Reshuffle Kedua di Periode Kedua Presiden Jokowi

Efriza

Kolumnis

Minggu, 18 April 2021  /  12:52 pm

Efriza, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP). Foto: Ist.

Oleh: Efriza

Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP)

DISKURSUS menghangat kali ini mengenai wacana reshuffle kedua dari Kabinet Indonesia Maju. Reshuffle menjadi pembahasan publik disebabkan oleh terjadinya perubahan nomenklatur kementerian dan telah disetujui oleh DPR.

Terjadi perubahan nomenklatur kementerian diawali oleh adanya Surat Presiden (Suspres) Nomor R-14/Pres/03/2021. Surat tersebut adalah pertimbangan pengubahan kementerian. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, bahwa pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan kementerian memang harus melalui pertimbangan DPR.

DPR pun telah menyetujui untuk penggabungan sebagian tugas dan fungsi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi menjadi Kemendikbudristek. Selain itu, parlemen juga menyepakati usulan pemerintah untuk pembentukkan Kementerian Investasi untuk meningkatkan investasi dan penciptaan lapangan pekerjaan, (CNBC, 9 April 2021).

Dengan terjadinya perubahan nomenklatur baru tersebut, konsekuensinya adalah reshuffle kabinet memang tinggal menunggu waktu. Sejumlah menteri tentu saja memang akan diganti, atau sekadar di geser.

Indikasi akan terjadinya reshuffle, juga disebabkan oleh sikap Bambang Brodjonegoro yang sudah pamit sebagai Menristek dan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Bambang menyampaikan bahwa dirinya pamit di tengah kunjungannya dalam peresmian Science Techno Park Universitas Hasanuddin (Unhas) di Makassar, Sulawesi Selatan. Ia mengatakan kegiatannya hari itu merupakan kunjungan kerjanya yang terakhir sebagai Menristek, (CNBC, 11 April 2021).

Meski, perubahan nomenklatur hanya terkait dua hal yakni Kemendikbudristek dan Kementerian Investasi dan Lapangan Kerja tetapi tentu saja isu reshuffle akan bergerak liar.

Pembicaraan di ruang publik tak hanya terkait siapa yang akan menjabat di kedua kementerian tersebut, tetapi juga terkait raport merah para menteri lainnya yang sudah selayaknya ikut di reshuffle.

Baca juga: Menyoal Suksesi Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri

Reshuffle dan Menambah Kekuatan Pendukung

Dari perdebatan mengenai reshuffle yang dikhawatirkan adalah persepsi presiden. Sejak era reformasi memang tak bisa dilepaskan perdebatan mengenai sistem pemerintahan dan sistem multipartai yang memang diterapkan di Indonesia dianggap merupakan bentuk anomali.

Akhirnya, persepsi penguasa politik, utamanya presiden, ia tak akan dapat menjalankan negara jika tidak membentuk koalisi gemuk.

Asumsinya di kepala pemimpin negara, bahwa mereka lebih membutuhkan political support ketimbang electoral support. Sehingga, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang awal kepemimpinannya berusaha membentuk koalisi ramping dan tanpa syarat, akhirnya harus mengabaikannya.

Sehingga akhirnya, di periode pertama Presiden Jokowi, kembali membagi kursi dalam reshuffle kabinet jilid II untuk mengakomodir bergabungnya PAN dan Partai Golkar sebagai pendukung pemerintahan, (Efriza, 2018: 8).

Sementara itu, di periode kedua kepemimpinannya, Jokowi malah melangkah terlalu jauh, bahkan cenderung dapat dianggap ekstrem.

Ia memilih mengajak rivalnya di Pilpres, dalam reshuffle Jilid I di periode kedua untuk sebagai pembantu pemerintah dengan masuknya Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, maka paket lengkap capres-cawapres nomor urut 2 turut membantu pemerintah sebagai menteri di periode kedua presiden Jokowi.

Meski kekuatan pemerintah sudah mencapai di atas 50 persen yakni sebesar 77,18 persen dengan kekuatan dukungan 6 partai di Senayan.

Ternyata, tampaknya seakan pemerintah perlu memastikan untuk menjinakkan suara berseberangan di luar istana, maka reshuffle kedua di periode kedua presiden Jokowi ini masih terbuka kemungkinan mengajak salah satu dari tiga partai yang berada di luar pemerintahan untuk mendukung pemerintah.

PAN dikabarkan akan diikutsertakan untuk mendukung pemerintah, padahal selama ini PAN meski berada di luar pemerintah bersama PKS dan Partai Demokrat, tidak memiliki suara yang keras untuk melawan kekuatan pendukung pemerintah, sebab ketiga partai itu hanya berjumlah 22,82 persen.

Jika PAN benar bergabung dengan pemerintah maka kekuatan pendukung pemerintah akan menjadi 84,02 persen.

Kekuatan koalisi besar nan obesitas ini tentu saja akan berbahaya bagi jalannya politik pemerintahan. Sebab pemerintah akan cenderung mengarah kepada membangun pemerintahan otoriter, meski diasumsikan bahwa yang menjadi menteri adalah berdasarkan kriteria kapabilitasnya.

Tetapi strategi pemerintah menjinakkan suara sumbang, menjinakkan parlemen, akan malah menyebabkan pemerintah kehilangan kepekaan terhadap keinginan masyarakat.

Di sisi lain, pemerintah malah nanti akan terjebak kepada riuhnya suara di dalam Istana, apalagi menjelang Pemilu Serentak 2024, suara-suara sumbang, suara berbeda dengan keinginan presiden, malah akan cenderung terjadi berasal dari para pembantu presiden.

Baca juga: Upaya Penyelesaian Konflik Partai Demokrat

Masukan untuk Reshuffle

Saat ini bagi penulis yang lebih penting adalah pertama, pemerintah perlu menjelaskan kepada publik terkait perubahan dua nomenklatur ini. Sebab, sejak pemerintahan Jokowi tampak sekali ingin mengedepankan pembangunan sumber daya manusia (SDM) tetapi malah menampakkan pemerintah cenderung tak memahami untuk mengupayakan mewujudkan keinginan ini.

Karena era pemerintahan Jokowi, nomenklatur terkait dunia pendidikan selalu mengalami perubahan, seperti dilakukan pemisahan kemudian dilakukan penggabungan kembali.

Seperti periode pertama, kepemimpinan Presiden Jokowi 27 Oktober 2014 sampai 9 April 2019, nomenklatur kementerian riset cenderung berganti nama, nomenklatur kementerian riset pernah berganti nama menjadi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), saat itu bidang perguruan tinggi ada di bawah kewenangan lembaga ini.

Kemudian periode kedua, nomenklatur kementerian berubah lagi menjadi kementerian riset dan teknologi, pengaturan bidang perguruan tinggi tidak lagi menjadi kewenangan ini, namun dialihkan kewenangan pengaturannya kepada Kemendikbud, di samping itu kemudian nomenklatur terjadi perubahan kembali bahwa Kementerian Riset dan Teknologi mengalami perubahan menjadi Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Lalu, pada Jumat melalui Rapat Paripurna DPR, diputuskan Kemenristek akan dilebur dengan Kemendikbud dan diberi nama Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendibud-Ristek), (Kompas, 12 April 2021).

Dengan perubahan-perubahan ini, tentu saja yang diharapkan oleh publik adalah menteri yang baru dapat menjabarkan apa yang akan dilakukannya sebagai bagian dari penugasan oleh presiden agar mencapai sasaran dari perubahan nomenklatur tersebut.

Kedua, Pemerintahan Jokowi memang sangat mengedepankan investasi bagi negara. Investasi ini juga terkait dengan pemerintahan Jokowi yang memang mengedepankan Pembangunan Infrastruktur.

Pembangunan infrastruktur ini tentu saja membutuhkan dana yang besar berupa investasi apalagi di tengah pandemi. Tetapi, pemerintah harus mengupayakan bahwa membuka investasi bukan malah menjadi persoalan baru bagi negara.

Untuk itu, semestinya menteri investasi tersebut, juga sudah selayaknya menyampaikan langkah-langkah apa yang akan dilakukannya sebagai tujuan dari pembentukan kementerian ini.

Ketiga, pemerintah memang perlu melakukan segera reshuffle kabinet, agar penambahan dan perubahan dari kementerian ini bisa segera bekerja dan bersinergi dengan kementerian-kementerian lain sebagai pembantu presiden.

Agar tidak terjadi kesia-siaan melakukan perubahan nomenklatur. tetapi malah yang terjadi adalah proses yang alot karena terjadinya tarik-menarik kepentingan antara kepentingan pemerintah dan kepentingan dari partai-partai pendukung pemerintah.

Keempat, diharapkan pemerintah tidak tersandera oleh mitra koalisi, relawan pendukung pemerintah, sehingga reshuffle diharapkan lebih mengedepankan unsur kapabilitas seorang calon menterinya.

Bukan malah terjadinya utak-atik, penambahan mitra koalisi, sehingga yang terjadi adalah pemerintah menggemukkan para pembantu presiden, misal dengan menambah proposi jumlah wakil menteri, akibat tersanderanya pemerintah dengan kepentingan mitra koalisi.

Kelima, pemerintah harus benar-benar menunjukkan bahwa penunjukkan calon menteri merupakan hak prerogatif presiden, bukan malah yang terjadi adalah utak-atik calon menteri lebih dipengaruhi oleh pendapat para mitra koalisi dalam proporsi persentase jatah kementerian.

Keenam, pemerintah dalam melakukan reshuffle sudah semestinya memperhitungkan prioritas pemerintah dalam melakukan kinerjanya untuk empat tahun ke depan. Reshuffle jangan sekadar hanya menjadi kepentingan jangka pendek semata.

Dari berbagai diskursus yang berada di ruang publik, memang reshuffle tak bisa dihindari dan semestinya dilakukan dalam waktu yang cepat.

Jika memang, pemerintah memikirkan bahwa reshuffle dilakukan agar kinerja pemerintahan dapat berjalan dengan lebih baik dan keberhasilan kembali untuk menjawab persoalan-persoalan di negara secara lebih cepat dan lebih baik.

Sehingga demikian, reshuffle kedua ini diharapkan akan mendapatkan sentimen positif seperti yang dilakukan pasca reshuffle pertama di periode ini. (*)