Pasar Gelap Demokrasi

M. Najib Husain, telisik indonesia
Sabtu, 26 Juni 2021
0 dilihat
Pasar Gelap Demokrasi
Dr. M. Najib Husain, Dosen FISIP UHO. Foto: Ist.

" Bulan lalu saya berkunjung ke kantor PT. Obsidian Stainless Steel (OSS) sebagai salah satu unit bisnis raksasa yang beroperasi di Kawasan Pertambangan Morosi. "

Oleh: Dr. M. Najib Husain

Dosen FISIP UHO

BULAN lalu saya berkunjung ke kantor PT. Obsidian Stainless Steel (OSS) sebagai salah satu unit bisnis raksasa yang beroperasi di Kawasan Pertambangan Morosi.

Kesempatan ini telah lama saya tunggu lama dan akhirnya bisa terwujud. Kehadiran saya tidak lain untuk bisa melakukan wawancara dengan pihak perusahaan. Saya ingin mendapatkan data tentang bagaimana pola komunikasi antara pihak perusahaan dengan  pemerintah daerah, yang selama ini belum banyak merasakan dampak positif dari kehadiran perusahaan internasional tersebut.

Hanya sayang seribu sayang karena informasi yang saya butuhkan harus mendapatkan izin dari negara pemilik perusahaan ini.

Inilah yang disebut negara dalam negara, yang selama ini saya hanya dapatkan dalam teori dan hari ini saya merasakan langsung di bumi tercinta Sulawesi Tenggara.

Sulawesi Tenggara dalam trend ekonomi saat ini memiliki posisi yang  strategis dan menggiurkan dalam ekonomi pertambangan. Sehingga wajar jika kemudiaan provinsi ini selalu dipilih bila ada hajatan nasional.

Termasuk hajatan Munas Kadin (pembatalan dan perubahan ini merupakan kali ketiga setelah sebelumnya sempat diagendakan di Jakarta dan Bali). Munas akan dilaksnakan pada 30 Juni 2021, rencana akan dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo di tengah lonjakan kasus COVID-19 di Kota Kendari.

Pemilihan Ketua Umum Kadin  2021-2026 sangat strategis karena berkaitan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024. Sehingga wajar ada persaingan ketat antara Direktur Utama PT Indika Energy Tbk. Arsjad Rasjid dan Presiden Direktur PT Bakrie & Brothers Anindya Bakrie yang sama-sama mengklaim telah mendapatkan dukungan dari berbagai provinsi di Indonesia.

Pelaksanaan Munas Kadin ini akan menjadi ujian besar bagi pemerintah Kota Kendari bagaimana mensukseskan dan mewujudkan Munas yang sudah dua kali tertunda. Bisakah menyakinkan kelompok-kelompok masyarakat kota  yang menolak pelaksanaan Munas di tengah COVID-19 yang makin mengila.

Jika kedua ujian itu dapat dilalui maka akan menjadi sebuah keberhasilan dan menjadi catatan sejarah perjalanan Kadin Indonesia. Tapi jika gagal, sudah pasti juga akan membawah resiko bagi pemerintah daerah dan keselamatan warga kota.

Semoga semua baik-baik saja dan Kota Kendari dalam keadaan baik-baik saja, dan juga tidak kalah penting bahwa Kadin Sultra tidak salah menentukan figur.

Semoga Munas Kadin kali ini tidak melahirkan polarisasi seperti 2019, adanya calon pendukung pemerintah dan calon oposisi karena akan merusak iklim dunia usaha yang sangat dibutuhkan dalam memperbaiki perekonomian kita dari dampak COVID-19.  

Baca juga: Relawan Jokowi Ibarat Faksi dari PDI Perjuangan

Namun, sebenarnya hubungan antara dunia usaha dengan dunia politik bukanlah hal yang baru. Sejarah telah mencatat bahwa kerjasama antara pengusaha dengan penguasa di negeri ini, telah menghasilkan kebijakan yang di antaranya adalah dorongan atas pertumbuhan dunia usaha pribumi yang tercermin dalam kebijakan Ali Baba atau Baba Ali pada tahun 1950-an.

Yahya Muhaimin menyebutnya sebagai Client Businessmen, dimana pengusaha-pengusaha bekerja dengan dukungan dan proteksi dari jaringan kekuasaan pemerintahan. 

Sulawesi Tenggara memiliki banyak pengusaha dan akan mengelola  potensi sumber daya tambang yang cukup besar, dan potensi ini harus dikelola dengan baik dan bermanfaat buat kemaslahatan masyarakat. Jika tidak maka sudah pasti pada setiap peristiwa demokrasi (Pilkada) selalu terkait dengan isu tambang.

Di tengah pragmatisme politik yang terstruktur dalam pikiran pemilih tradisional, para aktor lokal yang berkontestasi dalam Pilkada akan menggunakan segala macam cara dan strategi untuk mempengaruhi pilihan politik pemilih.

Salah satu cara dan strategi yang paling ampuh untuk mempengaruhi pilihan politik pemilih adalah menggunakan kekuatan modal. Mahalnya biaya demokrasi dalam kontestasi Pilkada telah melahirkan perilaku perjudian politik.

Mafia politik dengan cara melakukan mobilisasi sumber daya ekonomi dan politik, persekongkolan dan konsesi-konsesi kepentingan ekonomi dan politik antara calon penguasa dan pengusaha (Hidayat, 2007).

Jika hal itu terjadi maka pemilihan kepala daerah serentak telah menjadikan Pemilukada sebagai arena kompetisi yang mahal dan mengundang intervensi kekuatan modal didalam arena politik yang di dalamnya akan ada politik transaksional dan jual beli suara (vote buying).

Keterlibatan pengusaha dalam  Pilkada sebagai penyuplai dana untuk membangun patronase dengan penguasa daerah yang berhasil terpilih adalah dalam rangka memperluas jaringan bisnis dan strategi mengamankan kepentingan bisnis.

Keterlibatan sejumlah pengusaha sebagai penyandang dana sebagai hal yang sulit dihindari, karena antara pengusaha dan calon penguasa sama-sama memiliki kepentingan dan akan terjadi perselingkuhan.

Bahkan tidak menutup kemungkinan, para penyandang dana tersebut bermain di dua kaki untuk mendanai calon penguasa daerah.

Baca juga: Relawan Jokowi Ibarat Faksi dari PDI Perjuangan

Akibatnya pengatur panggung demokrasi, tidak lain adalah para pengusaha yang bisa mengatur pola serangan dan irama permainan politik di Sulawesi Tenggara.

Tidak mengherankan bila pasca Pilkada para pengusaha tersebut memposisikan diri dalam pemerintahan sebagai shadow government, sekaligus menjadi pangusaha klientelistik atau kroni bisnis penguasa daerah yang memonopoli sumber-sumber ekonomi, khususnya bisnis pertambangan, dan proyek pembangunan infrastruktur daerah, sebagai politik balas budi.

Jika selama ini pengusaha tambang belum sepenuhnya bertarung dalam Pilkada di Sultra dan lebih banyak hanya jadi pemain di belakang layar maka kedepan sejumlah pengusaha akan beramai-ramai masuk dalam gelanggang politik di Sultra baik pada level provinsi maupun kota dan kabupaten.

Semua ini hanya menunggu waktu dan akibatnya  demokrasi kita dibajak dan dikendalikan melalui kekuatan modal, kekuasaan negara didikte melalui penempatan orang-orang di dalam jaringan birokrasi pemerintahan, institusi kekuasaan, lembaga demokrasi dan partai politik yang melahirkan suatu pembajakan terhadap nilai demokrasi hanya tinggal cerita dan lingkungan akan hancur yang kelak akan diterima oleh anak cucu kita.

Pada masa Orde Baru penguasaan atas sumber daya publik dilakukan dengan cara-cara kekerasan dan ditandai dengan banyaknya pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kini penguasaan sumber daya publik dilakukan dengan cara-cara yang demokratis, tanpa kekerasan dan dengan yang tidak melanggar hukum.

Pemilu justru menjadi sumber korupsi. Hal ini disebabkan adanya ketergantungan diantara politisi, penguasa, dan pengusaha yang pada akhirnya melahirkan pasar gelap demokrasi dalam tata pemerintahan.  

Sehingga pemerintahan yang ada dijalankan oleh pemerintah bayangan yang mengendalikan serta mendikte kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan yang terkait dalam pengelolaan pertambangan.

Para pengusaha tambang (pemerintah bayangan) ini telah menyandera institusi kekuasaan dan penguasa daerah yang terkait dengan kebijakan pertambangan.

Hal ini terjadi karena penguasa daerah yang terpilih dalam proses pemilihan kepala daerah didanai oleh para pengusaha tambang, yang memiliki andil besar dalam hal dukungan dana (suppoting financial) untuk kepentingan proses pemenangan pemilihan kepala daerah secara serentak.

Sehingga, kepala daerah yang berhasil terpilih akan memberikan konsesi ekonomi sebagai balas jasa politik pada kekuatan modal melalui pemberian proyek-proyek infstruktur dan fasilitas ekonomi lainnya yang telah berperan sebagai political broker dalam pemilihan kepala daerah.

Semoga jalan cerita Pilkada di 7 kabupaten tahun 2020 di Sultra, nasib tidak seperti di atas. Jika itu terjadi maka sebagai pemilih cukup hanya menjadi penonton saja dan menunggu kapan Pilkada lagi. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga