Masa Pandemi COVID-19, Saatnya Produk Lokal Berkiprah

Antasalam Ajo

Penulis

Sabtu, 04 Juli 2020  /  12:11 pm

Antasalam Ajo, S.P, M.Si, dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Buton. Foto: Ist.

Oleh: Antasalam Ajo, S.P, M.Si

Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Buton

Ada yang menarik. Bila disebutkan brand-brand seperti The Executive, Polygon, Casablanca, Wakai, dan Lea, mungkin Anda akan mengira bahwa produk-produk dari brand tersebut berasal dari luar negeri. Tidak. Sama sekali tidak. Ini adalah brand produk dalam negeri Indonesia, hasil inovasi anak bangsa, namun eksis di luar negeri. Ada juga Hoka Hoka Bento (Hokben) sebagai brand produk kuliner, Eiger brand produk untuk pencinta alam, dan Tomkins produk sepatu asal Bandung yang identik orang bule.

Polygon misalnya, adalah merk yang melekat pada sepeda yang didirikan tahun 1989 oleh PT Insera Sena di Sidoarjo, Jawa Tengah. Ternyata, perusahaan yang memproduksi sepeda ini terlebih dahulu memasarkan produknya di luar negeri, setelah sukses dan berhasil, kemudian sepeda ini dibawa kembali ke Indonesia. Atau Wakai, dimana banyak orang mengira sepatu Wakai adalah produk asli Jepang, padahal bukan. Wakai merupakan salah satu produk sepatu lokal yang kualitasnya sudah diakui oleh Internasional. Barangkali banyak lagi produk-produk lainnya.

Demikianlah contoh deretan produk-produk inovasi anak bangsa dibarengi dengan kualitas dan branding yang mumpuni, dan melalui proses yang tidak instan, terbukti memiliki kemampuan untuk bersaing dengan produk-produk bangsa lain yang dianggap lebih maju. Dan, ini adalah bukti bahwa anak bangsa Indonesia bisa berkarya dan mampu melampaui bangsa-bangsa lain.

Hanya saja, bila dilihat pada hari ini, sebagian di antara produk-produk anak negeri belum memiliki ‘nasib’ yang baik. Antara lain karena kurang kuat bersaing dan belum mendapat penanganan yang tepat. Hal ini disebabkan kurang sumberdaya yang dimiliki, kurang dana, kurang bantuan, atau kurang informasi dan lain-lain yang menyebabkan mereka belum berkiprah di luar negeri atau bahkan tak kuat ‘berbicara’ di negerinya sendiri.

Membahas tentang produk lokal, belum juga ada habis-habisnya. Padahal, produk lokal adalah produk yang dekat dengan rakyat dan merupakan produk keseharian rakyat. Sebab ia potensi atau kekayaan lokal, maka mengembangkan atau membangun produk lokal sama halnya dengan membangun kesejahteraan masyarakat lokal yang selama ini dianggap cenderung miskin atau tertinggal.

Baca juga: Peluang UMKM pada Masa Pandemi COVID-19

Menariknya, pada Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) ke 39 tahun 2019 pada 2-5 November 2019, di Kendari, Kementerian Pertanian (Kementan) RI menjanjikan tekad mengembalikan kejayaan komoditas kakao dan sagu. Ini karena kakao dan sagu di Tanah Anoa memiliki potensi sumber daya alam terutama sektor perkebunan dan pernah berjaya sebelumnya, sebagaimana ditegaskan oleh Menteri Pertanian RI, Syahrul Yasin Limpo. Barangkali terkandung maksud yang bagus yaitu, menjadikan dua komoditi tersebut sebagai main prime mover (pendorong pertumbuhan utama) yang akan menarik pertumbuhan pada komoditi-komoditi yang lain.

Warta Ekonomi (2019) menyebutkan Sulawesi Tenggara memiliki luas kebun kakao hingga 257.789 hektare. Luas ini terdiri dari 42.229 hektare tanaman kakao belum menghasilkan (TBM), 135.831 hektare tanaman menghasilkan (TM), dan 79.729 hektare tanaman kakao tidak menghasilkan atau rusak. Data BPS (2018) juga menempatkan Sulawesi Tenggara sebagai penghasil kakao terbesar ketiga di Indonesia setelah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan dengan hasil sebesar 16,17% secara nasional. Namun, produksi kakao terus menurun.

Mengenai sagu di Sulawesi Tenggara menunjukkan data yang tak kalah memprihatinkan. Menurut Ditjen Perkebunan (2017) luas pertanaman sagu sudah menyusut dari seluas 10.000 Ha pada awal tahun 1980-an menjadi hanya sekitar 4.000 Ha pada tahun 2017. Penyusutan tersebut disebabkan oleh berbagai alasan seperti alih fungsi lahan untuk kepentingan lain.

Apa yang disampaikan oleh Menteri Pertanian tersebut menunjukkan bahwa potensi komoditi lokal akan diangkat kembali dan diharapkan menjadi produk andalan daerah hingga dapat dieskpor. Berarti pengembangan komoditi kakao dan sagu menjadi komoditas yang dapat diandalkan akan menjadi prioritas. Tentu saja, kebijakan ini adalah langkah yang sangat tepat.

Namun, perlu diperhatikan bahwa sebenarnya produk lokal bukan hanya yang berbahan dasar kakao dan sagu ini. Masih ada produk lokal yang lain seperti produk lokal dengan bahan dasar jagung dan ubi kayu yang juga turun temurun lekat dengan kehidupan rakyat khususnya di Sulawesi Tenggara.

Mengingat kakao dan sagu akan diangkat kembali dan dijadikan sebagai komoditas lokal yang dapat diandalkan, artinya kedua produk tersebut dan turunannya dapatlah dikategorikan sebagai ‘komoditi lokal jalur atas’ karena besarnya perhatian pemerintah. Harapannya kedua komoditi tersebut berpotensi menjadi primadona kembali dan mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa khususnya petani dan pelaku agribisnis terkait di Sulawesi Tenggara.

Baca juga: Modal Sosial Pandemi COVID-19

Pada sisi lain, pengembangan ‘komoditi lokal jalur bawah,’ tentu juga membutuhkan sentuhan khususnya dari pemerintah lokal. Karena ‘komoditi lokal jalur bawah’ dimiliki umumnya rakyat kecil yang sudah ada sejak dahulu kala dan diusahakan secara turun temurun. Namun yang unik hingga kini sepertinya belum ada formula yang tepat untuk mengatasinya, serta seakan belum diproritaskan sehingga mampu mengangkat taraf hidup petani dan pelaku bisnis.

Hal yang penting adalah bila dikaitkan dengan pandemi COVID-19. Mengingat pandemi COVID-19 yang belum akan berakhir, tampaknya dapat dijadikan ‘titik mulai’ pengembangan produk atau komoditi lokal ini, karena beberapa alasan:

Penurunan produktivitas komoditi diberbagai daerah dan negara yang disebabkan oleh pengurangan aktivitas orang guna menghindari atau mengurangi penularan COVID-19. Dampaknya adalah, melambatnya mobilitas perdagangan barang dan jasa baik antardaerah maupun antarnegara karena selain yang disebutkan di atas, juga disebabkan adanya prioritas daerah atau negara tersebut untuk mengutamakan pemenuhan kebutuhan sendiri dan adanya pembatasan-pembatasan.

Dari sisi kemudahan bahan baku, pengembangkan komoditi lokal khususnya tentu saja tidak terlalu sulit karena bahan baku tersebut tersedia di daerah itu sendiri. Yang dibutuhkan tentunya adalah penerapan teknologi yang tepat didukung kemampuan sumber daya manusia yang berkualitas serta adanya kemampuan membaca peluang dan memanfaatkannya dengan baik.

Ini yang penting, yakni membangun berdasarkan potensi sendiri. Apa saja yang bisa dibangun baik oleh negara atau daerah, perlu fokus pada pengembangan potensi yang dimiliki. Bila tidak maka sulit rasanya ada kemajuan. Apalagi yang dibangun adalah potensi wilayah atau negara lain.

Biasanya akibat yang terjadi adalah jumlah uang yang ke luar lebih banyak daripada jumlah uang yang masuk sebagaimana cash flow (arus kas) dalam perusahaan. Sebab untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup terpaksa membeli komoditi dari daerah atau negara lain. Nah, akhirnya yang kaya adalah daerah atau wilayah lain, sementara rakyat di daerah sendiri tetap miskin atau tertinggal.

Baca juga: COVID-19 dan Isi Perut

Jadi, satu di antara sekian cara membangun daerah adalah membangun atau mengembangkan daerah berdasarkan potensi yang dimilikinya sendiri. Dari sini dapat dipastikan secara langsung dampaknya bisa dinikmati pula oleh masyarakat bawah.

Guna mengantisipasi penurunan produktivitas yang pada gilirannya setiap negara atau daerah lebih fokus memenuhi kebutuhannya sendiri, maka mau atau tidak komoditi lokal ini harus diprioritaskan. Hal ini dilakukan untuk menutupi kekurangan khususnya bahan pokok di pasar lokal karena pembatasan kegiatan akibat COVID-19.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo (Merdeka.com, 2020) pernah mengingatkan bahwa akan terjadi penurunan aktivitas ekspor-impor karena adanya pembatasan perdagangan dari berbagai negara. Pembatasan ini dilakukan untuk memitigasi penyebaran wabah virus corona ini.

Meningkatkan kiprah produk lokal ini merupakan salah satu cara meningkatkan kesejahteraan rakyat sekaligus juga kemandirian daerah. Misalnya ‘komoditi jalur atas’ harusnya fokus atau tidak mengabaikan juga pada meningkatkan nilai tambah (value added).

Memang kakao atau sagu merupakan produk unggulan Sulawesi Tenggara yang tak diragukan, namun terbentur pada pertanyaan klasik, yaitu apakah bagian dari keuntungan usaha komoditi ini dominan dinikmati oleh petani atau pedagang kecil atau justru pedagang besar, atau negara lain? Masih tanda tanya.

Contohnya coklat. Sulawesi Tenggara sejak dulu mengeskpor coklat sampai ke luar negeri tapi dalam bentuk mentahnya atau katakanlah setengah jadi, namun dijual kembali ke dalam negeri dengan harga yang jauh lebih mahal dan laku keras karena disukai. Artinya yang nikmati keuntungan terbesarnya adalah negeri lain, sedangkan negeri ini hanya kebagian mengkonsumsinya.

Di masa pandemi COVID-19 ini, penanganan produk lokal harus lebih serius lagi, khususnya oleh pemerintah daerah. Apalagi semua orang tahu, skala usaha yang dimiliki oleh rakyat masih berkutat pada usaha mikro dan kecil (UMK), dan belum banyak yang menjadi produk industri yang unggul sehingga bisa mengangkat kehidupan pelaku usaha ke taraf yang lebih tinggi. Dengan langkah yang tepat, maka resiko kekurangan komoditi pokok khususnya pangan dapat diantisipasi lebih dini.

Baca juga: Potulumi: Yang Bergerak di Pasar Selama Pandemi

Minimal ada dua solusi agar produk lokal lebih banyak berkiprah khususnya dari sisi pemerintah daerah, yaitu:

1. Adanya regulasi yang mengikat di setiap daerah supaya memprioritaskan pembangunan daerah berbasis potensi lokal. Tujuannya agar dengan payung hukum yang ada, mau atau tidak, pemerintah daerah akan lebih care kepada UMK. Hal ini juga akan memberikan kepastian prioritas pembangunan daerah dalam setiap kepemimpinan daerah yang bersifat priodik, tapi menjamin kesinambungan pembangunan berbasis sumberdaya lokal tersebut.

2. Adanya kepemimpinan yang kuat yang konsisten dalam menjalankan regulasi yang ada. Karena memang setiap kepala daerah memiliki cara pandang yang berbeda dalam membangun, namun bila memiliki kebijakan yang kuat dan sensitif membela rakyat kecil, maka prioritas pembangunan daerah difokuskan pada kekayaan yang tersedia.

Bentuknya adalah adanya program yang terukur pada setiap tahun APBD hingga didukung oleh jumlah anggaran yang memadai dengan komposisi yang berimbang dengan pembangunan bidang lain. Juga, adanya target dan sasaran pengembangan komoditi yang dapat diukur dan dievaluasi secara rutin.

Menghadapi persaingan yang ketat dan kondisi masa pendemi COVID-19 ini yang memicu perlambatan ekonomi global yang berakses pada pembangunan tingkat lokal, dibutuhkan kejelian dalam memberi diagnosa dan solusi terkait kondisi ini. Hal ini bukan hanya kewajiban pemerintah daerah saja, tapi juga rakyat itu sendiri, atau pihak lain. Meskipun konstitusi meletakkan fungsi-fungsi pemerintah sebagai pemikul amanah terbesar membangun masyarakat dan daerahnya.

Mudah-mudahan dengan upaya yang serius tersebut, mampu memberi dampak positif pada pengembangan produk lokal. Melalui proses-proses yang terus menerus, dan konsisten, produk-produk lokal diharapkan menjadi produk unggulan daerah hingga berorientasi ekspor, sekaligus mengangkat taraf hidup atau kehidupan ekonomi baik masyarakat bawah kalangan petani maupun masyarakat industri agribisnis daerah pada umumnya. Wallahu a’lam.