Bahaya, Penutur Bahasa Daerah di Sulawesi Tenggara Makin Turun
Reporter
Rabu, 06 Desember 2023 / 5:00 pm
KENDARI, TELISIK.ID - Bahasa daerah di Sulawesi Tenggara sedang terancam punah akibat jumlah penutur yang semakin sedikit. Kurangnya penutur bahasa daerah bisa ditemukan pada generasi Z (1997-2012) dan generasi Alpha (2013-2025) yang ternyata disebabkan keluarga dan lingkungan sekitar.
Generasi muda di Sulawesi Tenggara, mayoritas sudah kesusahan dalam menuturkan bahasa daerahnya sendiri, baik itu bahasa Tolaki, Buton, Muna Moronene dan lainnya. Mereka hanya mampu memahami arti dari bahasa tersebut.
“Saya tidak lancar, kaya misalkan mau bicara cepat begitu sering tersendat dan tidak cocok kata yang saya pake. Hanya kalau artinya saya tau,” ujar seorang anak muda, Selasa (5/12/2023). Dia juga menyampaikan, teman-temannya juga begitu.
Ia juga mengatakan, tidak pernah mendengar adiknya menggunakan bahasa daerah sama sekali, adiknya kelahiran 2005. Dia kesehariannya hanya menggunakan bahasa Indonesia.
Baca Juga: Assessment Center Polda Sulawesi Tenggara, Seleksi Jabatan Tinggi Pratama Buton Selatan 2023
Kepunahan bahasa salah satu indikatornya adalah penutur yang berkurang. Beberapa hasil penelitian menyatakan, 9 bahasa daerah asli yang ada di Sulawesi Tenggara mulai terancam punah, seperti bahasa Culambacu.
Berdasarkan itu, Telisik, mengunjungi Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara di Jalan Haluoleo Kompleks Bumi Praja, Kota Kendari, Selasa (5/12/2023), yang bertugas melaksanakan pembinaan, pengkajian dan pemasyarakatan bahasa dan sastra Indonenesia di Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan hasil penelitian Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara, melalui kajian vitalitas bahasa, menunjukkan beberapa bahasa daerah di Sulawesi Tenggara memang mengalami kemunduran seperti bahasa Tolaki dan Moronene.
Mengatasi kemunduran tersebut, mengacu pada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara memilik 3 program prioritas. Literasi bahasa dan sastra, pelindungan, penginternasionalan.
“Tahun 2022-2033, kami ada kegiatan revitalisasi bahasa dan sastra daerah dan menyediakan konten pelindungan sekitar 10 atau 11 konten yang melibatkan generasi muda dan anak-anak,” kata Koordinator KKLP Perlindungan dan Pemordenan Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara, Zakiyah M Husbah yang ditemui Telisik.
Kegiatan revitaliasasi tersebut dinilai memberikan dampak positif, dalam meningkatkan animo masyarakat setempat untuk kembali menghidupkan dan melestarikan bahasa daerah mereka.
Lebih lanjut, Zakiyah menambahkan, melalui Badan Bahasa, Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara akan melakuan revitalisasi bahasa daerah khusus satu bahasa daerah pada tahun 2024, yaitu bahasa daerah suku Tolaki yang akan dilaksanakan di 7 kabupaten/kota, seperti di Kabupaten Konawe Utara dan Kolaka.
Menurutnya, tetap saja permasalahan utama penurunan penutur bahasa daerah berada pada keluarga dan masyarakat. Sehingga, di program revitalisasi bahasa derah terdapat 3 model. Model A berbasis umum, model B berbasis sekolah serta model C berbasis keluarga dan masyarakat.
Untuk Sulawesi Tenggara, penerapan revitalisasi bahasa daerah hanya menggunakan model B. Alasannya kerena banyak menjangkau anak sekolahan. Sedangkan model C tidak digunakan karena masih perlu pengkajian.
Baca Juga: Lowongan Kerja Kendari: Toko Damai Cari Karyawan Lulusan SMA, Ini Syaratnya
Sementara itu, berdasarkan penelitian mahasiswa antropologi Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, lingkungan keluarga memiliki peran penting dalam mengajarkan bahasa daerah pada anak-anaknya.
Hasil penelitian, penyebab memudarnya penggunaan bahasa Tolaki oleh remaja. Pertama, faktor luar dan dalam meliputi keluarga, sekolah, dan teman sepermainan. Kedua, mereka tidak diajarkan bahasa daerah sejak dini.
“Kenapa orang hidup di transmigran, tapi bahasa Jawanya hilang. Orang hidup di komunitas Tolaki, kenapa bahasa Tolakinya hilang? Itukan sesuatu yang aneh. Karena ada sesuatu yang lepas. Di dunia pendidikannya pakai bahasa lokal, tapi di lingkungan keluarga tidak dipakai bahasa lokal. Dia selalu pakai bahasa Indonesia, gengsi, itu problemnya,” demikian penjelasan Dosen Antropologi UHO Kendari, Abdu Jalil.
Tambahnya, semua lintas pendidikan itu sebaikanya menggunakan bahasa wajib (daerah). Seperti di Yogyakarta, setiap Rabu atau Jumat menggunakan bahasa daerah Jogja (bahasa Jawa halus). Menurutnya, Kurikulum muatan lokal di Kota Kendari sebaiknya mewakili semua, tidak hanya pada satu bahasa daerah saja, karena masyarakat Kendari adalah masyarakat multi etnis. (A)
Penulis: Apriadi Mayoro
Editor: Kardin
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS