Ada Utang Rp 10.000 Triliun yang Diwariskan Jokowi ke Presiden 2024
Reporter
Minggu, 12 Desember 2021 / 2:15 pm
JAKARTA, TELISIK.ID - Presiden Jokowi diprediksi akan mewariskan utang hingga mencapai Rp 10.000 triliun di akhir masa jabatannya.
Hal ini diungkap ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik J Rachbini.
Menurutnya, tumpukan utang itu berasal dari utang pemerintah dan utang BUMN. Dilansir dari Cnnindonesia.com, Minggu (12/12/2021), detailnya utang pemerintah tercatat sebesar Rp 6.361 triliun per Februari 2021.
Sementara itu, utang BUMN tembus Rp 2.140 triliun per kuartal III 2020 lalu. Utang perusahaan pelat merah itu terdiri dari utang BUMN non keuangan sebesar Rp 1.141 triliun dan BUMN keuangan Rp 999 triliun.
Dengan demikian, total utang pemerintah dan BUMN sebesar Rp 8.501 triliun.
"Ini belum selesai pemerintahannya. Kalau sudah selesai diperkirakan menjadi Rp 10 ribu triliun utang di APBN. Saya memperkirakan di akhir periode, pemerintahan ini akan mewariskan lebih dari Rp 10.000 triliun kepada presiden berikutnya," ujarnya dalam diskusi bertajuk Kinerja BUMN dan Tumpukan Utang.
Ia mengatakan, tren utang di masa pimpinan Jokowi bertambah sangat pesat. Pada masa akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kata dia, utang pemerintah tercatat sebesar Rp 2.700 triliun dan utang BUMN Rp 500 triliun.
Selain itu, total utang sebesar Rp 8.500 triliun itu, lanjutnya, belum memasukkan komponen utang swasta yang diprediksi tidak kalah besarnya.
"Jadi, ini rezim utang yang kuat sekarang, saya sebutnya penguasa raja utang," tuturnya.
Didik pun menyoroti lemahnya peran DPR dalam penyusunan anggaran negara, sehingga utang melesat lepas dari kontrol para anggota dewan. Menurutnya, para wakil rakyat itu kini sudah tidak lagi berkutik.
"DPR sudah lemah seperti masa orde baru," tuturnya.
Secara khusus, Didik menyoroti utang perusahaan pelat merah. Menurutnya, kenaikan utang perusahaan pelat merah tidak sebanding dengan setoran mereka pada negara yang cenderung kecil.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang dihimpun Indef, tercatat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas laba BUMN 10 terbesar mayoritas berasal dari PT BRI (Persero) Tbk yang diperkirakan sebesar Rp 11,8 triliun di 2020 lalu.
Lalu, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sebesar Rp 9,9 triliun, PT Pertamina (Persero) Rp 8,5 triliun, PT Telkom (Persero) Tbk Rp 8 triliun, dan PT BNI (Persero) Tbk Rp 2,3 triliun.
Baca Juga: KPK Kekurangan Pegawai, Firli Bahuri Mengadu ke Jokowi
Di luar BUMN tersebut, setoran kepada negara di bawah Rp 1 triliun atau miliaran rupiah.
Belum lagi, sejumlah BUMN masih mendapatkan suntikan dana dari pemerintah. Misalnya, pembiayaan investasi pada 12 BUMN diprediksi mencapai Rp 31,5 triliun pada 2020 lalu. Sedangkan dalam APBN 2021 pemerintah menganggarkan kenaikan pembiayaan investasi pada BUMN tersebut menjadi Rp 37,4 triliun.
"Sudah utang banyak, menyusul pada APBN, setoran kepada APBN sangat kecil, yang paling besar Rp 11 triliun dari BRI, sisanya cuma Rp 100 miliar-Rp 200 miliar, yang rugi banyak jadi beban negara. Jadi BUMN ini menjadi kelas berat sekarang," katanya.
Sementara itu dilansir Cnnindonesia.com, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, lonjakan utang tak bisa dihindari dalam dua tahun terakhir. Pemerintah terpaksa mengambil opsi tersebut demi menyelamatkan ekonomi negara yang dimungkinkan hancur lebur.
"2020 kita lumpuh, pajak turun 18%. Belanja naik 15%, maka defisit di 6%. Apakah itu harus dilakukan, ya iyalah no choice," ungkap Sri Mulyani.
Posisi utang pemerintah per akhir Oktober 2021 sebesar Rp 6.687,28 triliun. Utang ini setara dengan 39,69% Produk Domestik Bruto (PDB). Ada tambahan setidaknya lebih dari Rp 1000 triliun dibandingkan dengan sebelum adanya pandemi COVID-19.
Baca Juga: PPKM Level 3 Dibatalkan, Perayaan Tahun Baru Dibolehkan?
Pandemi covid membawa aktivitas ekonomi berhenti. Sehingga banyak masyarakat tidak memperoleh pendapatan, begitu juga negara. Uang yang dipakai pemerintah untuk membantu masyarakat terpaksa dari utang. (C)
Reporter: Ibnu Sina Ali Hakim
Editor: Haerani Hambali