Dagelan Politik PDI Perjuangan
Kolumnis
Sabtu, 16 Januari 2021 / 3:12 pm
Oleh: Efriza
Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP)
PUBLIK dibuat keheranan sekaligus kagum dalam beberapa hari lalu. Ketika salah satu anggota DPR dari partainya pemerintah menyatakan menolak divaksin.
Esok paginya, Presiden Joko Widodo memberikan bukti nyata kepada masyarakat, ia menjadi orang pertama yang disuntikkan vaksin Sinovac untuk mengatasi pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung selama 10 bulan di Indonesia.
Tak cukup di situ, publik pun dikejutkan oleh rilis media dari PDI Perjuangan yang mencoba meluruskan maksud dari pernyataan anggota DPR tersebut, yang poin intinya ini adalah yang terjadi di DPR adalah bentuk pengawasan legislatif.
Dari berbagai peristiwa ini menimbulkan pertanyaan di benak publik, apa yang diinginkan oleh PDI Perjuangan? Apakah PDI Perjuangan tidak lagi solid sebagai pendukung pemerintah?
Partai Tak Berani Ambil Risiko
Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah anggota dari PDI Perjuangan, ia terpilih karena diusung oleh partai itu. Meski kita menerapkan sistem multipartai, tetapi partai pengusung calon presiden, utamanya partainya Joko Widodo tetaplah PDI Perjuangan.
Jokowi juga menunjukkan dalam beberapa statement dan perilakunya bahwa ia adalah petugas partai.
Sifat dukungan konstituen terkait anggota partai di Indonesia masih berkarakter bahwa keanggotaannya menggantung ke atas.
Artinya sudah lumrah diketahui publik bahwa anggota partai tidak memegang peran penting dalam pengambilan keputusan dan kebijakan partai (Warsito Ellwein, 2011), kecuali penentuannya oleh segelintir elite partai.
Elite partai ini acapkali tidak digambarkan para pimpinan di semua lini hirarki partai, pun begitu tidak seluruh anggota DPR dianggap elite partai. Sebab sifat keanggotaan partai, bukan berdasarkan jenjang karier, merit system, tetapi lebih kepada siapa yang dapat memengaruhi, dekat dengan elit partai, utamanya ketua umum partai.
Baca juga: Menjadi Kapolri Bukan Coba-Coba
Ketua umum partai di kepartaian Indonesia masih dianggap simbol identitas nomor satu dari partai politik itu sendiri, sehingga acapkali tak dapat diprotes, diganti, meski dalam niat sekalipun.
Berbagai alasan dihimpun mengokohkannya seperti karena ia dianggap figur kharismatik, figur persatuan, figur masa lalu, hingga ia adalah yang punya partai itu, maka tak ubahnya dengan perusahaan.
Wajar jika anggota DPR tak berani bicara ke publik atas nama konstituen daerah pemilihannya, atas nama rakyat. Rakyat penafsiran yang tak jelas dalam kepentingan politik, karena rakyat berwajah banyak, rakyat akhirnya anonim.
Sebenarnya istilah rakyat buat wakil rakyat sendiri hanya benar-benar ada saat pra dan pasca pemungutan suara, selepas pemilihan umum maka kepentingan berikutnya mereka sepenuhnya sebagai miliknya partai.
Wajar akhirnya, suara-suara di Senayan ditentukan oleh suara partai. Jika belum ada arahan partainya, maka dengan bahasa klise, wakil rakyat akan berkata misal, belum dapat arahan partai, nanti coba dikomunikasikan dulu ke DPP, belum dapat menjawab karena belum ada perintah partai, dan sebagainya.
Begitu juga, seorang presiden di republik ini, benar-benar taat pada partainya, bahkan lebih memikirkan dukungan politik dibandingkan dukungan elektoral, utamanya presiden yang hanya petugas partai.
Presiden pun tak ragu untuk mengajak partai-partai berkumpul sebagai pendukung pemerintah. Kesepakatan itu tentu saja terjadi karena telah mendapat restu oleh petinggi tertinggi dari partai itu.
Anggota DPR memang memiliki kebebasan untuk berbicara, karena memang anggota dewan diwajibkan berbicara untuk menyampaikan pendapatnya. Namun, sangat disayangkan, seringkali apa yang diungkapkan dalam pendapat itu, tidak sepenuhnya murni atas kehendak sendiri. Tentu saja ada garis partai, ada arahan dari partai, bahkan terkadang anggota dewan harus mengikuti instruksi dari DPP partainya.
Dari gambaran ini tentu saja, anggota dewan, anggota partai, langsung tidak langsung dalam berbicara juga ditujukan untuk pencitraan partai politiknya. Namun yang sering terjadi adalah, gerak bandul partai hanya memikirkan popularitas. Dampaknya, ketika mereka berbicara sering bukan substansi yang dibicarakan, melainkan hanya sekadar mengeluarkan uneg-uneg.
Namun, jika kita mengatakan seperti itu, tentu saja, mereka akan tersinggung, dan selalu berdalih ini adalah bentuk pengawasan kami di parlemen, kerja kami dalam melaksanakan fungsi kami sebagai pengawas lembaga eksekutif.
Tetapi mereka acap lupa, kurang update, bahkan mungkin terlalu asyik di gedung mewah, terlalu nyaman pulang ke kampung halamannya dengan alasan reses, sehingga ketika berbicara substansi mereka terlihat terlalu jauh antara yang dibicarakan dengan perkembangannya.
Misal saja, ketika seorang anggota dewan mempertanyakan apakah vaksin digratiskan, jelas-jelas dua atau tiga bulan sebelumnya pemerintah mengatakan vaksin gratis dan diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketika melihat pola pongah dari wakil rakyat, yang sangat memerlukan rasa iba dari masyarakat adalah posisi presiden. Presiden selalu sendiri, partainya, koalisi pendukung pemerintahannya, tak pernah ada yang benar-benar serius mendukung program pemerintah.
Semua dilakukan atas nama popularitas dan elektabilitas. Seperti mengenai vaksin saja, partai yang awalnya mendukung Presiden Joko Widodo untuk membeli vaksin, mendukung penuh dengan bahasa ‘kami siap divaksin,’ bahkan awal tahun, mereka ramai-ramai dari pemerintah, menunjukkan pergantian tahun 2021 disimbolkan sebagai tahun vaksin.
Nyatanya, popularitas lebih dibutuhkan, opera sabun, politik dagelan lebih dibutuhkan, dibandingkan harus menunjukkan partai yang konsisten, komitmen, mendukung sepenuhnya pemerintah, partainya presiden, bahkan berani mengambil risiko, mengambil tanggung jawab, menanggung risiko digugat oleh masyarakat, bahkan terjun bebas dalam elektabilitas sekalipun.
Atas nama rakyat, atas nama pengawasan, atas nama wakil rakyat, atas nama kewajiban berbicara, atas nama di sedung Senayan, atas nama sedang menjalankan tugas sebagai anggota dewan. Mereka senang sekali curhat, tak melihat proses yang sudah dijalankan, tak melihat tahapan.
Standar ganda pun perlu dilakukan, lagi-lagi hanya mengenai popularitas, sehingga mereka lupa memilih kata, kalimat, bahasa yang bisa menunjukkan sikap kesatria, sikap berani mengambil resiko, tak sedang mengaduk-aduk harapan dan perasaan publik.
Contoh kecil saja, ketika seorang anggota dewan, berkata saya orang yang pertama tak mau divaksin, menolak divaksin. Kata itu terkesan biasa saja, tetapi kata itu menunjukkan satu sisi partai tak sepenuhnya mendukung presiden, dan di sisi lain, partai takut elektabilitasnya merosot tajam.
Baca juga: Korupsi Menggurita, Ini Solusinya
Pelajaran dan Sikap Tegas
Pelajaran dari atas nama wakil rakyat, atas nama bersuara untuk rakyat, yang padahal kita dapat mempertanyakan dengan bahasa anak milenial, kemarin ke mana suaramu?
Suaramu keras bukan untuk rakyat tetapi sekadar curhat semata, yang diambil dari banyak kabar beredar. Suaramu hanya untuk pencitraan semata.
Jika, benar wakil rakyat itu benar-benar tegas, benar-benar sepenuhnya mewakili rakyat. Sebagai pendukung pemerintah, partainya pemerintah, partainya presiden Jokowi, sebagai wakil rakyat yang sungguh-sungguh mengedepankan rakyat, kesehatan dan keselamatan rakyat.
Yang bisa disampaikannya jika menunjukkan keseriusan: saya dan mungkin-mungkin teman-teman yang berada di ruangan ini menganjurkan kepada pemerintah untuk menunda pelaksanaan vaksin sampai benar-benar jelas isu-isu yang beredar ini, kami meminta kepada pemerintah untuk melakukan proses evaluasi kembali prosedur yang dilaksanakan oleh pemerintah saat ini, demi untuk kesehatan dan keselamatan rakyat.
Kalimat menolak vaksin, tidak mau divaksin, itu adalah bentuk sikap tak berani mengambil risiko sebagai pendukung pemerintah. Sikap khawatir alamiah manusia, yang mengkhawatirkan risiko dari vaksin itu sendiri.
Tetapi sangat disayangkan sikap tak solid ini tetap dilanjutkan, dengan bahasa koreksi melalui rilis media, bahwa pernyataan itu bagian tugas sebagai wakil rakyat, sebagai bentuk pengawasan. Padahal, dari bahasa itu, jelas untuk tujuan pencitraan semata, tak berani tanggung risiko jika terjadi kegagalan vaksin secara meluas.
Ini menunjukkan lagi-lagi presiden sendiri, ia sunyi di keramaian, ia yang akan menanggung resiko sendiri, citra buruk seolah tanggung jawabnya sendiri atas kerjanya seorang diri.
Akan banyak upaya pembenaran hadir di publik, kita adalah mitra strategis, partai tidak boleh benar-benar manut terus kepada presiden meski partai pengusung pemerintah, parlemen dan eksekutif harus tidak boleh sekamar bareng karena ini adalah sistem presidensial bukan parlementer.
Sayangnya, atas pernyataan, rilis media yang coba menjelaskan dengan terang-benderang, dapat dikatakan sudah telat, masyarakat sudah kembali terbelah, terjadi pro dan kontra, yang menerima dan menolak. Kawan seiringan yang dulu lantang berbicara, kami siap di vaksin, akhirnya menjadi kawan-kawan yang membuat Presiden menjadi penyendiri di tempat keramaian.
Semestinya, jika partai benar-benar serius mendukung pemerintah, maka proses yang telah dijalani harus terus dikritisi, hingga benar-benar program vaksin ini tepat, jika dihari terakhir menuju vaksin dirasa belum sesuai, keamanan dan kesehatan masyarakat tak bisa dijamin, selayaknya merekalah yang lebih dulu menyatakan meminta presiden untuk memundurkan jadwal pelaksanaan vaksin hingga terang benderang mekanisme prosedur yang dijalankannya untuk diketahui masyarakat.
Sekarang, jelas bahwa sikap masyarakat sudah terbelah akibat dagelan politik, tak berani mengambil risiko, demi pencitraan. Rilis media untuk meluruskan sudah membuat kepercayaan masyarakat terhadap program vaksin menurun. Maka yang perlu dilakukan, PDI Perjuangan harus berani mengambil risiko bersama pemerintah, sebagai pendukung pemerintah, utamanya di Senayan, para wakil rakyat seluruhnya dari PDI Perjuangan harus menunjukkan bukti, soliditas, dengan melakukan vaksin secara live, dan transparan.
Jika ini bukanlah dagelan, ini bukan strategi politik merawat citra. Bukankah pandemi covid-19 harus segera diselesaikan, bukankah sebagai pendukung pemerintah, sebagai legislator di Senayan, yang juga turut menyetujui proses ini.
Menunda pun sepertinya sudah tak bijak. Dan, menunda artinya, menunjukkan kegagalan program vaksin, karena Presiden Jokowi sudah memulainya. Jadi, lebih baik selesaikan dengan bukti, wakil rakyat di Senayan berani untuk divaksin. (*)