Agar Kapolri tak Lagi Berutang Besar

Suryadi

Penulis

Minggu, 07 Maret 2021  /  4:42 pm

Suryadi, pemerhati kepolisian dan budaya. Foto: Ist.

Oleh: Suryadi

Pemerhati Kepolisian dan Budaya

SECANGGIH apa pun teknologi, tetap ia merupakan produk penguasaan  

ilmu pengetahuan. Penguasanya manusia, sosok yang sempurna dengan ‘plus-minus’-nya.

Dalam logika seperti ini, terbayang kemajuan teknologi yang mampu meminimalisasi pelibatan banyak manusia sehingga menghapus padat karya.

Dengan tingkat kecanggihan teknologi tertentu, kemudahan tersedia. Di situlah manusia sebagai kreator, pengatur, dan pengendali teknologi. Bukan sebaliknya.

Maka, ketika masih saja ada keluhan bahwa, jumlah Polri masih sangat jomplang  dibandingkan dengan jumlah penduduk, dan pada saat yang sama ada realitas surplus di level kepangkatan komisaris besar dan perwira tinggi, jelas ada yang patut dibenahi, untuk menemukan titik layak.

Sampai sejauh mana upaya-upaya Polri melahirkan polisi yang Professional, Modern, dan Terpercaya, tentu publik perlu tahu.

Terdapat tiga tanggal bersejarah terkait penetapan Hari Jadi atau Hari Ulang Tahun (HUT) Polri. Pertama, 19 Agustus 1945 atau dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Oto Iskandardinata dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengusulkan, salah satunya ialah agar susunan kepolisian pusat dan daerah segera dipindahkan ke dalam kekuasaan Pemerintah Indonesia.

Kedua, Komandan Polisi Istimewa (PI) Surabaya, Inspektur Polisi Kelas I Moehammad Jasin --didukung teman seperjuangan yang sudah tak sabar lagi keluar dari kungkungan PI Jepang (Tokubetsu Keisatsu Tai)-- memproklamasikan “Polisi Repoeblik Indonesia” (PRI) di “Soerabaya” pada 21 Agustus 1945.

Ketiga, momen perubahan penempatan Kepolisian dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) langsung di bawah Perdana Menteri (PM), sebagaimana Surat Perintah No. 11/SD/1946 yang diterbitkan oleh Pemerintah PM Sjahrir pada 1 Juli 1946. Mirip dengan saat ini, Kapolri berada di bawah Presiden sejajar dengan Menteri kabinet, Panglima TNI, dan Kepala Badan/ Lembaga Negara.

Ketiga momen tersebut, satu sama lain dapat dilihat sebagai satu rangkaian proses menuju terbentuknya Polri. Setidaknya, itu pendapat penulis. Sejarah membuka diri terhadap kemungkinan ditemukan hal-hal baru yang siginifikan.

Dalam hal ini  sebagai bahan pertimbangan penetapan HUT Polri. Jadi,  terbuka perdebatan tentang HUT Polri atau Hari Bhayangkara: tanggal 19 Agustus, 21 Agustus, atau 1 Juli?

Apa pun yang kuat melatarbelakangi ketiga momen tersebut, Polri di tahun 2021 sudah berusia 76 tahun atau 75 tahun. Jelas, usia yang tidak lagi muda. Jika diibaratkan manusia, Polri masuk kategori manusia usia lanjut (manula).

Sebagai ilustrasi, anggota Polri sesuai peraturan perundang-undangan, kini pensiun di usia 58 tahun. Tahun-tahun boleh berlalu, personelnya pensiun, tapi tak terbayangkan jika negara tanpa polisi.

Oto lewat usulannya berperan memasukkan ruh satunya Polisi Nasional melalui PPKI. Jasin dengan sikapnya yang kukuh bergeming, terutama ketika dihadapkan  dengan “penyusupan” komunis, kemudian atas jasa-jasanya ditetapkan sebagai orang I dari Polri menjadi Pahlawan Nasional. Ia juga dikenang sebagai “Bapak Brimob” – polisi dengan kapasitas tempur.

Kemudian, Kepala Kepolisian Negara (KKN) I, R.S. Soekanto yang sangat berperan meletakkan dasar-dasar Polisi Nasional yang modern. Seperti halnya Jasin pada 2015, lima tahun kemudian Soekanto juga ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Pahlawan Nasional (2020).

Selain keduanya, tentu masih banyak lagi sosok-sosok pejuang di zamannya yang telah memberi sumbangsihnya bagi terbentuk dan tetap eksisnya Polri hingga kini.

Pendidikan adalah salah satu ciri keinginan maju menjadi modern. Soekanto adalah sosok peletak dasar-dasar Polisi Indonesia sebagai polisi nasional yang profesioal dan modern.

Sebagai KKN I, ia yang memulai pembentukan fungsi-fungsi dalam tubuh Polri. Antara lain ada polisi reserse, lalu-lintas, dan perintis (kini Sabhara). Soekanto juga mengirimkan para perwira polisi sebagai peninjau atau melanjutkan pendidikan kepolisian di luar negeri.

Dengan penuh pengakuan, rangkaian kebijakan Soekanto itu, sangat relevan dikaitkan dengan cita-cita agar setiap anggota Polri memiliki keahlian spesifik pada masing-masing bidang.

Menjadi polisi yang bukan sekadar mendapat bayaran atas dasar keahliannya, tapi professional lantaran ‘panggilan’ yang mengusik person-person menjadi polisi yang terampil dan ahli dalam melayani, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas), dan penegakan hukum.

Soekanto sangat berperan menyatukan kepolisian daerah-daerah yang waktu itu berada di bawah masing-masing residen. Juga, membuat hubungan tetap harmonis dengan Kejaksaan dan Kemendagri yang “kehilangan kekuasaan” atas kepolisian (lihat Awaloedin, Ambar dkk., “Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo” [2016] dan “Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia” [2007]).

Sebagaimana sejarah mencatat,  sejak merdeka pemerintahan terus-menerus diwarnai oleh jatuh-bangun kabinet lantaran ambisi dan persaingan kelompok atau paham. Dalam kondisi seperti itulah, Soekanto selama 14 tahun (29 September 1945-15 Desember 1959) menjalankan kepemimpinan KKN I.

Polisi Indonesia dalam nomenklatur kenegaraan disebut Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Secara konstitusional, Polri diamanahi oleh UUD 1945. Kemudian, dioperasikan berlandas pada UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian berikut Ketetapan MPR yang mendahuluinya.

Ini berlaku sejak penguasa Rezim Orde Baru menyatakan berhenti (cara ini tidak diatur dalam konstitusi) pada 1998 beriringan dimulainya Reformasi. Kini, di tengah gema kabar surplus ratusan jenderal polisi dan perwira menengah berpangkat komisaris besar (Kombes) polisi, tulisan ini, coba menyoroti kesejalanan basis pendidikan anggota Polri ketika pertama memulai masa dinas, kemudian dilanjutkan oleh pembinaan karir (binkar).

Hal semacam itu, bagaimanapun seharusnya, tak boleh terjadi jika tidak ingin berhadapan dengan anggota yang pura-pura tetap bersemangat atau nyata-nyata apatis. Bagaimanapun mereka adalah anggota yang ingin punya karir secara bagus.

Apatis adalah sikap masa bodoh, tak peduli, acuh tak acuh atau pernah populer diungkapan: ”pasrah, asal jalanin aja, emang gue pikirin” alias EGP.

Terkait erat permasalahan karir, bahkan Jenderal M Tito Karnavian sebagai Kapolri (2016 – 2019) menungkapkan, “Saking banyaknya yang ingin naik jadi bintang satu, tak sedikit pangkat melati tiga (kombes, pen) mencari dukungan dan mengeluarkan uang.

Hal itu menjadi rahasia umum…. Galang menggalang ke sana kemari untuk mendapatkan bintang satu, minimal. Ditambah lagi, banyak juga yang punya logistik. Itulah yang saya rasakan sebagai Kapolri” (Rabu, 17 Juli 2019, wisuda purnabakti perwira tinggi Polri di PTIK-STIK, Jakarta).

Penggantinya, Kapolri Jenderal Idham Azis (1 Nov. 2019 – 27 Januari 2020) lebih tegas lagi menyatakan, “…, saya tidak pernah akan menerima anggota di Patimura (kediaman resmi Kapolri, pen). Kalau ada urusan di kantor saja, kalau ada urusan kau WA saja, sama saja.

Karena yang menghadap itu cuma tiga; minta jabatan, mempertahankan jabatan, atau minta sekolah” (Rabu, 30 Oktober 2019, Rumah Dinas Kabareskrim Polri, Jl, Panglima Polim III/ No. 7A, Jakarta Selatan, Kunjungan Komisi III DPR RI dalam rangkaian uji kelayakan dan kepatutan Idham sebagai calon Kapolri).

Baca juga: Robeknya Harapan Nasabah Jiwasraya

Tak Kunjung Promoter

SEJARAH terbentuknya Polri hendaklah dilihat secara diakronis sehingga tidak  tersusun dari kejadian tunggal. Penekanannya tak lepas dari penelusuran waktu. Berbagai problem pasti telah mendinamisasinya. Dengan demikian, diakronis dapat dipahami memanjangkan waktu dan mementingkan proses terjadinya suatu peristiwa.

Sejalan dengan itu, diakronis diberi arti “berkenaan dengan pendekatan terhadap bahasa dengan melihat perkembangan sepanjang waktu; bersifat historis” (KBBI, 2002: 260).

Sjaefur Rochmat dalam “Ilmu sejarah dalam Perspektif  Sosial” menarik sebuah rumusan pengertian sejarah sebagai, “Suatu studi keilmuan tentang segala sesuatu yang dialami manusia di waktu yang lampau yang telah meninggalkan jejak-jejaknya di waktu sekarang, di mana tekanan perhatian diletakkan terutama pada aspek peristiwanya sendiri dalam hal ini terutama yang bersifat khusus dari segi-segi urutan perkembangan yang kemudian disusun dalam suatu cerita sejarah (2009: 8 – 9).

Basis pendidikan polisi ketika mengawali karirnya yang kemudian dilanjutkan oleh binkar selama berdinas, adalah bagian sejarah yang ikut mewarnai institusi Polri, khususnya tentang sistem pengelolaan sumber daya manusia (SDM).

Apalagi, bila polisi itu menjadi pimpinan puncak Polri. Setelah berpuluh tahun Polri berdiri, pada 2016 Kapolri Jenderal M Tito Karnavian (2016 – 2019) mengangkat visi menjadi Polri yang “Profesional, Modern, Terpercaya” (Promoter). Toh hingga kini masih sering terdengar persoalan-persoalan kultural yang jelas-jelas memengaruhi struktur organisasi Polri.

Paling parah ketika yang dimaksudkan kultural adalah dominannya perilaku mengejar pangkat dan jabatan yang dilihat sebagai kekuasaan. Tafsir kekuasaan itu sendiri, baik-baik saja bila seperti yang dimaksudkan oleh Prof. Miriam, “Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok memengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan para pelaku” (2008: 17).

Jika ini merupakan  politik Negara bagi Polri, selayaknya Polri menjadi lebih baik lagi. Mengingat, menurut Miriam, “Politik  adalah usaha menggapai kehidupan yang baik.” (2008: 17 dan 13). Kepolisian, oleh antropolog Prof. Koentjaraningrat, dimasukkan ke dalam institusi politik (1984: 17).

Pada era reformasi yang sudah menjelang 23 tahun ini, proses pencalonan Kapolri melewati proses Politik; dari Presiden ke DPR RI, kemudian DPR RI mengembalikannya kepada hak prerogatif Presiden untuk suatu penetapan.

Soal “main kuasa”, menjadi persoalan serius. Tumbuh berkembang merambah kemana-mana. Padahal, jauh-jauh hari Loc Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, mengingatkan lewat adagium, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).

Di Indonesia, menteri masa Orde Baru yang otoritarian-represif, Prof. Emil Salim dalam sebuah wawancara majalah pada 1999 mengakui, “Tidak ada penguasa yang ingin memperkecil kekuasaannya” (Interiew, 1999:32).

Pada masa Orde Baru (1966-1998), sulit terbantahkan bahwa, penguasa nyaris-nyaris absolut sempurna menguasai hajat hidup orang banyak, dari hulu hingga ke hilir, termasuk hukum dan penegakannya.

Kesepakatan Jenewa tentang polisi sipil diabaikan sehingga Polri menjadi bagian dari militer/ ABRI pendukung utama rezim. Tindakan arogansi dan ‘main kuasa’ menjadi sesuatu yang biasa saja.

Kemudian sejarah menghendaki lain. Pada 1998 rezim Orde Baru tumbang pada 21 Mei. Secara resmi, Polri dipisahkan dari TNI (ABRI waktu itu), pada 8 Januari 2002 ketika UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian diundangkan.

Tak ada pilihan lain bagi Polri, kecuali mereformasi diri. Pasti tidak mudah, meski pembenahan struktur dalam organisasi, pasti jauh lebih sederhana ketimbang membongkar kultur lama.

Terbukti, ketika masih Kapolri, Tiro Karavian (kini Mendagri) memvisikan Promoter yang “ter”-nya adalah “Terpercaya” dimaknai, “Melakukan reformasi internal menuju Polri yang bersih serta bebas dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), guna terwujudnya penegakkan hukum yang objektif, tranparan, akuntabel, serta berkeadilan” (Syaefurrahman dan Suryadi, 2018: 66).  

Penyakit “kultural” tersebut, selain arogan dan main kuasa serta KKN sebagai realitas yang mengikutinya, masih menjadi hal yang terus-menerus dibenahi sampai 23 tahun kemudian. Sebagai pengganti Tito, Kapolri Idham Azis bahkan merasa penting mengeluarkan Surat Telegram (ST) larangan anggota Polri (bergaya hidup) hedonistik.

Melalui ST Nomor: ST/ 30/ XI/ HUM.3.4/ 2019/ DIVPROPAM/ 30/XI/ HUM.3.4/ 2019/ DIVPROPAM yang ditandatangani oleh Kadiv Propam, Irjen Pol. Listyo Sigit Prabowo (kini Kapolri) itu ditegaskan: "… Polri sebagai alat negara bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat harus mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih melalui penerapan pola hidup yang sederhana dengan tidak bergaya hidup mewah, menunjukkan hedonism dalam kehidupan sehari-hari, baik di internal institusi Polri maupun kehidupan bermasyarakat."

Hedonisme dijelaskan oleh J.S. Badudu sebagai “Paham yang beranggapan bahwa tujuan hidup yang utama adalah mencari kenikmatan dan kesenangan” (2003: 132).

Dari situ, agaknya cita-cita mewujudkan Polri yang Promoter layak diteruskan secara sinambung. Meski, setidaknya saya, sampai hari ini tidak tahu betul sejauh mana cita-cita tersebut sudah dicapai.

Memang tidak terdapat publikasi yang memadai seputar analisa, evaluasi, dan sejauh mana capaian cita-cita polisi yang Promoter. Pada rangkaian serah-terima dua Kapolri belakangan ini (1 November 2019 dan 27 Januari 2020), juga tidak ada publikasi tersebut.

Meski cuma sebuah tradisi, sebaiknya setiap kali serah-terima jabatan diboboti oleh memori pertanggungjawaban kepemimpinan. Mengingat Kapolri adalah pejabat publik, sangat wajar pula bila hal itu secara substansi terpublikasi luas menjadi pengetahuan masyarakat.  

Rasanya, visi tiga Kapolri yang dijabarkan ke dalam program mereka sepanjang 2016-2021, cukup sinambung antara satu dan lainnya. Promoter dicanangkan oleh Kapolri ke-23 Tito Karnavian, kemudian ditegaskan menjadi “Penguatan Program Promoter” oleh pelanjutnya, Idham Azis.

Terakhir, Jenderal Pol. Drs. Listyo Sigit Prabowo (mulai Rabu 27 Januari 2021) menggulir konsep Polri yang Presisi –dari Prediktif, Responsibilitas, Transparansi, Berkeadilan. Dengan konsepsi Presisi, diharapkan Polri dapat membuat pelayanan lebih terintegrasi, modern, dan mudah.

Bila dihubungkan, mungkin kalimat yang pas tersusun begini, “Polri Promoter yang mampu memberikan pelayanan lebih terintegrasi dan mudah.”

Baca juga: Makna Silaturahmi bagi Jenderal Sigit, Mantan Direskrim Polda Sultra itu

Kurang Personel, Surplus Jenderal

RASIO jumlah anggota Polri berbanding dengan jumlah penduduk di Indonesia yang sudah lebih dari 272 juta jiwa, memang sangat ‘jomplang’.

Pada peluncuran buku "Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi" karya Irjen Prof. Dr. Eko Indra Heri (kini Kapolda Sumsel), Kapolri  Idham mengatakan, jumlah SDM Polri sekitar 500 ribu personel tersebar di seluruh pelosok Tanah Air.

Kata Idham, ”Mereka perlu dikelola secara lebih strategis dan profesional sejalan dengan salah satu sasaran program penting Polri. Membangun manusia unggul di lingkungan lembaga kepolisian. Pembangunan SDM yang unggul merupakan aset penting, mengingat amanah yang diberikan negara kepada Polri yaitu menjaga, menciptakan dan mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat" (Jakarta, 24 April 2020).

Soal rasio anggota Polri : jumlah penduduk memang jomplang. Tetapi, yang agak menggelikan karena pada saat yang sama, terjadi surplus polisi berpangkat Kombes dan jenderal.

Pada saat serah-terima jabatan Kapolri kepada Idham, Tito  menyatakan cukup pusing dengan jumlah kombes 1.500 orang di antaranya sudah sekolah 400 orang (untuk jadi Brigjen) (Rabu, 6 November 2019). Hampir setahun kemudian (Rabu, 30 September 2020), Idham kepada Komisi III menjelaskan, ada ketidakseimbangan susunan personel Polri dengan tingkatannya.

Bahkan, ada surplus personel untuk jabatan Kombes 288 orang dan 213 untuk jabatan perwira tinggi (pati).  Dua bulan kemudian (kamis, 13 Februari 2020), Idham mengungkapkan, mereka yang berpangkat kombes sudah memenuhi syarat menjadi brigjen bertambah menjadi 500 orang. Secara keseluruhan waktu itu pati Polri meliputi satu jenderal, 11 bintang tiga (komjen), 118 bintang dua (irjen), dan 298 brigjen.

Sebelumnya, pada 27 Maret 2018, Tito mengungkapkan, ada sembilan posisi Komjen, 60 posisi Irjen, dan 220 posisi Brigjen. Mengingat terdapat 400-an kombes yang sudah lulus sekolah, karena posisi untuk bintang satu terbatas, terjadi penumpukan pada pangkat kombes alias ‘Bottleneck’.

Jumlah jabatan untuk pangkat bintang tidak banyak. Saat itu dari 34 Kapolda  di antaranya 19 – 20 untuk bintang dua, selebihnya bintang satu. Jadi, sampai Desember 2018, diperkirakan akan ada 414 Kombes tidak memiliki jabatan di Mabes Polri.

Penumpukan polisi berpangkat kombes itu, terjadi disebabkan oleh masalah yang berkembang sejak 1980-an. Saat itu Polri memperbanyak kuota rekrutmen (tahun kelulusan di Akabri Kepolisian/Akpol disebut angkatan). Pada angkatan 1982 cuma 46 orang, tapi angkatan 1984 di atas 100 orang. Tahun 1985 mulai hampir 200 taruna Akpol. Tahun 1986 ampai 1987 sampai 197 taruna. Setelah itu berturut-turut, sekarang sudah 300 orang yang masuk Akpol. 

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Irjen Pol. Pur. Bekto Suprapto, Rabu (4/7/2018) menyebut, ada tiga penyebab menumpuknya polisi berpangkat kombes. Pertama, banyaknya penerimaan taruna Akpol sehingga lulusan 1983 masih menumpuk.

Kedua, perpanjangan masa pensiun dari 55 tahun menjadi 58 tahun sampai tahun 2000 tidak diikuti oleh kebijakan pengaturan kenaikan pangkat.

Ketiga, aturan kenaikan pangkat dari sumber sekolah bintara yang berprestasi atau ‘bernasib baik’ dapat naik sampai pangkat kombes. Di awal 2018, Bekto di hadapan SDM Polri menyampaikan, 400 pangkat kombes tak memiliki jabatan, padahal sekitar 600 orang berpangkat AKBP sudah memasuki waktu kenaikan menjadi kombes.

Penumpukan, menurut Bekto (Akpol 1977), juga terjadi pada anggota dengan kepangkatan aiptu (bintara tinggi). Saya sendiri, sering mendengar keluhan dari para Kompol yang baru menyelesaikan pendidikan Sekolah Staf Pimpinan Menengah (Sespimen) Polri. Gara-gara moratorium, kenaikan pangkat mereka menjadi AKBP tertunda dua tahun.

Baca juga: Tokom Polri, Tongkat Pelayanan

Rekomendasi

Sebuah organisasi kerja yang kuat, memerlukan kuatnya pula budaya organisasi. Pinjam uraian Teleos, budaya organisasi merupakan fondasi atau landasan untuk membangun ‘knowledge enterprise’. Satu dari dua jenis organisasi dari sudut pandang budaya, adalah organisasi yang memiliki budaya kuat (‘strong culture organization’, SCO).

Maksudnya, organisasi yang berhasil membentuk budaya organisasi yang kuat karena di dalamnya terdapat indvidu-individu yang memiliki ‘shared value’ yang konsisten, memiliki tujuan dan perilaku yang sama dan efektif (2016: 195). Saya ingin menyebutnya sebagai SDM yang kuat saja.

Dalam bingkai organisasi dengan budaya organisasi yang kuat itulah, saya melihat Polri sebagai institusi yang merepresentasikan Pemerintah Negara RI di bidang harkamtibmas, pelayanan, dan  penegakan hukum. Secara konstitusional, UUD ’45 menguraikan, “Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum” (Ps. 30 [40]).

Prof. Hermawan menulis, “Bagi Polri, rumusan umum yang diterima adalah terciptanya rasa keamanan dan rasa aman masyarakat (2011: 2).  

Maka menjadi lebih tegas lagi bahwa, Polri adalah organisasi dengan budaya organisasi yang kuat. Sebagai organisasi, oleh karena itu, Polri (wajib) memiliki manusia-manusia penyumbang nilai-niai secara konsisten, memiliki tujuan dan perilaku yang sama dan efektif terhadap tujuan yang hendak dicapai: “harkamtibmas dan penegakkan hukum yang berkeadilan sehingga masyarakat merasa terayomi dan terlayani dengan baik.

Saya meyakini, untuk itu Polri bukan baru 5-10 tahun terakhir berbenah. Tetapi, pembenahan, tak bisa dilakukan sebagian-sebagian yang membuka  kurun jeda yang justru membiakkan persoalan baru.

Misalnya, ketika dibentuk jabatan fungsional baru seperti analis jabatan baik bagi brigjen dan kombes, apakah persoalan lain praktis teratasi. Untuk persoalan para brigjen dan kombes itu sendiri, tak juga tuntas. Itu baru pada batas mengatasi jumlah, belum lagi bicara tuntutan kualitas dan kapasitas.

Oleh karena itu, adalah penting untuk konsisten menjalankan pembenahan secara dinamis  disertai tuntutan moral, etika, dan norma yang membimbing, agar tidak terjebak “omong doang” (omdo).

Untuk itu, perlu dikancah ulang sebuah strategi dan pemecahan yang menyeluruh, agar solusi tak bersifat sementara. Saya mencoba memberikan highlight yang patut dikaji meliputi:

• Eselonisasi di tingkat pusat yang lazim disebut Markas Besar (Mabes) Polri. Bagaimana dengan levelitas penepatan dalam nomenklatur jabatan di bawah Wakapolri yaitu inspektur pengawasan umum (Irwasum), kepala badan, kepala lembaga, asisten Kapolri, koordinator staf ahli (Koorsahli), dan Kapolda berikut ketentuan yang menyertainya. Ini bukan cuma terkait karir seseorang kombes, tapi mempertimbangkan psikologis dan keteladanan.

• Menjadikan kenaikan pangkat irjen ke komjen, benar-benar ketat sehingga tidak hanya mempertimbangkan senioritas berbasis masa kerja, tahun lulusan  pendidikan awal yang cenderung menjurus ke pengelompokan angkatan/ kelulusan. Demikian pula, pindah ‘rank’ dari kombes ke brigjen.

• Memantapkan tujuan rekrutmen pada setiap level yang meliputi perwira, bintara, dan tamtama sehingga seseorang itu kelak menjadi polisi yang ahli di bidangnya. Pangkat dan jabatan merupakan konsekwensi logis. Misalnya, kapasitas kepemimpinan akan menentukan jabatan dan tanggung jawab, sedangkan keahlian berarti tanggung jawab pada bidangya dan memengaruhi tunjangan penghasilannya. Sehingga, akan ada proporsi moderat antara pejabat dan ahli yaitu kian tipisnya ‘kultur komando’ kecuali menyangkut kewenangan kontrol dan tanggungjawab kelembagaan menyeluruh baik ke dalam dan keluar.

• Rekrutmen untuk dididik tidak menitikberatkan pada pertimbangan memperbanyak jumlah polisi dalam rangka mengejar rasio polisi : jumlah penduduk. Tetapi, tetap ada pengendalian sampai kepada tingkat rekrutmen melalui pendidikan. Hal serupa berlaku pada tiap jenjang pendidikan lanjut bagi binkar.

• Asesmen kecenderungan minat dan keahlian sudah dilakukan sejak awal rekrutmen ketika memasuki pendidikan di semua level, disesuaikan dengan kebutuhan baik jumlah dan mutu. Hal ini erat kaitannya dengan relasi pendidikan awal berdinas dengan berlanjutnya ke binkar selama masa dinas.

• Pengadaan sarana, prasarana, dan perangkat keras yang mendukung kemajuan SDM mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, berjalan beriringan dengan perkembangan zaman.

Tentu saja, masih banyak lagi yang perlu diinventarisasi sejalan dengan dinamika perkembangan zaman. Toh tetap saja dalam bingkai SDM sebagai pengendali, bukan tenggelam sebagai “manusia cepat saji” lantaran idiologisasi suatu produk yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tak pelak lagi faktor SDM sangat berperan dalam mewujudkan Polri yang melayani dengan humanis. Bentuk-bentuk pelayanan semacam itu, tak bisa datang dari  ‘manusia teknologi’ tanpa pikir dan hati. Ada baiknya mempelajari budaya korporat yang juga dikenal dengan istilah budaya kerja sekaligus merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan diacu sebagai filosofi karyawan.  

Langkah itu bukan untuk mengadobsi, tapi mungkin mengadaptasi dan memodifikasinya. Menurut Schein (1985), budaya korporat mengacu pada satu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi-organisasi lain.

Budaya korporasi juga sering dimaknakan sebagai filosofi dasar yang memberikan arahan bagi kebijakan organisasi dalam pengelolaan karyawan dan nasabah (Robbin, 1990 dalam Moeljono, 2003: 17-18). Ubah saja, nasabah di sini menjadi masyarakat yang harus dilayani Polri.

Kapolri baru, Jenderal Sigit, masih akan akan lama memasuki usia pensiun. Sekitar tujuh tahun lagi. Ketika Presiden Joko Widodo mengakhiri masa kepresidenannya pada 2024, ia masih seorang polisi aktif.

Cukup waktu baginya untuk berbuat bagi pembangunan Polri secara menyeluruh, khususnya terkait penataan organisasi dan manajemen SDM. Saat menjelang pergantian Kapolri Idham kepada Sigit, sebuah pemberitaan menyebut: Kapolri lama akan terutang tiga perkara besar.

Saya melihat utang itu terlalu kecil untuk seorang Kapolri. Ia adalah penentu kebijakan dan pengendali bagi 500 ribu bhayangkara yang bertugas mulai dari Mabes Polri hingga di Polda-polda, Polres-polres, Bhabinkamtibmas di desa-desa.

Tak ada Kapolri yang tak “berutang” pada masyarakat di akhir masa jabatannya. “Utangnya” yang terbesar adalah ketika ia memberi cuma sedikit arti bagi suatu memperbaiki dalam waktu yang cukup lama.   

Coba bandingkan dengan seorang pejuang dan yang tidak bisa diremehkan jasa-jasanya dalam mengantarkan Indonesia menjadi negara merdeka, seperti Jenderal Tahi Bonar Simatupang.

Penyunting buku Samuel Pardede mengangkat pernyataan langsung almarhum sebagai judul: “70 Tahun Dr. TB. Simatupang, Saya Orang yang Berutang” (Sinar Harapan, Jakarta, 1990). Padahal, jasa jenderal intelektual itu, tak terkirakan bagi bangsa Indonesia. (*)

TOPICS