain, Jokowi kembali mengutarakan komitmennya terhadap putusan MK setelah lembaga tinggi tersebut menolak seluruh gugatan sengketa hasil Pilpres 2024.

“Pemerintah menghormati putusan MK yang final dan mengikat,” tegasnya melalui keterangan yang diterima, Selasa (23/4/2024).

Presiden juga menekankan bahwa berbagai tuduhan yang dilontarkan kepada pemerintah, mulai dari kecurangan hingga intervensi aparat, tidak terbukti.

Namun, situasi menjadi berbeda saat DPR mengesahkan revisi UU Pilkada yang bertentangan dengan putusan MK terbaru. Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah menjadi lebih fleksibel berdasarkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT), dianulir oleh DPR dengan alasan yang kontroversial.

DPR tetap berpegang pada ambang batas lama, yaitu 20 persen kursi atau 25 persen perolehan suara sah.

Selain itu, Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, yang menetapkan batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon, juga tidak dihiraukan oleh DPR. Sebaliknya, DPR memilih mengikuti Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024, yang menetapkan batas usia 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati atau walikota dihitung sejak pelantikan.

Baca Juga: Diterpa Isu Perceraian, Begini Kondisi Rumah Tangga Pratama Arhan dengan Azizah Salsha

Keputusan ini menuai polemik karena dianggap membuka jalan bagi putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, untuk maju dalam Pilkada mendatang.

Presiden Jokowi kembali menegaskan sikapnya soal putusan MK yang final dan mengikat, namun tak lama setelah itu, muncul sorotan tajam terhadap pernyataannya. Banyak pihak menganggap bahwa Jokowi seakan membiarkan DPR melanggar prinsip hukum yang selama ini ia pegang teguh.

Melalui pernyataan video yang dibagikan Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden, Jokowi mengatakan, "Kita hormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara. Itu proses konstitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki.”

Namun, pernyataan ini dianggap sebagai sikap pasif terhadap manuver DPR yang jelas-jelas bertentangan dengan putusan MK. Dampak dari pengesahan RUU Pilkada ini diprediksi akan mempengaruhi konstelasi politik di daerah, terutama terkait peluang partai-partai besar dalam mengusung calon kepala daerah tanpa harus memenuhi syarat ambang batas yang ketat. (C)

Penulis: Ahmad Jaelani

Editor: Mustaqim

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS