'Pemaksaan' Menteri Mundur dari Kabinet

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 21 Januari 2024
0 dilihat
'Pemaksaan' Menteri Mundur dari Kabinet
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Setidaknya ada 15 menteri yang siap mundur dari Kabinet Indonesia Maju (KIM) Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

ALKISAH diinformasikan oleh Faisal Basri seorang pengamat ekonomi senior. Faisal menginformasikan setidaknya ada 15 menteri yang siap mundur dari Kabinet Indonesia Maju (KIM) Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dia menyebut kelima belas nama, hanya saja tiga nama yang begitu menarik media massa. Ketiga nama dalam beberapa pekan ini acap ditanya untuk mengkonfirmasi apakah mereka akan mengundurkan diri.

Tersebut nama Sri Mulyani Menteri Keuangan (Menkeu), maupun Basuki Hadimuljono Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Menteri PUPR), dan disebut juga Pramono Anung yang menjabat sebagai Sekretaris Kabinet, ketiganya ramai diberitakan akan mengundurkan diri. Peristiwa ini yang menarik untuk kita kaji bersama.

Upaya Melemahkan Legitimasi Presiden

Mencuatnya isu Sri Mulyani dan Basuki Hadimuljono akan mengundurkan diri. Jika ditelusuri, itu hanya gerakan perorangan semata yang dilakukan oleh ekonom senior Faisal Basri. Faisal ditenggarai sedang berjuang atas persepsi dirinya yang kecewa dengan kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).  

Persepsi dirinya yang kecewa terhadap kepemimpin Presiden Jokowi tersebut yang kemudian dilemparkan oleh dirinya kepada publik mengenai “bumbu” informasi Sri Mulyani, Basuki Hadimuljojo, akan mengundurkan diri, termasuk juga lima menteri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Kisah mengenai mundurnya menteri-menteri dari kabinet memang pernah terjadi di masa Orde Baru. Presiden Soeharto ketika itu sedang mengalami krisis ekonomi, ternyata fakta kondisi di lapangan, jika dibiarkan Indonesia bisa kolaps. Kepuasan masyarakat terhadap kinerja Pemerintahan Soeharto juga dalam fase yang mengecewakan. Gelombang demonstrasi begitu tinggi terjadi setiap pekannya.

Presiden Soeharto ketika itu dengan menggunakan Konsep Andrain (Ramlan Surbakti, 1982: 93-94), Pemerintahannya sedang menghadapi krisis legitimasi, banyak hal yang disoroti seperti terjadinya krisis kebijakan, disertai krisis kepemimpinan, sekaligus terjadinya krisis identitas dari masyarakat. Ini semua terjadi karena ketidakbecusan Pemerintahan yang dijalankan oleh Soeharto sebagai Presiden.

Langkah mundur menteri-menteri jika ditelusuri faktanya, diawali dari gerakan moral. Masyarakat kecewa atas kepemimpin Presiden Soeharto, kemudian gerakan moral dilakukan oleh tokoh-tokoh nasional yang merespons kegagalan pemerintahan Soeharto.

Dari gerakan moral itu merembes kepada pemikiran rasional para menteri, sehingga mereka berkumpul untuk berdiskusi menyikapi kondisi negara. Akhirnya dari satu menteri memilih mengundurkan diri yang secara bersamaan diikuti oleh menteri-menteri lainnya.  

Berkaca dari kasus di masa Orde Baru ini, tampak jelas dan diakui oleh Faisal Basri, ia meniru lemparan wacana tersebut dari kasus kejatuhan Orde Baru. Situasi di kementerian yang menyikapi kondisi negara yang sedang krisis ekonomi, menyebabkan Pemerintahan Orde Baru tumbang.

Padahal sehari sebelum gelombang mundurnya menteri-menterinya di kabinet. Presiden Soeharto berbicara dengan Ginandjar Kartasasmita sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) untuk membantu dirinya dalam menyusun Kabinet Reformasi.

Baca Juga: Riuh-Rendah Debat di Pilpres 2024

Faktor kerapuhan Soeharto jelas didasari oleh sikap menteri-menterinya di kabinet yang sudah tidak lagi sejalan dengan Pemerintahan dan juga pengelolaan pemerintahan yang dikritisi oleh mereka.

Cerita ini berbeda dengan saat ini. Faisal Basri, seolah tak menyadari ketika di masa Orde Baru kejadian menteri-menteri ekonominya mundur didasari oleh kesadaran sendiri. Refleksi diri itu lahir dari gerakan moral di masyarakat yang mengkritisi pengelolaan pemerintahan yang tengah terpuruk karena krisis.

Sementara itu, menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju (KIM) sedang solid mendukung Pemerintahan. Pemerintahan juga masih didukung penuh oleh Legislatif. Pemerintahan juga sedang banyak memberikan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat dalam berbagai program kebijakan ekonomi.

Pemerintahan Jokowi juga masih memperoleh kepuasan masyarakat yang cukup tinggi sekitar 70-75 persen. Meski dengan catatan dari kondisi politik Presiden Jokowi lagi disorot persoalan etis dan moral.

Akibat anaknya Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden (cawapres), yang hadir karena keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial. Persoalan ini secara politik dapat dikatakan masih pro dan kontra.

Bukan Gerakan Moral

Menkeu Sri Mulyani buka suara terkait isu dirinya siap mengundurkan diri dari KIM. Ketika ditanya jurnalis, Sri hanya menjawab singkat bahwa dirinya saat ini masih bekerja sebagai menteri keuangan.  

Jika dicermati perkembangan di media massa tampak bahwa Pemerintahan ini masih didukung penuh oleh masyarakat dan juga secara politik. Menteri-menteri Jokowi sudah banyak yang menyatakan bahwa mereka ingin bekerja dengan baik dan memberikan hasil terbaik untuk masyarakat sampai akhir pemerintahan ini.

PDIP yang sedang berseteru dengan kadernya sendiri yakni Presiden Jokowi. Arahan dan Perintah dari Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum menyatakan partainya masih konsisten meminta para menterinya tetap membantu pemerintah hingga masa akhir pemerintahan ini.

PDIP juga tegas menyatakan tetap ingin mengawal pemerintahan hingga transisi kepemimpinan dari hasil pemilihan umum (pemilu) dapat berjalan dengan baik.

Calon Wakil Presiden dari PDIP, Mahfud MD selalu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia (Menko Polhukam) juga menyatakan dengan tegas dengan pengandaian bahwa jika pasangan Ganjar-Mahfud terpilih, Mahfud MD tetap ingin menjadi Menkopolhukam sampai akhir masa pemerintahan ini.

Mahfud MD berikhtiar ingin berjuang menyelesaikan kasus-kasus besar yang sedang ditanganinya. Mahfud malah khawatir jika ia mengundurkan diri, maka kasus-kasus besar yang sedang ditanganinya malah tidak menjadi prioritas dari menteri yang menggantikan dirinya.

Patut dipahami bahwa Pemerintah akan kehilangan legitimasi, ketika masyarakat tidak lagi mempercayai dari kebijakan dan hasil kinerja di pemerintahan. Ini menunjukkan masyarakat yang bisa mencabut legitimasi dari pemerintah. Sedangkan saat ini, Pemerintahan Jokowi dari banyak hasil survei kepuasan kepada Pemerintahan ini masih tinggi sebesar 70 persen.

Baca Juga: Semua Tentang Jokowi

Elite-elite politik saat ini juga satu suara sedang konsentrasi terhadap Pemilu Serentak, utamanya Pemilihan Umum Presiden (Pilpres). Mereka memahami, jika pemerintahan ini direcoki malah yang dikhawatirkan adalah penundaan Pemilu Serentak, padahal Pemilu Serentak sudah di depan mata. Ini tentu saja preseden buruk dalam berdemokrasi.  

Patut dipahami bahwa gerakan moral itu umumnya dilakukan oleh masyarakat. Didasari oleh masyarakat dalam mengkritisi kinerja pemerintahan, kebijakan dan keputusan pemerintah, yang dinilai buruk. Sehingga dampak positif dari kebijakan tidak dirasakan oleh masyarakat, yang ada malah rakyat dibikin sengsara karena kebijakan tersebut.  

Dorongan dari gerakan moral oleh masyarakat inilah yang ditenggarai membuat para menteri-menteri di Kabinet merasa kinerjanya tidak lagi optimal. Para menteri terbebani pikiran dan hatinya karena kritik dari masyarakat tersebut, sehingga membuat mereka memilih mundur dari kabinet.

Ini menunjukkan dua proses terjadi, pertama, gerakan moral dari masyarakat, dan kedua, kesadaran diri dari para menteri itu sendiri. Ini menunjukkan dalam menyikapi poin pernyataan terakhir, jika pilihan mundur dari kabinet tidak didasari oleh kesadaran dirinya sendiri. Pilihan mundur ini ditenggarai adanya tindakan pemaksaan.  

Jika itu yang terjadi, maka gerakan maupun wacana yang menghangat di publik tersebut adalah sebuah gerakan provokasi kepada pemerintahan. Seolah-olah gerakan itu mengatasnamakan rakyat.

Padahal kemungkinan besarnya ditenggarai untuk kepentingan dirinya sendiri, kelompok, orang lain, atau karena dia yang menganjurkan gerakan ini adalah pendukung fanatik terhadap salah satu pasangan calon presiden (capres) dan cawapres.  

Singkatnya, gerakan ini bukan menjadi gerakan moral, malah dapat menjurus pada gerakan menciderai demokrasi. Ketika kepuasan masyarakat masih tinggi terhadap pemerintah sebesar 70 persen, tetapi narasi yang dibangun seolah-olah menghadirkan ketidakpuasan kepada pemerintah.

Ini adalah upaya menurunkan legitimasi pemerintah semata. Tentunya akan salah kaprah, jika gerakan ini dianggap aksi superhero, begitu juga jika menterinya mundur. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga