Penundaan Kredit, Multifinance Terancam Rugi Rp 24 Triliun
Reporter
Kamis, 30 April 2020 / 7:05 pm
KENDARI, TELISIK.ID - Industri multifinance terbebani oleh kebijakan restrukturisasi kredit nasabah terdampak Corona (COVID-19) dari pemerintah. Diperkirakan tiga bulan ke depan, perusahaan pembiayaan akan menelan kerugian hingga Rp 24,25 triliun.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menjelaskan, kerugian tersebut berasal dari larangan eksekusi kendaraan jaminan yang membebani industri sebesar Rp 18,98 triliun. Sementara sisanya dari relaksasi atau penundaan pembayaran cicilan selama tiga bulan ke depan.
"Ini adalah yang on balance sheet yang artinya perusahaan pembiayaan mendapat pembiayaan dari perbankan 80% atau dari surat berharga atau dari permodalannya sendiri," kata Suwandi dalam video conference, dikutip dari cnbc Indonesia, Selasa (28/4/2020).
Dari Rp 452 triliun piutang pembiayaan tersebut, lanjut Suwandi, kurang lebih 70?alah untuk pembiayaan mobil, yang senilai dengan Rp 316 triliun. Sementara 30% sisanya adalah untuk pembiayaan motor.
Kondisi ini semakin terbebani karena sejumlah pemerintah daerah mengeluarkan larangan multifinance melakukan penagihan ke masyarakat.
Padahal eksekusi diperbolehkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada nasabah terkena kredit macet.
“Penolakan dari kepala daerah membuat sulit multifinance melakukan penagihan utang. Walaupun kami tahu ada nasabah yang memang baik atau sengaja tidak membayar kredit,” ungkapnya.
Baca juga: Dampak Ekonomi Pandemi Bisa Lebih Buruk, Perempuan Solusinya
Sementara sisa kerugiannya sisanya, disebabkan pembebasan bunga selama tiga bulan bagi debitur motor Rp 2,27 triliun. Sedangkan pembebasan bunga dari debitur mobil menelan kerugian Rp 2,99 triliun. Artinya, total kerugian akibat relaksasi bunga kredit motor dan mobil mencapai Rp 5,26 triliun.
Nahasnya, potensi kerugian bisa melebihi Rp 24,25 triliun jika disajikan menjadi neraca atau laporan keuangan dalam satu periode akuntansi. Suwandi menyebut, potensi kerugian secara on dan of balance sheet pembiayaan mobil serta motor mencapai Rp 87,64 triliun.
Jika dirinci potensi kerugian pembiayaan mobil Rp 45,58 triliun, sementara kerugian pembiayaan motor Rp 42,06 triliun. Akibat potensi kerugian tersebut, arus kas multifinance menjadi terganggu karena tidak ada pembayaran ke konsumen sementara pelunasan pinjaman bank tetap berjalan tanpa adanya relaksasi.
Di sisi lain, perusahaan pembiayaan, kata dia juga harus menemui kendala lain, dalam melakukan penagihan. Sejak adanya video conference Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menghimbau agar perbankan dan leasing harus membantu debitur untuk melakukan keringanan.
OJK kemudian mengeluarkan payung hukumnya melalui Peraturan OJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran COVID-19.
Di mana dalam aturan itu, kata Suwandi, perbankan hanya membantu debitur yang terdampak COVID-19 yang mempunyai pendapatan tidak tetap, bekerja di sektor informal atau UMKM. Dengan penilaian kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit s.d Rp 10 miliar.
Terkait adanya imbauan tidak boleh melakukan penarikan, OJK kemudian mengklarifikasi penarikan masih boleh dilakukan untuk kredit macet dan yang telah macet lama, dan tidak mengajukan keringanan sebelum dampak COVID-19. Boleh tetap dilakukan sesuai dengan koridor hukum.
"Namun sekarang, proses penarikan itu banyak ditolak oleh masyarakat. Padahal perusahaan pembiayaan sudah mengantisipasi tidak lagi ada penagihan, tapi melakukan penjemputan penagihan. Karena debitur juga masih banyak yang baik dan mau bayar, tapi tidak berani ke luar rumah. Kita jemput lah tagihan tersebut," cerita Suwandi.
Reporter: Muhammad Israjab
Editor: Sumarlin