Peluang UMKM pada Masa Pandemi COVID-19
Antasalam Ajo, telisik indonesia
Sabtu, 13 Juni 2020
0 dilihat
Antasalam Ajo, S.P, M.Si, dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Buton. Foto: Ist.
" Entah karena apa, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dipandang sebagai golongan ekonomi yang paling kurang tersentuh dibanding pengusaha besar, baik di masa normal, di masa krisis, termasuk di masa darurat sekarang ini, hingga mungkin nanti di masa ‘new normal’. "
Oleh: Antasalam Ajo, S.P, M.Si
Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Buton
Entah karena apa, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dipandang sebagai golongan ekonomi yang paling kurang tersentuh dibanding pengusaha besar, baik di masa normal, di masa krisis, termasuk di masa darurat sekarang ini, hingga mungkin nanti di masa ‘new normal’.
Faktanya, hingga hari ini pada saat kasus COVID-19 yang semakin meningkat, tak menonjol terdengar bagaimana antisipasi dampak yang akan terjadi pada UMKM ini yang langsung menyentuh atau tidak langsung dan dirasakan manfaatnya oleh UMKM itu sendiri, dibandingkan dengan isu penanganan COVID-19 itu sendiri dan isu terkait ekonomi kelas menengah ke atas.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Brian Sriprahastuti, (26 April 2020) menyatakan bahwa bingkai yang digunakan dalam menangani COVID-19 adalah persoalan kesehatan masyarakat yang sudah dinyatakan sebagai bencana nonalam. Dengan demikian perubahan kebijakan terutama penanganan UMKM ini belum akan menjadi prioritas terkait penanganan dampak terhadap ekonomi, dan tergantung kepada evaluasi yang katanya terus dilakukan dari waktu ke waktu.
Saban hari, meskipun ada program di bidang ekonomi, yang tampak di permukaan adalah seakan-akan fokus terhadap perusahaan besar terutama di kalangan pejabat. Hal ini tentu terus memicu berbagai kritik dari kalangan masyarakat hingga para pemerhati ekonomi rakyat, apakah pembangunan negeri ini adalah untuk masyarakat seluruhnya, atau kelompok masyarakat yang terbatas?
Baca juga: Modal Sosial Pandemi COVID-19
Alasan yang dikemukakan adalah pengusaha besar paling banyak merasakan dampak ekonominya karena pemberlakukan PSBB yang mana kegiatan perusahaan jauh berkurang, dan mendorong terjadinya PHK karena penurunan pendapatan perusahaan. Di samping itu muncul pula perkiraan yang kurang tepat.
Misalnya, Nufransa Wira Sakti, Staf Ahli Menteri Keuangan (10 Mei 2020) menulis di Kompas yang mengutip The Singapore University of Technology and Design yang memperkirakan puncak pandemi di Indonesia telah terjadi pada bulan 19 April 2020 yang lalu dan secara berangsur akan berakhir secara total pada akhir Juli 2020 ini. Sementara faktanya lain.
Pandangan tersebut tentu tak bisa disalahkan berdasarkan berita yang mendominasi jagad publik. Buktinya antara lain kunjungan Presiden Joko Widodo ke Summarecon Mall Bekasi, Selasa (26 Mei 2020) untuk mengecek persiapan pengelola mall dalam memasuki fase ‘new normal’ sebelum mall tersebut kembali buka pada 8 Juni ini.
Sebenarnya pada tanggal 3 April 2020, terungkap bahwa Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menyiapkan 8 program khusus sebagai upaya untuk mengantisipasi dampak ekonomi wabah COVID-19 terhadap pelaku Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (KUMKM), antara lain pemberian stimulus daya beli produk UMKM dan koperasi, relaksasi kredit usaha mikro, pembuatan produk untuk antisipasi COVID-19 melalui KUMKM, keringanan pajak, dan BLT yang diperluas untuk UMKM.
Baca juga: COVID-19 dan Isi Perut
Ini tentunya informasi yang menggembirakan bagi KUMKM. Sedangkan untuk pemerintah daerah, entah apa yang dijanjikan dan boleh jadi berbeda antar daerah berdasarkan diagnosis dan pilihan kebijakan daerah bersangkutan.
Hanya saja, harus diakui, efektivitas pelaksanaan program pemerintah pusat di daerah biasanya tidak semudah yang diharapkan, alias jauh panggang dari api. Baik karena program tidak direncanakan dengan pruden, tidak diikuti regulasi yang kuat, kebijakan yang berubah-ubah (tidak konsisten), atau pemahaman pelaksana di lapangan yang tidak ’nyambung’ dengan pidato-pidato para pejabat pembuat program.
Tanpa perlu terlalu banyak berharap pada berbagai stimulus yang dijanjikan pemerintah pusat, atau pemerintah daerah tertentu, yang seringkali ujungnya adalah ‘menelan ludah’ saja, sebenarnya UMKM selalu kuat dalam menghadapi berbagai macam krisis.
Ekonom CIDES (Center for Information and Development Studies), Hadiwijono (2012) memaparkan bahwa ada 3 (tiga) faktor yang membuat UMKM bisa bertahan di masa krisis. Pertama, umumnya UMKM menghasilkan barang konsumsi yang dekat dengan kebutuhan masyarakat dan memperkuat sektor riil.
Kedua, pelaku usaha UMKM umumnya memanfaatkan sumber daya lokal, baik sumber daya manusia, modal, bahan baku, hingga peralatan. Ketiga, umumnya UMKM tidak ditopang pinjaman dana dari bank, melainkan dari dana sendiri.
Baca juga: Kembalinya Pendidikan Keluarga di Tengah Pandemi COVID-19
Menurutnya, meski pertumbuhan UMKM belum signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara nasional, namun UMKM telah menjadi backbone dan buffer zone yang menyelamatkan negara dari keterpurukan ekonomi yang lebih mendalam. Nah, hal ini juga akan teruji kebenarannya di masa pandemi COVID-19 saat ini.
Hal tersebut tentu saja rasional, dimana pada masa pandemi COVID-19 dengan ciri utama adalah mengurangi hingga meniadakan sama sekali gerakan masyarakat yang bersifat massal di tempat-tempat umum, di kantor, di pabrik, di pasar hingga di tempat ibadah sekalipun, sedikit atau banyak akan berpengaruh kepada UMKM juga.
Namun, situasi ini bisa menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan oleh UMKM itu sendiri, dengan bukti ‘kesaktian’ yang dimilikinya pada saat menghadapi berbagai krisis ekonomi sebelumnya.
Dalam rangka memperkuat hal-hal tersebut, di saat perusahaan besar menghadapi ancaman ‘kolaps’, PHK serta lainya, dan butuh suntikan-suntikan bantuan pemerintahan yang juga besar, peluang terbuka bagi UMKM di masa pandemi COVID-19 ini bisa didapatkan dengan syarat antara lain, yakni:
UMKM tidak berhenti beraktivitas. Asalkan UMKM terus beroperasi, maka UMKM tidak akan mati sebab UMKM tidak terlalu terkait dengan pihak lain khususnya perusahaan besar, yang apabila ia goncang, maka di bawahnya juga ikut goncang. Ia juga kurang bergantung pada lembaga kreditur atau pemberi modal lain karena ribetnya persyaratan pemberian kredit.
Baca juga: Dampak Broadcast Informasi COVID-19 Melalui WhatsApp Terhadap Kecemasan
UMKM tidak melibatkan banyak orang. Usaha mikro umumnya hanya melibatkan jumlah orang yang sangat kecil, bisa 1 orang, 2, hingga 5 orang. Hal ini berbeda dengan perusahaan besar yang melibatkan atau mempekerjakan ratusan hingga ribuan orang.
Menghadapi situasi pandemi ini, mau tidak mau, ia harus menghindari pengumpulan orang dalam jumlah besar yang menjadi pemicu utama penyebaran penyakit Covid-19 ini. Perusahaan besar harus ikut protokol kesehatan ini bila ia ingin aman dari penyebaran Covid-19.
UMKM menyediakan barang atau jasa yang dekat dengan konsumennya. Katakanlah penjual sayur, ikan, buah-buahan, produk industri kecil atau produk olahan rakyat yang dekat dengan masyarakat. Apalagi ini kebutuhan harian banyak orang, maka biasanya produk yang dimilikinya dipastikan bisa selalu terserap oleh pasar atau konsumen di tengah berkurangnya suplai produk barang dan jasa dari perusahaan-perusahaan besar yang jauh berkurang.
Pasar tradisional adalah pusat kegiatan UMKM, yang sulit rasanya ditutup aktivitasnya kecuali pemerintah menerapkan kebijakan lockdown. Apalagi pemerintah ‘tak mampu’ membiayai konsekuensi penerapan lockdown di masyarakat, sesuai regulasi yang ada, maka satu-satunya yang terus beroperasi adalah UMKM.
Juga, menutup pasar tradisional artinya akan mengancam terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat banyak yang bisa membahayakan karena memicu persoalan sosial juga.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk dijadikan alasan agar pemerintah tidak memberi bantuan kepada UMKM, namun fakta sebelumnya tidak terbantahkan. Justru seharusnya dengan ketahanan yang dimilikinya, stimulus atau penguatan UMKM ini perlu ditingkatkan, demi mewujudkan ekonomi berkeadilan dan dirasakan manfaatnya oleh semua pihak dalam masyarakat.
Baca juga: Keluarnya Narapidana di Masa Pandemik, Perlukah?
Tujuannya adalah agar pelaku ekonomi kecil tidak mengeluarkan energi yang terlalu banyak dalam mempertahankan kelanjutan usahanya. Ini sesuai dengan konstitusi bernegara dan sila Pancasila antara lain sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Inilah harusnya jadi concern pemerintah sesuai dengan tujuan berbangsa dan bernegara yaitu memberikan kesejahteraan kepada rakyat tanpa pandang bulu.
Dengan ketahanan yang dimilikinya, UMKM sebenarnya adalah penyelamat ekonomi bangsa di saat berbagai krisis. Oleh sebab itu, maka semua pihak pun harus berterima kasih kepada UMKM ini. Walaupun mereka butuh atau sangat butuh dengan bantuan pemerintah atau pihak lain, UMKM pada faktanya tidaklah ‘cengeng’ di mana sedikit-sedikit bergantung kepada pihak lain. Mereka mandiri meskipun lemah di mata banyak orang. Mereka tetap tegak meski yang lain terancam bertumbangan.
Sekarang, yang ditunggu adalah action dari janji-janji stimulus dari pemerintah pusat hingga daerah sebagaimana telah diungkapkan di atas. Yang diinginkan adalah wujudnya bukan halusinasi, pelaksanaannya bukan bicaranya, dan buktinya bukan janjinya.
Dampak pandemi COVID-19 yang cepat hingga menyentuh berbagai aspek di luar bidang ekonomi tentunya meluas cukup besar. Berbagai upaya dan jurus dilakukan berbagai pihak guna mengurangi dampak di bidangnya masing-masing. Seperti dunia pendidikan, pariwisata, perhubungan, politik, hingga pertahanan dan keamanan.
Tapi bidang ekonomi terkait kebutuhan pokok masyarakat tak boleh mengalami guncangan, karena ancamannya adalah sekali ia mengalami shock berlebihan, maka bisa mendorong penyakit sosial yang parah hingga kerusuhan berskala luas. Ini harus menjadi perhatian bersama.
Baca juga: Diskusi Demokrasi di Tengah Pandemi
Jadi, peluang bagi UMKM di masa pandemi COVID-19 ini cukup terbuka. Apalagi COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, maka bandul ekonomi bisa saja mengalami pergeseran, dengan syarat dukungan kebijakan yang kuat.
Ekonomi konglomerasi yang kapitalis dan terlalu bergantung kepada pemegang modal yang selama ini dominan, bisa saja pengaruhnya berkurang, dan bergeser kepada ekonomi kesejahteraan rakyat banyak yang berkeadilan.
Sebab sekarang ini, upaya untuk menjaga ekonomi konglomerasi agar bisa terus bertahan umumnya menguras tenaga dan anggaran rakyat yang lebih besar. Pada sisi lain juga mengundang banyak kritik masyarakat sipil, komponen bangsa yang peduli, dan rakyat itu sendiri.
Harapan agar stimulus UMKM tentu saja bisa segera sampai ke pihak UMKM. Tak perlu lagi terlambat karena kajian yang butuh waktu yang terlalu lama. Regulasi pelaksanaan juga harus sudah ada dan mendukung program tersebut.
Dengan terlaksananya program yang dijanjikan khususnya yang berdampak secara langsung kepada rakyat, akan meningkatkan kembali kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Sebab, sekarang ini yang dibutuhkan adalah kepercayaan di masa krisis.
Di saat kasus terpapar COVID-19 yang positif terus menanjak, tidak ada kepastian kapan akan berakhir, sudah barang tentu akan menimbulkan banyak keraguan demi keraguan atas situasi yang sedang terjadi di tengah penderitaan rakyat yang semakin bertambah.
Namun, apabila tidak terlaksana dengan berbagai alasan, hingga dicap sebagai program pencitraan saja, atau program penghibur penggembira, maka tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depan, kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Semoga Tuhan melindungi bangsa dan negara ini. (*)