Pragmatisme Partai Politik
Efriza, telisik indonesia
Minggu, 02 Mei 2021
0 dilihat
Efriza, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP). Foto: Ist.
Oleh: Efriza
Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP)
KESEPAKATAN Pemilu serentak dilakukan pada 2024 nanti untuk Pemilu nasional dan Pemilu daerah menyebabkan tahun 2021 ini partai-partai melakukan upaya penjajakan politik untuk berkoalisi.
Pertemuan-pertemuan bilateral acap dilakukan partai, utamanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
PKS melakukan safari ramadhan dengan mengunjungi PPP, Partai Demokrat, PDI Perjuangan, PKB, Partai Golkar, dan yang terbaru adalah menemui Partai Nasdem.
Langkah PKS ini tentu saja disambut baik oleh partai-partai lain, berbagai orasi menyejukkan di tengah suasana Ramadan turut diumbar di publik.
Meski sebelumnya berbeda warna ideologi, saling berseberangan, namun seakan hilang sekat itu setelah pertemuan dilakukan. Ada asumsi menyatakan bersama-sama ingin membangun mitra di parlemen karena kesamaan visi.
Ada pula yang menyatakan keseriusan mengedepankan politik kebangsaan dengan membuang isu politik identitas.
Pertemuan-pertemuan itu yang menyembulkan pertanyaan di publik, kok bisa ya kubu berseberangan saling bermesraan? Tulisan ini ingin menganalisis hal tersebut.
Pragmatisme Partai
Partai-partai di era reformasi ini sebenarnya tidak serius memiliki ideologi. Sepintas saja bahwa mereka terkesan berbeda, tetapi sebenarnya sama, nuansa mereka lebih kepada pragmatisme.
Ini terjadi, sejak Pemilu 2009 lalu, partai-partai Islam mencoba untuk melepaskan kekhasan masing-masing. Misal, PKS dan PAN lebih senang menyatakan dirinya sebagai partai terbuka dibandingkan menonjolkan diri sebagai partai agama.
Pemilu serentak 2019 kemarin, juga menunjukkan ketidakjelasan partai politik dalam menawarkan visi dan misi dari turunan berdasarkan ideologi. Mereka cuma berpikir kepentingan kemenangan semata. Politik lebih dikedepankan unsur pragmatisme semata dibandingkan kepentingan kebangsaan.
Fenomena mengangkat isu identitas, dengan mengunakan metode kampanye demagogi, lebih ditonjolkan. Akhirnya, masyarakat terbelah dalam memilih, konyolnya bukan merujuk kepada visi-misi, tetapi lebih besar berdasarkan ketokohan semata, dengan dibalut sentimen isu agama.
Akhirnya, kita bisa menyaksikan demokrasi kita dianggap mengalami kemunduran berdemokrasi. Ketika kita masih merasakan terjadinya pembelahan secara level grass root, tetapi di tingkat elite malah menonjolkan kemesraan yang tak pernah dibayangkan masyarakat.
Baca Juga: Kisah Tentang Turunnya Ruh
Pilpres tidak lagi menghasilkan kalah-menang, tetapi hasil Pilpres malah menunjukkan anomali ketika pasangan capres-cawapres yang kalah malah menjadi pembantu presiden.
Sebenarnya fenomena ini menunjukkan tingkat pragmatis partai politik di Indonesia luar biasa tinggi. Mereka tidak lagi ragu mempertontonkan perbedaan, namun kemudian menunjukkan keintiman.
Mereka tidak benar-benar serius dapat menjelaskan perbedaan sikap tersebut, kecuali hanya mempertontonkan perbedaan lakon wajah saja.
Jadi, politik lebih dianggap sebagai upaya mencari kemenangan semata tanpa adanya keberpihakkan dan sensitivitas terhadap masyarakat.
Pertemuan-pertemuan yang ada saat ini sebenarnya hanya sandiwara semata. Sangat janggal, ketika kita membaca lontaran kalimat dari para politisi yang ketika terjadi pertemuan antara PKS dan PDI Perjuangan dinyatakan bahwa kebijakan pemerintah banyak kesepakatan dengan pemikiran mereka.
Tetapi di lain pihak, ketika bertemu mitra koalisi pemerintah lainnya, mereka berbicara bahwa saling bertukar pikiran mengenai kondisi bangsa dan negara saat ini.
Ini menunjukkan sebenarnya telah terjadi perbedaan sikap dalam memahami keadaan. Pertanyaan di publik adalah apakah mereka benar-benar memahami kondisi masyarakat saat ini?
Persiapan Menjelang Pemilu 2024
Saat ini pertemuan-pertemuan partai politik, sejatinya lebih kepada penjajakan untuk berkoalisi. Partai-partai memang sedang mempersiapkan diri untuk menaikkan elektabilitas masing-masing.
Mereka saat ini malah terkesan akrab dalam memikirkan persoalan kebangsaan, tetapi sebenarnya ini menunjukkan persiapan pembangkangan mereka.
Partai-partai yang berkoalisi dengan pemerintah, sedang mempersiapkan kecenderungan akan menunjukkan sikap berbeda, perbedaan pendapat, akrobatik dalam berperilaku dianggap wajar, sehingga pemerintah akan lebih disibukkan oleh kebisingan yang dilakukan partai-partai pendukung pemerintah.
Pemerintah tentu saja tak bisa mengabaikan bahwa silaturahim PDI Perjuangan dan PKS dianggap sesuatu yang dibutuhkan. Sehingga wajar, dalam pertemuan PDI Perjuangan dan PKS mengesankan adanya kesepakatan dalam perbedaan untuk dipersatukan.
Pragmatisme partai-partai yang menyebabkan pemerintah berpikir koalisi obesitas adalah hal yang benar, merangkul musuh sekalipun dengan menjinakkan oposisi adalah suatu perilaku terbaik.
Akhirnya, politik yang dikedepankan dalam membentuk koalisi adalah ‘merangkul semua,’ tak terbiasa dengan suara lain, suara berbeda. Padahal, sikap yang berbeda adalah bagian kepedulian.
Perbedaan semestinya adalah tantangan untuk pemerintah memberikan keputusan/kebijakan maupun undang-undang yang terbaik untuk kepentingan masyarakat. Perilaku ini bisa dilakukan oleh Pemerintah disebabkan oleh kelemahan institusionalisasi partai politik.
Pragmatisme partai-partai sehingga menyebabkan identitas dapat ditukar dengan sebuah kekuasaan, bahkan keyakinan (politik, agama, kultur) dapat ditukar dengan sebuah kursi atau jabatan.
Baca Juga: Pandami dan Mengingatkan Kembali Kesadaran Sosial
Keyakinan dan ideologi hanya sebuah alat atau tempat persinggahan saja untuk merealisasikan kepentingan dari partai politik tersebut, bukan kepentingan bangsa (Yasraf Amir Piliang, 2005).
Wajar akhirnya, politik di Indonesia bahwasanya partai politik mudah berganti “baju” dalam dukungan koalisinya, dari koalisi oposisi menjadi koalisi pendukung pemerintah, dan dari koalisi pendukung pemerintah tetap bermanuver layaknya oposisi meski menggunakan nama yang terkesan loyal yakni mitra kritis.
Namun yang pasti, bahwa partai-partai politik enggan mengambil tanggungjawab dengan tindakan konsisten, bahkan berani memikul tanggung jawab ketika pemerintah mengalami kemerosotan elektabilitas.
Satu-satunya konsistensi dari partai politik adalah konsistensi untuk selalu berada di daerah antara (in between), selalu berpindah, dan bergerak, bukan berada di sebuah titik ketetapan (sendentarity), ketidaktetapan adalah pemahaman yang benar (Yasraf Amir Piliang, 2005).
Sehingga, politik ke depan akan lebih bising menjelang Pemilu 2024, silaturahim hanya sebagai latihan dari upaya pembangkangan mitra koalisi pemerintah. (*)