Menyoal Periode Jabatan Presiden
Kolumnis
Minggu, 21 Maret 2021 / 11:27 am
Oleh: Efriza
Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Kemanusiaan
MENGENAI periode jabatan presiden kembali mengemuka di publik. Pada periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi), perdebatan ini telah mengemuka di publik hingga dua kali yakni pada Desember 2019 dan Maret 2021 ini.
Sasaran isu ini dihembuskan tentu arahnya adalah Istana, dengan sasarannya yakni presiden yang menjabat.
Periode jabatan presiden pasca Pemilu serentak 2019 lalu, memang menjadi perdebatan. Dari golongan yang pro terhadap Presiden Jokowi turut menghembuskan isu atas harapan mereka bahwa Presiden Jokowi bisa maju kembali untuk memperoleh kesempatan memimpin Indonesia kembali untuk tiga periode.
Sedangkan dari kubu yang kontra tentu ingin memperoleh perhatian publik dan tentu saja mengupayakan memerosotkan citra dan elektabilitas seorang presiden yang sedang memimpin tersebut.
Dari persoalan mengenai periode jabatan presiden ini banyak hal yang bisa didiskusikan. Artikel ini ingin membahas dinamika dari isu periode jabatan presiden.
Pengaturan Periode Jabatan Presiden
Bergulirnya era Reformasi ditunjukkan juga dengan dilakukannya amandemen UUD 1945. Amandemen pertama dilakukan untuk membatasi jabatan presiden. Lembaga eksekutif memang inti dari pemerintahan dan tidak dapat direduksi, sehingga wajar menurut Andrew Heywood bahwa dalam perkembangan politik upaya mengawasi dan membatasi eksekutif penting dilakukan.
Dengan cara mendorong eksekutif untuk berjalan dalam kerangka konstitusional, atau membuat eksekutif bertanggung jawab terhadap lembaga perwakilan rakyat, atau dengan melakukan perwujudan demokrasi elektoral, (Heywood, 2014: 501).
Perkembangan kenegaraan di Indonesia pada era reformasi juga melakukannya, seperti pengaturan dalam Pasal 7 UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Pengaturan ini dihasilkan dari amandemen pertama UUD 1945, yang didasari oleh realitas di masa Orde Baru, bahwa Soeharto dapat menjabat sebagai presiden selama 32 tahun, dengan tujuh kali Soeharto memperoleh mandat untuk dipilih kembali oleh MPRS/MPR.
Saat itu memang tak bisa dilepaskan bahwa kita menganut prinsip kedaulatan parlemen (supremasi parlemen) bukan murni berdasarkan kedaulatan rakyat. Rakyat merujuk kepada UUD 1945 sebelum diamandemen, menyerahkan kekuasaannya kepada MPR.
Sehingga, MPR menjadi badan tertinggi negara (supreme body of state), dengan diikuti oleh kekuasaannya yang dapat berbuat apapun (omnipotent), sehingga wajah MPR terkesan diktator.
Akhirnya, melalui amandemen UUD 1945 yang diinisiasi oleh MPR, di samping pengaturan kembali terkait periode jabatan presiden, juga kekuasaan MPR pun tidak lagi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi melainkan Indonesia menerapkan pengaturan secara horizontal fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antarlembaga negara (checks and balances), (Efriza, 2021: 114).
Publik dan Upaya Merebut Simpatik Publik
Tepatnya Desember 2019 lalu, jika kita telusuri dari berbagai media. Presiden Jokowi telah menolak usulan untuk tiga periode jabatan presiden. Pernyataan tegas Presiden Jokowi pun disampaikan kembali untuk menjawab viralnya video dari Amien Rais, yang mendeskripsikan adanya skenario mewujudkan Presiden Jokowi untuk tiga periode.
Melalui video terkait keterangan pers presiden di Istana Merdeka pada Sabtu 13 Maret 2021, presiden kembali menjelaskan mengenai sikapnya yang tidak berubah. Ia juga menegaskan bahwa ia tidak ada niat, dan tidak ada juga berminat menjadi presiden tiga periode.
Presiden Jokowi juga menunjukkan bahwa ia mematuhi konstitusi. Konstitusi telah mengamanatkan dua periode. Sikapnya pun juga menunjukkan tak ada keinginan untuk melakukan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Info Seputar Presiden, 13 Maret 2021).
Baca Juga: Kematian Partai Politik
Semestinya, sejak Desember 2019 lalu, diskursus dari polemik tiga periode jabatan presiden, sudah dapat diakhiri. Jika kita pelajari, polemik ini sebenarnya adalah hal biasa. Selalu dihembuskan setiap periode kedua seorang presiden terpilih.
Isu ini merupakan wacana klasik ketika memasuki Pilpres selanjutnya. Bukan hanya di periode Jokowi, isu ini pernah berhembus juga diperiode SBY, bahkan sempat juga mewarnai mengenai jabatan wakil presiden dari Jusuf Kalla terkait hal yang sama yakni periode masa jabatannya. Tetapi pada akhirnya, tetap bermuara kepada mematuhi pengaturan konstitusi hasil amandemen tersebut.
Jadi, mengenai jabatan presiden dapat dipastikan hanya untuk dua periode. Tetapi yang menarik adalah tampaknya secara disadari atau tidak, perilaku memilih masyarakat masih bersifat tradisional. Sejak era reformasi bahwa konstitusi memang telah mengamanatkan yakni periode jabatan presiden adalah dapat dipilih kembali sampai dua periode.
Maka wajar dua kali Pilpres, seseorang kembali dipilih untuk menjabat kedua kalinya sebagai presiden. Preseden ini ditunjukkan dari terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi dalam dua periode kepemimpinan sebagai Presiden.
Perilaku memilih yang terkesan tradisional ini adalah mayoritas suara masyarakat kembali memilih orang yang sama untuk menjabat sebagai presiden. Alasan yang mendasari masyarakat, diduga karena masyarakat menganggap bahwa ia masih layak untuk kembali memimpin, di samping kekhawatiran masyarakat bahwa presiden yang baru belum tentu akan lebih baik daripada presiden sebelumnya tersebut.
Meski begitu, sejak era reformasi, pasca Pilpres, seorang presiden terpilih akan selalu mengalami kegaduhan politik yang dilakukan oleh para politisi. Kegaduhan ini semakin membesar, jika seseorang tersebut terpilih untuk kedua kalinya.
Meski dipilih kembali oleh masyarakat, tetapi presiden tampaknya secara terus menerus dibebani untuk mengurusi kegaduhan demi kegaduhan yang dilakukan oleh politisi.
Realitas ini terjadi didasari oleh sistem multipartai di Indonesia dengan tidak adanya partai mayoritas mutlak. Sehingga wajar, pada setiap periode kedua seorang presiden terpilih, selalu saja kondisi politik menjadi tidak kondusif. Di samping pula, karena tidak hadirnya petahana dalam pilpres berikutnya. Maka, upaya-upaya merebut simpatik publik dilakukan jauh-jauh hari.
Begitu pragmatisnya partai politik di Indonesia, perangai tidak menghormati pilihan rakyat, tidak menghargai demokrasi, tak hanya dilakukan oleh oposisi tetapi juga partai pendukung pemerintah. Mereka terus melakukan berbagai manuver, sehingga seolah-olah presiden di Indonesia hanya menikmati masa tenang sekitar satu sampai tiga bulan saja.
Sisanya, presiden bukan disibukkan untuk memikirkan dan memprioritaskan masyarakat. Tetapi harus menyibukkan diri, menyelesaikan kegaduhan politik yang dihadirkan oleh politisi dari partai-partai politik.
Mewujudkan Sistem Partai Sederhana
Jika kita pelajari secara seksama, problematika memimpin negeri ini terjadi karena banyaknya jumlah partai. Sayangnya, dengan jumlah partai yang banyak, juga tidak dihasilkannya partai politik yang memperoleh suara mayoritas.
Ini memang problematika kepartaian di Indonesia, partai-partai lebih memilih menjadi mengambang secara ideologi dengan mengedepankan sikap pragmatis semata. Sehingga wajar jika setiap pemilu, rakyat lebih tertarik kepada tokoh dibandingkan partai politik, rakyat enggan mengidentifikasikan diri dengan partai yang sama selama siklus pemilihan.
Untuk itu kita perlu memikirkan kembali beberapa hal berikut, pertama, sudah semestinya terkait sistem kepartaian, mewujudkan pengupayaan dihasilkannya sistem kepartaian sederhana meski masih bersifat multipartai.
Kedua, perlunya kita membenahi berbagai UU seperti mengenai sistem pemilu, partai politik, penyelenggaraan pemilu, pemilihan kepala daerah. Dengan mengupayakan rumusan yang lebih komprehensif dan berjangka panjang berdasarkan bangunan yang bersinergi antara sistem kepartaian, sistem pemilu, dan sistem pemerintahan.
Memikirkan untuk merumuskan membangun sistem kepartaian yang sederhana, juga membangun rumusan bangunan yang lebih baik dan bersinergi dari sistem kepartaian, sistem Pemilu, dan sistem pemerintahan, maka secara perlahan akan menghasilkan kebermanfaatan bagi perkembangan negara ini. (*)