Dampak Ekonomi Pandemi Bisa Lebih Buruk, Perempuan Solusinya

Haidir Muhari, telisik indonesia
Kamis, 30 April 2020
0 dilihat
Dampak Ekonomi Pandemi Bisa Lebih Buruk, Perempuan Solusinya
Samsul Anam, SE, MEc.Dev Dekan FEBI UM Kendari. Foto: Ist.

" Kita rasakan betul krisis 1997, 1998. Kemudian ada krisis kecil tahun 2009, 2011, 2012, perempuan justru menjadi kanal untuk meredam dampak ekonomi lebih buruk. "

KENDARI, TELISIK.ID - Perusahaan yang terdampak pandemi COVID-19 di seluruh Indonesia baik formal maupun informal kurang lebih 114.000. Perempuan bisa menjadi kanal dalam penanganan dampak krisis ekonomi akibat pandemi ini.

Menurut Ekonom Universitas Muhammadiyah Kendari (UM Kendari), Samsul Anam SE MECDev dalam diskusi online yang digelar oleh Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) Kota Kendari Rabu (29/04/2020), perekonomian negara kita telah mengalami tekanan jauh sebelum COVID-19 merambah. Dalam studi ekonomi, saat terjadi perlambatan dan kontraksi ekonomi maka akan berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran dan kemiskinan.

Ia kemudian mengemukakan model-model sebagai dampak ekonomi pandemi. Dekan FEBI UM Kendari itu memprediksi pengangguran pada keadaan buruk bisa mengalami peningkatan 7 sampai 9 persen. Untuk kemiskinan dalam keadaan buruk bisa bertambah hingga  2,5 juta sampai 3,7 juta, dan dalam skenario sangat buruk hingga 5,23 juta orang.

"Sementara pengangguran terbuka bisa lebih buruk dari angka-angka yang dirilis pemerintah," ungkapnya.

Dalam masa pandemi COVID-19 banyak perusahaan terdampak merumahkan karyawan. Pria kelahiran Baubau ini kemudian menunjukkan data-data bahwa karyawan yang dirumahkan sudah mencapai 1,2 juta pekerja di sektor formal dan yang mengalami pemutusan hubungan kerja sekitar 200 ribu.

"Saya menghitung ada sekitar 1,9 juta pekerja dirumahkan dan di-PHK. Skenario buruk 2,9 sampai skenario terburuk 5,2 juta orang kehilangan pekerjaan dan kehilangan pendapatan," ungkapnya.

Baca juga: Persentase Positif COVID-19 di Muna Menurun

Masalah yang sangat riskan yang belum dirampungkan pemerintah adalah perampungan data rumah tangga dan kelompok yang terpapar akibat pandemi. Selain itu belum adanya pemodelan pandemi di tiap-tiap wilayah juga menjadi masalah serius.

"Pemodelan pandemi sangat menentukan bagaimana intervensi di bidang ekonomi". dalihnya.

Selain itu dari pemodelan pandemi menurutnya itu bisa mensimulasikan kapan akhir pandemi, jumlah orang yang berpotensi terpapar, kekuatan fasilitas kesehatan yang bisa menopang, dan dampak ekonomi terhadap orang-orang yang rentan, misalnya pekerja harian. Pekerja harian secara normatif mengalami dampak yang serius akibat kebijakan phisical distancing dan social distancing. Selain itu, risiko fiskal yang dihadapi pemerintah adalah tidak cukup dana untuk penanganan pandemi baik sisi medis maupun ekonomi.

Untuk menghadapi itu, Sekretaris Majelis Ekonomi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Tenggara itu menyatakan bahwa perempuan bisa menjadi kekuatan dalam menghadapi krisis akibat pandemi COVID-19.

"Kita rasakan betul krisis 1997, 1998. Kemudian ada krisis kecil tahun 2009, 2011, 2012, perempuan justru menjadi kanal untuk meredam dampak ekonomi lebih buruk," ungkap alumni Fakultas Ekonomi Unhas itu. Walau perlu ada kajian lanjut terkait hal itu.

"Hal itu disebabkan karena perempuan lebih fokus mengurus dalam masalah-masalah rumah tangga," paparnya. Ia juga mengatakan bahwa bantuan langsung tunai oleh pemerintah baik pusat maupun daerah penting memperhatikan aspek gender.

Selain perempuan yang juga menjadi kekuatan dalam menghadapi dampak krisis adalah soliditas sosial. Banyak komunitas yang bergerak membantu untuk menangani dampak COVID-19, misalnya pembagian sembako kepada warga yang mengalami kesulitan dan sumbangan alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis.

Dalam kesempatan itu juga pria kelahiran 17 April 1976 mengatakan bahwa diskursus ekonomi penting usai pandemi COVID-19 ada enam hal yaitu sains, energi, perdagangan, pangan, kesehatan, dan keamanan.

Menurutnya dalam sektor pangan negara kita sangat memprihatinkan. Dikhawatirkan stok pangan tidak akan mencukupi hingga Desember 2020.

"Kita kebiasaan saat paceklik biasa mengimpor pangan, seperti kedelai dan beras. Sementara negara lain memproteksi dirinya, masih mau mencukupi kebutuhan dalam negerinya", tutupnya.

Reporter: Idi

Editor: Rani

Artikel Terkait
Baca Juga