KPU Siapkan Tim Kuasa Hukum, MKMK Pastikan Adik Ipar Jokowi Tak Dilibatkan Sidang Sengketa Hasil Pemilu
Reporter
Sabtu, 09 Maret 2024 / 6:56 am
JAKARTA, TELISIK.ID – Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyadari potensi hasil Pemilu 2024 disengketakan oleh para kontestan, dan memperkarakannya dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi.
Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari menyebut, hasil pemilu yang akan disengketakan meliputi perolehan suara, suara yang dikonversi menjadi perolehan kursi, dan penetapan calon terpilih.
Untuk sengketa penetapan calon terpilih, tidak hanya pasangan calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres), tapi juga calon terpilih untuk DPR RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Menghadapi sidang sengketa PHP di MK nanti, KPU telah menyiapkan tim hukum untuk menjadi kuasa hukumnya.
“Dibentuk berapa tim dan kemudian siapa nama-namanya belum kita putuskan. Karena kita bisa (tentukan) kalau kita sudah punya gambaran berapa perkara yang diregister oleh Mahkamah Konstitusi,” ujar Hasyim di Media Center KPU RI, Jumat (8/3/2024).
Jika telah mengetahui jumlah perkara yang diregister oleh MK, Hasyim memastikan KPU sudah bisa menentukan secara teknis siapa saja kuasa hukum yang diamanahkan. Termasuk mengetahui beban kerja dan luasan wilayah sengketa PHPU yang kena gugatan.
“Kalau berdasarkan pengalaman (Pemilu) 2019 itu masing-masing dan juga menurut ketentuan di Mahkamah Konstitusi, legal standing atau pihak yang dapat mengajukan gugatan itu adalah pimpinan pusat partai politik (parpol),” jelas Hasyim.
Meski sengketa PHP sekalipun terjadi pada perolehan suara pemilu tingkat DPRD kabupaten/kota, Hasyim mengatakan yang punya legal standing untuk mengajukan gugatan adalah pimpinan parpol di tingkat pusat. Dalam hal ini diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) masing-masing parpol.
“Pengalaman yang lalu 2019, KPU membentuk tim untuk kuasa hukum dalam sengketa di Mahkamah Konstitusi pembagiannya adalah per partai, karena setiap partai itu (biasanya) akan mengajukan gugatan,” kata Hasyim.
Dalam sidang MK nanti, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) kembali menegaskan bahwa mantan Ketua MK, Anwar Usman, tidak bisa ikut terlibat mengadili sengketa PHP. Meski adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini masih tercatat sebagai hakim aktif.
“Sesuai dengan Putusan MKMK Nomor 2, beliau (Anwar Usman) tidak bisa mengikuti atau menyidangkan sengketa pemilihan presiden atau perselisihan hasil pemilihan umum,” tegas Anggota MKMK, Prof Yuliandri, Jumat (8/3/2024).
Anwar Usman telah dijatuhi sanksi oleh MKMK karena terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
Anwar tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan sengketa PHP karena dianggap memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan. Selain sebagai adik ipar Presiden Jokowi, Anwar juga sekaligus paman dari cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka.
Hakim MK lainnya yang berasal dari parpol yakni PPP, Arsul Sani, sebelumnya telah menyatakan komitmen tidak akan terlibat dalam sengketa pemilihan legislatif yang berkaitan dengan PPP.
“Kepastian peran Arsul Sani dalam menghadapi sengketa pemilu tergantung pada rapat permusyawaratan hakim (RPH). Namun saya yakin RPH akan bijak mengambil keputusan ini,” jelas Yuliandri.
Mengenai posisi Arsul Sani di MK, Ketua MK Suhartoyo mengapresiasi masukan dari mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie. Suhartoyo mengaku masukan Jimly sangat penting karena pelibatan Arsul Sani dalam sidang sengketa PHP berpotensi memunculkan kesan MK bukan lembaga independen.
“(Masukan Prof Jimly Asshiddiqie) Ini bagian dari yang akan dibicarakan bersama dengan para hakim,” ujar Suhartoyo, Jumat (8/3/2024).
Bila nantinya RPH memutuskan Arsul Sani tidak boleh terlibat menangani sengketa pemilu, Suhartoyo memastikan tidak akan menjadi masalah yang signifikan.
“Tujuh hakim masih kuorum, tapi tidak usah berandai-andai dulu karena belum tentu dikabulkan keberatan itu,” jelasnya.
Merujuk Peraturan MK RI Nomor 03/PMK/2003 tentang Tata Tertib Persidangan MK RI pada pasal 1 ayat (4), menyebutkan: Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi adalah sidang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan yang dihadiri oleh 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi, kecuali dalam keadaan yang luar biasa dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi.
Suhartoyo sebelumnya juga memastikan bahwa hakim yang mengadili sengketa PHPU, baik pileg maupun pilpres, tidak bisa menghadirkan saksi ahli ke persidangan.
“Apakah boleh hakim mengadili dalam perkara pileg dan pilpres nanti bisa aktif memanggil pihak ahli ke persidangan, itu saya tegaskan nggak bisa. Jadi semua itu harus dibawa ke persidangan, dibuktikan oleh para pihak, tidak boleh itu hakim cawe-cawe, harus begini, harus begini, nggak boleh,” tegas Suhartoyo di Bogor, Rabu (6/3/2024).
Jika ada sengketa PHPU tapi pemohon belum cukup menghadirkan saksi, Suhartoyo mengatakan hakim bisa menyarankan menambah saksi dan pemohon nanti yang menindaklanjuti.
“Kalau kemudian hakim menyarankan, misalnya 'eh kamu saksinya kurang nih', ditambah atau dan lain sebagainya, tetap yang mengajukan pihak yang bersangkutan langsung, bukan hakim yang cari kemudian bisa mendatangkan ahli seperti pada pengujian UU atau judicial review, nggak,” jelas Suhartoyo.
Suhartoyo menegaskan, hakim yang menangani sengketa PHPU tak boleh melebih-lebihkan kasus atau menambah fakta persidangan menurut inisiatif hakim. Bila ini terjadi, Suhartoyo memastikan hakim bersangkutan sudah berpihak. (A)
Penulis: Mustaqim
Editor: Haerani Hambali
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS