Robeknya Harapan Nasabah Jiwasraya
Usmar, telisik indonesia
Sabtu, 06 Maret 2021
0 dilihat
Dr. Usmar, SE, MM, Kepala LPPM Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional. Foto: Ist.
Oleh: Dr. Usmar, SE, MM
Kepala LPPM Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional
SENANDUNG duka yang lirih terus mengiringi langkah lunglai sekitar 5,3 juta orang nasabah asuransi Jiwasraya menunggu kepastian nasib simpanannya.
Bertahun mereka menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membeli polis asuransi dari sebuah perusahaan asuransi tertua milik Pemerintah yang sudah berusia lebih dari satu setengah abad itu, dengan tujuan untuk menggantungkan harapan dan ketenangan masa depan dan masa tua hidupnya kelak dikemudian hari.
Dengan label perusahaan asuransi milik pemerintah, meski dari kekayaan negara yang dipisahkan adalah mantera terpercaya, untuk menggaet para nasabah Jiwasraya mau berinvestasi di perusahaan tersebut.
Sesungguhnya niat para pendiri republik ini, mendorong lahirnya sebuah badan usaha asuransi sangatlah mulia. Mereka ingin mendidik masyarakat untuk terlatih merencanakan masa depanya, di tengah dinamika kehidupan yang terkadang penuh dengan ketidakpastian itu.
Namun, dengan peristiwa yang menimpa para nasabah Jiwasraya saat ini, membuat luka yang dapat merobek mimpi dan harapan mereka, justru lahir dari badan usaha pelat merah, yang dibangun dari niat mulia para pendirinya.
Awal Masalah
Pada tanggal 17 Oktober 2019 Menteri Badan Usaha Milik Negara saat itu Rini M. Soemarno melaporkan ke Kejaksaan Agung perihal Laporan Dugaan Fraud di PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) dengan No: SR–789/MBU/10/2019.
Berdasarkan laporan tersebut kemudian ditindak lanjuti oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: PRINT–33/F.2/Fd.2/12/2019 tanggal 17 Desember 2019, sejak itu mulailah kasus di asuransi Jiwasraya ini menjadi ramai di publik.
Dari pemeriksaan dapatlah diketahui bahwa telah terjadi penyalahgunaan investasi yang melibatkan 13 perusahaan yang melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Sehingga sampai dengan bulan Agustus 2019 PT. Asuransi Jiwasraya berpotensi mengalami kerugian sebesar Rp 13,7 triliun.
Potensi kerugian tersebut timbul, karena adanya tindakan yang melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik yakni terkait dengan pengelolaan dana yang berhasil dihimpun melalui program asuransi JS Saving Plan.
Baca juga: Menyoal Hengkangnya Raksasa Tesla
Apa itu PA JS Saving Plan?
Pada tahun 2013 dengan bangga Jiwasraya memperkenalkan produk barunya yang bernama “JS Saving Plan”. Yaitu sebuah jenis produk investasi sekaligus asuransi jiwa.
Dalam produk JS Saving Plan ini, Jiwasraya menawarkan proteksi selama lima tahun tetapi memiliki masa investasi satu tahun. Artinya, setiap tahun terdapat klaim jatuh tempo yang harus dibayarkan, kecuali nasabah meminta perpanjangan polis atau roll over.
Namun nantinya, kendati klaim telah dibayarkan masa proteksi personal accident tetap berlangsung hingga tahun kelima.
Tentu ini sebuah tawaran jenis produk yang menyenangkan bagi para investor, mengingat fasilitas yang diberikan bagus, dan nilai return yang lebih tinggi dari pada bunga yang ditawarkan deposito dan obligasi saat itu. Sehingga tidak mengherankan peminatnya sangat banyak.
Adapun Investasi dalam produk JS Saving Plan, di bandrol dengan tarif mulai dari Rp 100 juta hingga Rp 5 miliar untuk setiap polis. Dan nasabah dapat membeli lebih dari satu polis sehingga bisa memiliki nilai polis di atas Rp 5 miliar.
Sehingga di tahun 2017 saja, porsi premi produk JS Saving Plan menyentuh 75,3?ri total premi jiwasraya, dan dapat kita prediksi jumlah preminya pasti mencapai triliunan rupiah juga yang harus dibayarkan Jiwasraya kepada nasabah.
Investor Sembrono Manajemen Jiwasraya
Adapun investasi sembrono yang dilakukan dengan melanggar prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi oleh PT. Asuransi Jiwasraya adalah banyak melakukan investasi pada aset-aset dengan resiko tinggi (high risk) untuk mengejar keuntungan besar (high return) semata.
Seperti penempatan saham sebanyak 22,4 persen senilai Rp 5,7 Triliun dari Aset Finansial, dimana dari jumlah tersebut sebanyak 95 persen dana ditempatkan di saham yang berkinerja buruk, dan hanya 5 persen dana ditempatkan pada saham perusahaan dengan kinerja baik (LQ 45).
Selain itu penempatan Reksadana sebanyak 59,1 persen senilai Rp 14,9 triliun dari aset finansial, dimana 98 persennya dikelola oleh manager investasi dengan kinerja buruk, dan hanya 2 persen nya yang dikelola oleh manager investasi Indonesia dengan kinerja baik.
Persoalan keuangan di PT. Asuransi Jiwasraya kalau kita membaca laporan dari OJK, sudah terjadi sejak lama, namun terjadi pembiaran masif oleh pemilik otoritas di negeri ini, hal tersebut dapat kita lihat dari kronologis masalah di bawah ini:
Baca juga: Kritik, Otokritik Pemerintah atas UU ITE dengan Pasal Multitafsir
- Tahun 2004, perusahaan memiliki cadangan yang lebih kecil dari seharusnya, insolvency mencapai Rp 2,769 triliun.
- Tahun 2006, laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibanding kewajiban.
- Lalu BPK memberikan opini disclaimer untuk laporan keuangan tahun 2006 dan 2007 karena diduga penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya.
- Tahun 2008, defisit nilai ekuitas perusahaan semakin melebar menjadi Rp 5,7 triliun dan Rp 6,3 triliun pada 2009.
- Tahun 2009, mulailah diambil langkah untuk re-asuransi (penyelamatan jangka pendek). Dan langkah tersebut membawa nilai ekuitas surplus Rp 1,3 triliun per akhir tahun 2011. Bapepam-LK meminta agar perusahaan memiliki alternatif penyelesaian jangka panjang.
- Namun perlu kita ketahui jika per akhir 2011, jika skema re-asuransi masih diterapkan maka Jiwasraya masih surplus Rp 1,6 triliun. Namun jika tidak menerapkan skema tersebut, maka Jiwasraya mengalami defisit Rp 3,2 triliun.
- Tahun 2012 Bapepam-LK memberi izin produk JS Proteksi Plan (produk bancassurances dengan Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim dan BPD DIY).
-Tahun 2013, direksi Jiwasraya menyampaikan alternatif penyehatan berupa penilaian kembali aset tanah dan bangunan sesuai dengan standar akuntansi keuangan konvergen IFRS (nilai buku Rp 278,2 miliar), direvaluasi menjadi Rp 6,56 triliun dan mencatatkan laba sebesar Rp 457,2 miliar.
- Tahun 2015 Audit BPK menunjukkan terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang perusahaan di mana laporan aset investasi keuangan overstated (melebihi realita) dan kewajiban understated (di bawah nilai sebenarnya).
- Tahun 2017 OJK memberi sanksi pada perusahaan karena terlambat menyampaikan laporan aktuaris 2017. Laporan keuangan tahun itu masih positif, pendapatan premi JS Saving Plan mencapai Rp 21 triliun, meskipun perusahaan terkena denda sebesar Rp 175 juta.
Baca juga: Kampanye Vaksin Bangkitkan Kesukarelaan, Sanksi Bukan Solusi
- Namun April tahun 2018, OJK dan direksi Jiwasraya mendapati adanya penurunan pendapatan premi karena guaranteed return JS Saving Plan juga turun. Melihat rentetan permasalahan yang terjadi di PT.
Asuransi Jiwasraya yang dibiarkan oleh pemangku otoritas keuangan di republik ini, tentu tidaklah bijak jika kemudian kesalahan dan dosa kolektif pemangku otoritas keuangan dan asuransi, dialihkan juga menjadi beban yang harus ditanggung oleh para nasabah Jiwasraya.
Upaya Restrukturisasi
Upaya pemerintah dalam hal ini kementerian BUMN telah berusaha memperbaiki kinerja perusahaan asuransi Jiwasraya dengan telah melakukan 3 kali perombakan susunan direksi Jiwasraya sejak tahun 2018 guna menyelesaikan ekuitas negatif dan memenuhi kewajiban kepada nasabah Jiwasraya namun tidak juga berhasil.
Setelah audit yang dilakukan oleh kantor akuntan publik Kanaka Puradiredja Suhartono terhadap laporan keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tahun buku 2019 dengan opini WTP atau Wajar Tanpa Pengecualian, memberikan energi pada manajemen Jiwasraya yang menyatakan siap menjalankan rencana strategis melalui restrukturisasi polis.
Adapun pelaksanaan restrukturisasi memiliki dua landasan hukum, yakni Undang-Undang 40/2014 tentang Perasuransian dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 71/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Secara teori restrukturisasi sebuah perusahaan adalah hal yang biasa, karena pada dasarnya pengertian Restrukturisasi perusahaan itu adalah upaya yang dilakukan untuk memperbaiki dan memaksimalkan kinerja suatu perusahaan, sehingga perusahaan tersebut dapat terus berkembang, atau minimal dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
Nah, sampai pada pengertian dan definisi tentu restrukturisasi bukanlah masalah, tetapi dalam konteks persoalan di perusahaan asuransi ini, justru ini menjadi masalah bagi nasabah setia pemilik Polis Jiwasraya.
Adapun rencana strategis yang akan diimplementasikan ke dalam program restrukturisasi direncanakan akan dimulai Agustus 2020 lalu, apabila mendapat konfirmasi pendanaan dari pemegang saham.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan posisi aset perusahaan di akhir 2019 tercatat sebesar Rp 18,13 triliun. Sedangkan posisi kewajiban pada tahun buku 2019 berada di angka Rp 52,74 triliun, dengan nilai ekuitas tercatat minus Rp 34,61 triliun, sehingga angka tersebut jika ditambah sampai dengan bulan Maret 2021 ini, tentu jauh lebih besar lagi.
Dari data laporan keuangan ini, kita dapat melihat bahwa tingginya liabilitas Jiwasraya karena produk-produk masa lalu yang tidak mencerminkan produk asuransi yang wajar karena memberikan garansi bunga tetap yang tinggi dan tidak realistis.
Baca juga: Makna Silaturahmi bagi Jenderal Sigit, Mantan Direskrim Polda Sultra itu
Dilema Restrukturisasi bagi Nasabah
Memang melihat kondisi Jiwasraya saat ini, maka opsi restrukturisasi adalah suatu langkah baik, jika ingin ada kepastian pengembalian aset nasabah, yang diprediksi berkisar antara 60-70%.
Hal ini kemudian diperkuat oleh penyampaian rencana Restrukturisasi oleh Anggota Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya untuk Program Jangka Panjang, Mahelan Prabantarikso, yang juga menjabat sebagai Direktur Kepatuhan dan Sumber Daya Manusia (SDM) Jiwasraya itu menjelaskan dalam menawarkan restrukturisasi kepada pemegang polis, perseroan melihat akan ada tiga kemungkinan yang terjadi.
Pertama, yakni nasabah yang menyetujui restrukturisasi; kedua, nasabah yang tidak menyetujui restrukturisasi. Dan ketiga, nasabah yang tidak mengambil keputusan apakah setuju atau tidak terhadap tawaran restrukturisasi.
jika ada nasabah yang tidak setuju atau tidak merespon restrukturisasi, maka polis mereka akan tetap berada di Jiwasraya sebagai piutang bersama aset dan liabilitas yang tidak bersih.
Penyampaian rencana restrukturisasi kepada nasabah pemegang polis Jiwasraya beraroma ultimatum dengan ungkapan “Anda ikut serta dalam kebijakan Restruturisasi dengan kepastian pengembalian atau tinggal dengan tetap memegang polis jiwasraya dengan Ketidakpastian pengembaliannya.
Padahal menurut pemegang polis asuransi Jiwasraya Saving Plan mengaku tak pernah dilibatkan dalam penyusunan skema restrukturisasi, Bahkan, skema restrukturisasi yang ditawarkan tak dijelaskan secara gamblang kepada para pemegang polis. “Nasabah hanya disodori hasil akhir yang tidak ada satupun opsi yang adil bagi kami.
Persoalannya bukan ikut atau tidak ikut kebijakan restrukturisasi. Berdasarkan release yang disampaikan oleh Forum Nasabah Korban Jiwasraya (FNKJ), kebijakan restrukturisasi ini, selain melakukan pemotongan simpanan dana nasabah sampai 40%, juga dalam restrukturisasi ini, Jiwasraya akan menghentikan pengembalian dana nasabah yang sudah jatuh tempo, dan mengembalikannya melalui cara cicilan sampai dengan maksimal 15 tahun tanpa bunga.
Tentu hal ini sangat berat bagi 5,3 juta nasabah Jiwasraya.
Setelah direstrukturisasi, nantinya polis-polis dari produk baru tadi akan dipindahkan secara bertahap ke IFG Life.
Harapan Para Nasabah
Persoalan gagal bayar asuransi ini haruslah menjadi fokus utama perusahaan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi. Dimana penyelesaian yang diharapkan nasabah adalah diberikan jaminan kepastian kepada nasabah yang ada, bahwa investasi mereka aman dan hak-hak mereka akan dikembalikan sebagaimana mestinya.
Tidaklah etis tentunya, ketika kesalahan pengelolaan oleh manajemen PT.Asuransi Jiwasraya, juga dosa kolektif pengawas dan semua lembaga pemerintah yang punya otoritas mengawasi sektor keuangan dan asuransi tidak dilakukan dengan baik, menjadi beban juga para nasabah.
Juga tidaklah berlebihan ketika para nasabah jiwasraya berharap agar perusahaan tersebut kembali ke khittah nya sesuai dengan misi perusahaan yaitu “Membantu setiap keluarga Indonesia memiliki kepastian perlindungan mewujudkan masa depan yang lebih sejahtera” bukan sebaliknya justru menjadi lembaga yang terpercaya untuk merobek harapan para nasabahnya sendiri. Semoga. (*)