Persaingan Cawapres dengan Capres, Jika Prabowo-Gibran Terpilih

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 11 Februari 2024
0 dilihat
Persaingan Cawapres dengan Capres, Jika Prabowo-Gibran Terpilih
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Jika salah satunya terpilih, memungkinkan akan terjadinya persaingan yang sengit baik langsung maupun tak langsung dalam mengelola pemerintahan antara capres dan cawapres tersebut "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

SEPERTI tulisan pertama diungkapkan, ketiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) ini, jika salah satunya terpilih, memungkinkan akan terjadinya persaingan yang sengit baik langsung maupun tak langsung dalam mengelola pemerintahan antara capres dan cawapres tersebut.

Ketiga cawapres ini memiliki pengaruh yang cukup besar, bahkan pemerintahan ketiga pasangan ini harus diakui bahwa kekuatan besarnya berada di posisi cawapresnya.

Sehingga topangan kokoh dari cawapres menyebabkan persaingan antara capres dan cawapres terpilih, pemerintahan bergetar kuat dari dalam karena persaingan keduanya sadar maupun tidak disadari. Tulisan ini akan mengulasnya untuk kedua kalinya, yang sekarang kita ulas pasangan kedua yakni Prabowo-Gibran jika terpilih, sebagai berikut.

Dukungan Besar Partai-Partai dalam Koalisi

Prabowo Subianto ditenggarai Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 ini luar biasa bersemangat. Sebab, ia di endorse langsung oleh Penguasa Politik yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi). Konsekuensinya, Prabowo harus mengikuti arahan langsung atau tak langsung sesuai “sutradaranya” Presiden Joko Widodo.

Prabowo untuk mencerminkan sebagai perwakilan resmi dari pemerintahan ini, telah berkorban untuk dua hal sekaligus yakni: Pertama, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) diubah namanya menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM), nama yang persis sama dengan Pemerintahan saat ini.

Kedua, digantinya KKIR, berdampak pada mitra koalisi awal Gerindra dan Prabowo yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB dan Muhaimin terdepak sekaligus membelot, dengan memilih berpasangan bersama Anies Baswedan sebagai cawapres dan bergabung dalam Koalisi Perubahan.

Pengorbanan Gerindra dan Prabowo tidak sampai disini. Prabowo harus rela menerima dipasangkan dengan Gibran Rakabuming Raka, setelah “karpet merah” diberikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memberikan norma baru agar Gibran dapat dimajukan sebagai cawapres.

Dengan didukung oleh Presiden Jokowi, juga dilakukan pengarahan untuk kekuatan pasangan dari representasi pemerintah ini. Sejumlah partai bergabung untuk mengusung Prabowo, seperti bergabungnya Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) setelah diakhirinya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang dibangun sebelumnya bersama Partai persatuan Pembangunan (PPP).

Kemudian, bergabungnya Partai Demokrat (PD), setelah PD berkonflik dengan Partai Nasdem yang lebih memilih PKB dan mengusung Muhaimin Iskandar sebagai cawapres ketimbang Agus Harimurti Yudhoyono dengan Partai Demokrat.

Kekuatan partai-partai pendukung Prabowo yang tergabung di Senayan akhirnya besar melebihi dua capres lainnya sebesar 39,49 persen.

Bandingkan dengan Anies Baswedan yang didukung partai-partai di Senayan sebesar 29,05 persen, sedangkan posisi buncit adalah Ganjar Prabowo sebesar 23,85 persen. Dengan rincian partai-partai di KIM, Partai Gerindra 12,57 persen, Partai Golkar 12,31 persen, Partai Demokrat 7,77 persen, dan PAN, 6,84 persen.

Hanya saja, dukungan terhadap Prabowo dan Gerindra, diyakini akan ada “politik pamrih.” Mengunakan bahasa Sarkas, “di politik tak ada makan siang gratis.” Presiden Jokowi diyakini sebagai aktor pengarah dari kekuatan besar yang mendukung Prabowo, akan menagih atas jasa dan keringatnya. Jadi tak mungkin tanpa pamrih!

Baca Juga: 'Cawapres Rasa Presiden,' Jika Anies-Muhaimin Terpilih

Mari kita ulas apa saja kemungkinan perilaku yang telah dilakukan oleh Prabowo sebagai balas jasa. Pertama, sudah dilakukan oleh Prabowo dengan mengubah nama koalisi pengusungnya mengikuti nama Pemerintahan ini, sekaligus mendepak PKB, seperti telah dijelaskan diatas.

Kedua, Prabowo telah menerima dipasangkan bersama Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi. Padahal Prabowo disinyalir lebih sreg bersama Erick Thohir jika sebagai cawapresnya. Jika kita pelajari dengan menggunakan konsep proses dan realitas, berdasarkan rangkaian peristiwa politik yang telah terjadi.  

Ketiga, Prabowo juga sudah menerima melanjutkan kebijakan Presiden Jokowi. Sehingga Prabowo terkesan tidak punya gagasan baru yang ditawarkan kepada masyarakat. Wajar Prabowo di panggung debat terkesan tidak menjadi diri sendiri, pilihan berkomitmen harus tetap dijalankan meskipun hati menggerutu dan pikiran galau tingkat tinggi. Jika meminjam bahasa Anak Sekarang, Prabowo sedang mengalami kondisi “nyesek to the bone.”

Patut dipahami bahwa karakter Presiden Jokowi sangat memahami bahwa politik tanpa pamrih adalah hal mustahil. Presiden Jokowi telah melakukan dalam mengelola pemerintahannya, dengan sikapnya memilih “buang-pungut” terhadap para pembantu-pembantu presiden yang terkena reshuffle. Mereka yang direshuffle, kecuali yang membelot dan memilih memusuhinya, sejatinya hanya digeser saja posisinya, karena Jokowi sadar adanya pamrih terhadap mereka yang telah berjasa memenangkan dirinya saat di Pilpres.

Mudah ditebak, jika karakter diri Presiden Jokowi adalah menerapkan politik pamrih dalam mengelola pemerintahan. Maka sosok dirinya juga orang yang akan menagih pamrih atas jasa-jasa dirinya yang telah menjadi sutradara dari terciptanya pasangan Prabowo-Gibran tersebut. Inilah asal muasal dari persaingan sengit yang akan terjadi antara Prabowo dan Gibran ketika mereka terpilih dan memerintah.

Persaingan Antara Prabowo dan Gibran

Gerindra dan Prabowo diyakini sudah memahami berbagai konsekuensi ini. Partai-partai pendukung Prabowo, bukan partai-partai yang solid memberikan dukungan kepada sosok Prabowo. Partai-partai ini jika diperhatikan dalam iklan-iklan kampanyenya, bagian dari partai-partai yang telah “disetir” oleh Jokowi. Mereka menunjukkan loyal terhadap Jokowi.

Kecuali Partai Demokrat yang memilih solid dibelakang Prabowo dan tidak pernah mengkampanyekan Gibran. Partai Demokrat yang meski mendukung Prabowo tetapi tetap berada di luar Pemerintahan Jokowi. Buktinya sampai saat ini, diyakini PD masih kokoh pendiriannya untuk tidak menerima posisi jabatan menteri di kabinet.

Sikap PD ini disinyalir upaya menghindari terjadinya hubungan adanya pamrih antara Jokowi dan Partai Demokrat. Pendek kata, Partai Demokrat khawatir “disetir” oleh Presiden Jokowi.

Ini menunjukkan meski Gibran berstatus tanpa partai politik, pasca PDIP tutup buku atas masalah keanggotaan Gibran. Tetapi Gibran adalah anak sulung dari Presiden Jokowi, sang Penguasa Politik, Prabowo tentunya berhutang budi kepada Jokowi, maka Prabowo terikat politik pamrih untuk memposisikan Gibran tidak sekadar ‘ban serep.”

Baca Juga: Kecewa Keputusan Mundur Mahfud MD

Gibran juga diyakini tidak akan mau diposisikan seperti Ma’ruf Amin, yang hanya pasif sampai diminta Jokowi untuk berperan aktif membantu dirinya ketika ada kritik yang menghampiri pemerintahan. Contoh adanya peran Wakil Presiden dari pembatalan aturan terkait industri minuman keras (Miras) yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

Saat ini, Presiden Jokowi diyakini sudah mempersiapkan posisi dan peran baru Gibran, jika terpilih sebagai cawapres. Ini tampak dari adanya usulan menarik Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) yang mengatur pembentukan kawasan Aglomerasi. Penataan Kawasan Aglomerasi (meliputi Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi) membuat dihadirkannya Dewan Aglomerasi, menariknya adalah Dewan Aglomerasi ini dipimpin oleh Wakil Presiden.

Jelas saja, aturan ini disinyalir dihadirkan untuk mempersiapkan Gibran Rakabuming Raka agar punya peran dan kewenangan yang tak kalah menarik, sehingga ia tidak pasif sebagai cawapres. Aturan itu memang janggal, rancu, dan anomali. Jika wakil presiden diberikan kewenangan, padahal statusnya hanya sebagai pembantu presiden.

RUU DKJ jika nanti disahkan disinyalir pada 15 Februari nanti, maka jika Gibran terpilih sebagai wakil presiden, ia akan punya kuasa sebagai wakil presiden mengurusi aglomerasi yang tentu saja tak bisa dicampuri Presiden. Patut dicurigai ini adalah hadiah dari Presiden Jokowi kepada putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka, jika terpilih dalam Pilpres 2024.

Tanpa RUU DKJ diyakini posisi Gibran tidak akan sekadar sebagai pembantu presiden dari Prabowo, jika terpilih. Sebab Prabowo “tersandera” oleh politik pamrih dari peran besar Presiden Jokowi sebagai penguasa politik saat ini.

Ketika pasangan Prabowo-Gibran jika terpilih, dalam proses transisi pemerintahan, ditenggarai akan terjadinya diskusi menghangat tentang peran penting untuk Gibran dari adanya politik pamrih. Prabowo patut mengingat, bahwa adanya peran besar Jokowi sebagai Penguasa Politik yang telah membantu mewujudkan impian Prabowo sebagai Presiden, sekali lagi jika terpilih. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga