MS Kaban Minta MPR Sidang Adili Jokowi, Refly Harun: Hormati Aspirasinya
Reporter Jakarta
Rabu, 21 Juli 2021 / 8:45 pm
JAKARTA, TELISIK.ID – Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Ummat Malem Sambat (MS) Kaban, meminta MPR menggelar Sidang Istimewa.
Hal tersebut diusulkan untuk mengadili Presiden Joko Widodo (Jokowi).
MS Kaban menilai, pemerintah telah gagal menangani pandemi COVID-19. Ini terbukti dari perbedaan pendapat antara Menteri dan Presiden.
“Presiden pun tak tahu kapan pandemi akan teratasi. Terkendali kata LBP. Belum terkendali kata Presiden. Presiden dan opung LBP berbeda lihat situasi,” tulis MS Kaban di Twitternya, Senin (19/7/2021).
“Kalau begitu apa bisa rakyat berharap hanya dengan permohonan maaf. PKPM jika gagal adalah kegagalan Presiden. MPRRI perlu adili Presiden,” sambungnya.
Sementara itu, menurut Refly Harun, pernyataan Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Ummat MS Kaban yang meminta MPR menggelar sidang istimewa, merupakan aspirasi yang tetap dihormati.
Refly menjelaskan, maksud pernyataan MS Kaban secara konstitusi.
“Jadi MPR dan Presiden itu lembaga sederajat tidak boleh lagi ada atas bawah. Berlaku check and balanches, adalah perumusan pasal 7A, pasal 7B tentang impeachment, tentang pemberhentian presiden,” katanya dalam channel YouTube Refly Harun, Selasa (20/7/2021).
Jadi kalau presiden mau diberhentikan, maka aktifkan klausul pasal 7A UUD 1945, bahwa presiden itu tidak lagi memenuhi syarat.
Namun, kata Refly, proses politik untuk mengadili Jokowi dinamakan bukan sidang istimewa sebagaimana yang diminta MS Kaban.
“Ya, sidang pemberhentian saja, sidang pemberhentian presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur oleh konstitusi,” ungkap Refly Harun, ahli hukum tata negara dan pengamat politik Indonesia.
Pradigma mantan Ketua Tim Anti Mafia Mahkamah Konstitusi ini, agak berbeda atau tidak sama dengan yang diinginkan MS Kaban. Sebab, kata Refly, tidak bisa langsung ke MPR, tapi harus melalui wakil-wakil rakyat.
Menurutnya, meski wakil rakyatnya, baik MPR dan DPR mayoritas pendukung pemerintah ditambah anggota DPD, sehingga kecil peluangnya jika untuk mengadili Presiden Jokowi melalu sidang MPR.
“Anggota DPD 136, sementara anggota MPR sendiri total 575, dari 575 itu yang tidak menjadi pendukung pemerintah kan hanyalah Partai Demokrat dengan 54 kursi, PKS dengan 50 kursi, brarti 104 kursi dan PAN dengan 44 kursi, brarti Cuma 148 kursi,” kata Refly.
Sehingga, kalau untuk menggelar sidang istimewa untuk mengadili Presiden Jokowi melalui proses politik di DPR/MPR jika hitung-hitungan kursi, sangat tidak mungkin.
Baca Juga: Penuh Keganjilan, Ombudsman Temukan Maladministrasi Proses TWK KPK
Baca Juga: Akun Resmi Jokowi Ramai Dicibir Warganet, Ada Apa?
“Jadi 148 kursi dibandingkan 575 dikurangi 148 kursi, ya itulah bukan pendukung pemerintah. Jadi secara teoritis memang kalau mengharapkan mekanisme yang normal-normal saja, ya, tidak akan DPR mengeluarkan jurus-jurus pemberhentian atau pemakzulan presiden dan wakil presiden,” ujar Refly Harun.
Refly Harun menegaskan, prosesnya tidak bisa melompat langsung sidang MPR, sebab paradigma bangsa Indonesia sudah beruHaru
“Kalau dulu iya (bisa melompat langsung sidang istimewa MPR untuk mengadili Presiden)," katanya.
Sekarang, konstitusi sudah menyebut harus ada mekanisme untuk mengadili presiden.
“Yaitu di forum DPR pertamakali sebagai forum politik dari DPR, lari ke Mahkamah Konstitusi selama 90 hari, kembali kepada DPR, baru bisa dilakukan sidang MPR untuk pemberhentian presiden dan wakil presiden,” kata Refly Harun.
Refly harun juga menambahkan, kalau presiden dianggap sungguh-sungguh melanggar haluan negara, maka DPR akan memberikan peringatan, jika tidak digubris dalam jangka waktu 2 bulan, akan diberikan peringatan kedua dalam jangka waktu 1 bulan, kemudian tidak juga digubris akan ada sidang istimewa,” ungkapnya. (C)
Reporter: M. Risman Amin Boti
Editor: Fitrah Nugraha