Permata Indonesia Desak Kepastian Hukum Pertambangan di Pulau Kecil
Reporter
Jumat, 03 Oktober 2025 / 3:45 pm
PERMATA Indonesia soroti ketidakpastian hukum dalam regulasi pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Foto: Ist.
JAKARTA, TELISIK.ID – Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan (Permata) Indonesia, menyoroti ambiguitas regulasi pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ketidakpastian hukum tersebut dinilai berpotensi menghambat investasi sekaligus mengancam keberlanjutan industri pertambangan nasional.
Dalam kajian strategis bertajuk “Kekacauan Regulasi, Lahirkan Ambiguitas dan Dilematis Pertambangan di Pulau-Pulau Kecil” yang dirilis pada 23 Juni 2025 Permata Indonesia menekankan pentingnya langkah pemerintah memperjelas payung hukum agar tidak menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha maupun masyarakat.
Regulasi yang ambigu layaknya ‘jebakan batman’. Pemerintah memberi izin usaha pertambangan (IUP), tapi di sisi lain operasinya bisa dihentikan sewaktu-waktu dengan alasan regulasi.
"Ini jelas menciptakan ketidakpastian investasi,” tegas Sekretaris Jenderal Permata Indonesia, Ahmad Sagito, Jumat (3/10/2025).
Ketidakjelasan regulasi merujuk pada perbedaan tafsir terhadap UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K).
Polemik muncul setelah Mahkamah Agung (MA) melalui putusan No. 57 P/HUM/2022 menafsirkan Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 35 huruf k sebagai larangan mutlak pertambangan di pulau kecil.
Baca Juga: Living Plaza Kendari Resmi Dibuka, Hadirkan Tenant dan Promo Baru
Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No. 35/PUU-XXI/2023 menyatakan sebaliknya, bahwa pasal-pasal tersebut tidak serta-merta melarang pertambangan, melainkan bersifat kondisional dengan sejumlah persyaratan.
Melihat fenomena tersebut, Permata Indonesia mendorong lahirnya regulasi baru berbasis kriteria selektif. Ahmad Sagito menekankan bahwa pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan bukanlah hal yang perlu dipertentangkan.
“Kata kunci utama adalah sinergi. Pembangunan dan pelestarian harus berjalan beriringan. Perspektif yang mengadu domba keduanya hanya akan menghambat solusi holistik,” ujarnya.
Sebagai solusi, Permata Indonesia mengusulkan enam kriteria utama dalam regulasi pertambangan di pulau kecil, yakni:
1. Izin hanya diberikan kepada perusahaan yang sehat secara lingkungan dan manajemen.
2. Kewajiban memiliki website publik sebagai bentuk transparansi.
3. Audit lingkungan dan sosial tahunan oleh tim independen
4. Kajian lingkungan hidup yang komprehensif.
5. Kajian sosial-ekonomi untuk menjamin keberlanjutan dan keadilan masyarakat lokal.
6. Pembatasan wilayah tambang dengan prinsip perlindungan ekosistem dan keberlanjutan.
Dengan model regulasi ini, Permata Indonesia berharap pemerintah mampu menciptakan kepastian hukum yang adil, transparan, dan berkelanjutan bagi industri pertambangan nasional di wilayah pesisir dan pulau kecil.
Sementara itu, Ahli Hukum Tata Negara sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Aan Eko Widiarto, menegaskan perlunya kejelasan penafsiran hukum untuk memberi kepastian bagi investor.
Menurutnya, Pasal 23 ayat 2 UU PWP3K seharusnya dibaca dengan menekankan kata “diprioritaskan”, yang artinya bukan larangan mutlak.
“Pemanfaatan selain prioritas tidak dilarang. Larangan hanya berlaku jika sumber daya terbatas, sehingga prioritas harus didahulukan,” jelasnya.
Sementara, terkait Pasal 35 huruf k, Aan menekankan bahwa larangan dalam pasal tersebut bersifat kondisional.
“Artinya, pertambangan boleh dilakukan dengan syarat tertentu. Larangan ini bukan mutlak, melainkan bergantung pada kondisi,” ujarnya.
Baca Juga: SMP Negeri 10 Kendari Target Jadi Sekolah Berbasis Digital dan Pembelajaran Menyenangkan
Pandangan serupa disampaikan Juru Bicara Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sulawesi Tenggara, Ahmad Faisal. Ia menilai narasi yang menyebut MK melarang total aktivitas pertambangan di wilayah pesisir adalah disinformasi.
“Majelis hakim MK secara tegas menyatakan tidak ada larangan mutlak terhadap aktivitas di luar prioritas tertentu, termasuk pertambangan mineral di pulau kecil,” kata Faisal dalam pernyataan tertulisnya, 22 Januari 2025.
Menurutnya, pulau-pulau kecil dengan potensi sumber daya alam dapat dimanfaatkan sebagai penopang ekonomi nasional, dengan catatan tetap memperhatikan aspek sosial, budaya, lingkungan, dan kedaulatan bangsa. (Adv)
Penulis : Ana Pratiwi
Editor: Kardin
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS