Buruh Tak Amini Formula Baru Kenaikan Upah Minimum 2026, Minta 10,5 Persen

Ahmad Jaelani

Reporter

Sabtu, 01 November 2025  /  9:40 am

Buruh menolak formula baru kenaikan upah minimum 2026 dan menuntut kenaikan hingga 10,5 persen. Foto: Repro Antara.

JAKARTA, TELISIK.ID - Di tengah pembahasan pemerintah mengenai formula baru penentuan upah minimum tahun 2026, kalangan buruh menegaskan sikap menolak.

Mereka menilai rumusan yang ditawarkan Kementerian Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan dasar hukum yang berlaku dan justru berpotensi menekan kenaikan upah pekerja.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menjelaskan bahwa tuntutan buruh agar upah minimum 2026 naik di kisaran 8,5% hingga 10,5% bukan tanpa dasar.

Menurutnya, perhitungan tersebut telah mempertimbangkan variabel ekonomi yang diatur dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kalau merujuk kepada angka-angka yang sudah keluar, inflasi 2,65%, pertumbuhan ekonomi 5,12%. Tambahin saja. 5,12 tambah 2,65, ketemunya di 7,77%. Jadi sudah bener kan?” ujar Said Iqbal dalam konferensi pers di JCC Senayan, Jakarta, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Sabtu (1/11/2025).

Ia menegaskan bahwa dasar hukum perhitungan itu mengacu pada putusan MK Nomor 168 Tahun 2024 yang menyebutkan hanya ada tiga variabel penentu kenaikan upah minimum, yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.

“Nggak ada formula baru. Ngawur itu Menteri Ketenagakerjaan, nggak ngerti masalah. Baca undang-undang dulu deh. That’s right, titik, gak pakai koma,” tegasnya.

Baca Juga: TMT di Kontrak Kerja Paruh Waktu 2025, Begini Penjelasannya

Said Iqbal menolak konsep baru dari Kementerian Ketenagakerjaan yang memasukkan indeks tertentu antara 0,2 hingga 0,7 dalam rumus kenaikan upah. Ia menilai angka tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan bisa menurunkan nilai kenaikan upah secara signifikan.

“Menaker membuat rumusan formula inflasi dan pertumbuhan ekonomi, tapi indeks tertentunya 0,2 sampai 0,7. Kami menolak total itu,” katanya.

Ia kemudian memberi contoh, bila pemerintah menggunakan indeks 0,2, maka kenaikan upah buruh hanya sekitar Rp50 ribu.

“Kalau pake 0,2, kalian tahu naiknya berapa? Rp50 ribu. Enak saja dia bikin upah kita seenak udelnya. Kalau pakai 0,3, sekitar Rp75 ribu lah,” ucapnya.

Lebih lanjut, Iqbal menyebut perhitungan KSPI dan Partai Buruh mengikuti dasar hukum yang berlaku sekaligus mempertimbangkan kondisi ekonomi riil.

“Saya waktu itu ngitung pakai asumsi inflasi 3,26?n pertumbuhan ekonomi 5,2%, ketemunya 8,46%. Kalau dibulatkan jadi 8,5%, itulah muncul 8,5%. Tapi ternyata inflasinya 2,65%, pertumbuhan ekonominya 5,12%, jadinya 7,77%. Jadi wajar kalau tuntutan kami di kisaran 8,5% sampai 10,5%,” jelasnya.

Ia juga menambahkan bahwa usulan kenaikan hingga 10,5% mempertimbangkan daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, seperti Maluku Utara.

“Di provinsi tertentu ada pertumbuhan ekonominya empat kali pertumbuhan ekonomi nasional. Maluku Utara itu 30,12%. Jadi kami pakai indeks tertentunya 1,4,” ujarnya.

Menurut Iqbal, formulasi yang diajukan KSPI dan Partai Buruh justru sejalan dengan arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang ingin menjaga daya beli masyarakat.

Baca Juga: Penetapan Tarif Listrik Semua Golongan Awal November hingga Akhir 2025, Berikut Rinciannya

“Kami percaya bapak presiden menginginkan daya beli masyarakat naik. Kalau upah rendah, siapa yang beli barang? Kalau konsumsi turun, pertumbuhan ekonomi juga turun,” katanya.

Dengan demikian, ia menegaskan bahwa usulan kenaikan upah minimum sebesar 8,5% hingga 10,5% merupakan hasil kalkulasi ekonomi yang realistis dan berpijak pada data, bukan tuntutan emosional.

“Itulah yang saya sampaikan ke Mensesneg dan Pak Sufmi Dasco. Kita nggak akan pakai angkanya Pak Luhut. Kita pakai hitungan yang benar,” pungkasnya. (C)

Penulis: Ahmad Jaelani

Editor: Kardin

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS