Setelah Disrupsi, Pandemi COVID-19, What's Next?

Muh. Husriadi, telisik indonesia
Sabtu, 10 Oktober 2020
0 dilihat
Setelah Disrupsi, Pandemi COVID-19, What's Next?
Muh. Husriadi, S.AB, M.AB, Dosen Administrasi Bisnis FISIP UHO. Foto: Ist.

" Oleh sebab itu apa yang kita alami saat ini hanyalah sebuah proses transisi menuju puncak yaitu era democratization atau disebut sebagai era abundance. Era dimana semua serba keberlimpahan dan berbiaya minim sekali. "

Oleh: Muh. Husriadi, S.AB, M.AB

Dosen Administrasi Bisnis FISIP UHO

PERUBAHAN besar dan mendasar terjadi hampir di setiap bidang kehidupan. Kini, cara manusia hidup pun dan menikmati kehidupan sama sekali berbeda dengan era-era sebelumnya.

Mengapa demikian? Sebab dunia hari ini sedang menghadapi fenomena yang kita kenal dengan sebutan disruption (disrupsi), situasi di mana pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear.

Era Disrupsi (Kekacauan)

Dalam era ini, perubahan tidak terjadi secara bertahap seperti orang meniti tangga. Namun, perubahan pada era itu lebih menyerupai ledakan gunung berapi yang meluluhlantakkan ekosistem lama dan menggantinya dengan eksosistem baru yang sama sekali berbeda.

Perubahannya sangat cepat, fundamentalis dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru.

Cristhensen (1997) menerangkan bahwa disrupsi merupakan perubahan besar yang mengubah tatanan. Bagian-bagian fenomena nya antara lain modernitas dan perkembangan teknologi yang pesat sehingga yang sangat merasakan ledakan ini adalah Institusi bisnis (korban) yang terdampak paling cepat.

Puluhan perusahaan besar yang mapan tumbang dalam waktu singkat akibat muncul pesaing baru yang tak teramalkan sebelumnya. Inovasi berkesinambungan tak cukup membuatnya selamat dari ledakan perubahan yang massif dan di luar dugaan ini.

Oleh karena itu, situasi atas fenomena ini merupakan gambaran era disrupsi yang kita sedang hadapi saat ini. Era inipun juga akan mematikan siapa saja yang enggan atau tak siap berubah. Meskipun hal ini terkesan kejam, namun disatu sisi memberikan efek lain yang dapat dinilai bahwa itu positif.

Menurut Rhenaldy (2017) disrupsi memberikan tiga nilai yang tak seutuhnya negatif dan sebetulnya dapat diantisipasi. Pertama, disrupsi akan membuat semua pemain atau cara lama menjadi usang.

Karena itu, korban disrupsi pertama yakni mereka yang tak cepat berubah, selalu menyalahkan pihak lain dan terus membentengi diri dari perubahan. Kedua disrupsi, kendati mematikan incumbents yang tak berubah, akan selalu menciptakan dua jenis pasar dan lapangan pekerjaan baru yang lebih besar, ketiga kesiapan owner sebagai pemilik bisnis untuk memasukkan self disruption dalam strategi bisnis yang akan dijalankan.

Baca juga: Faktor Ekonomi Picu Tingginya Angka Perceraian

Pemicu Metamorfosis Bisnis Itu Bernama Corona

Kini, kita diperhadapkan dengan situasi yang tidak terduga sebelumnya bahwa ini akan terjadi. Saat ini, seluruh dunia terdampak oleh pandemi COVID-19. Virus corona membuat 35,38 juta manusia di dunia terpapar (COVID-19 Dashboard by the Center for Systems Science and Engineering (CSSE) at Johns Hopkins University (JHU)" Retrieved 5 October 2020), memorakporandakan kegiatan ekonomi, mendisrupsi bisnis dan industri, juga kebiasaan-kebiasaan manusia.

Virus tersebut menjadi pemicu krisis kesehatan dan ancaman resesi ekonomi global hari ini. Setelah diumumkan sebagai pandemi global, dunia seakan-akan berhenti bernapas (stop breathing) dan merubah jalan hidup tidak terkecuali bisnis.

COVID-19 seakan menjadi penyebab transformasi bisnis. Hal ini memberikan gambaran bahwa perubahan sedang terjadi. Dengan terjadinya revolusi industri 4.0 mendorong proses perubahan menjadi semakin cepat tetapi dengan kehadiran pandemi COVID-19 seolah memberi jeda.

Namun sesungguhnya mengubah perilaku manusia sampai kepada aspek the most basic. Mulai dari proses kerja, strategi bisnis hingga hal-hal paling mendasar seperti interactions change. Tidak semua siap dan kebanyakan tidak siap, namun itulah realita hari ini yg perlu dihadapi bersama.

McKinsey & Company dalam laporan analisisnya bahwa setidaknya bisnis akan mengalami tiga metamorfosis ketika mengalami krisis: (1) depth of disruption, (2) length of disruption, dan juga (3) recovery  (https://www.mckinsey.com, 5 Oktober 2020).

Metamorfosis pertama depth of disruption atau kedalaman disrupsi dalam artiannya adalah seberapa besar hal-hal yang berubah saat terjadi wabah. Sebagai contoh, perilaku orang-orang tidak lagi bepergian untuk berwisata ataupun sekedar mencari makan, pengurangan waktu kerja, efisiensi barang-barang yang digunakan sehari-hari.

Metamorfosis kedua adalah length of disruption, artinya berapa lama perubahan disrupsi itu terjadi? berapa lama karyawan akan cuti karena lockdown? dan berapa lama orang-orang akan menganggur karena kehilangan pekerjaan?

Jika dilihat dari segi grafik volatility yang semakin panjang, atau pelunasan kredit yang diperpanjang oleh Otoritas Jasa Keuangan maka pada akhirnya bisnis akan mengalami recovery. Pemulihan bisnis terjadi perlahan.

Baca juga: Haruskah Ketidaksabaran Berakibat Si Buah Hati Terbunuh?

What's Next Era?

Di tengah ramainya kegiatan bisnis yang terdisrupsi dan saling mendisrupsi saat ini, maka kita diperhadapkan dengan pertanyaan what's next? Pada fase ini, tentu tidak mudah untuk menguraikan nya.

Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan ini maka dimulai dari tesis Ray Kurzweil (2004) the law of accelerating returns, menguraikan bahwa law of moore tidak hanya berlaku dalam 50 tahun terakhir, namun polanya telah hadir sejak 120 tahun terakhir, di mana teknologi bergerak secara eksponensial.

Dalam sebuah artian bahwa akselerasi prosesor komputer, daya tampung hard disk, serta segala hal yang disentuh keajaiban teknologi informasi, berlipat ganda dalam setiap 18 bulan, atau jadi lebih murah setengahnya.

Hal ini senada dengan kajian ilmiah Peter (2012) yang tertuang dalam tulisan Abundance: The future is better than you think, bahwa kemajuan teknologi secara eksponensial ini melalui 6 tahapan yang dikenal dengan istilah 6D of Exponential Growth", yakni antara lain: (1) Digitalization yakni transformasi dari analog menuju digital di hampir semua sektor.

(2) Deception yakni banyak orang terlena karena awalnya kelihatan pelan dan cuma riak-riak kecil, sampai pertumbuhan eksponensialnya menyentuh "knee of the curve" alias "titik lejit", (3) Disruption yakni titik lejit menjadi reaksi atom yang mengguncang kemapanan. Ini yang sedang kita ributkan sekarang dan bikin banyak orang dan perusahaan panik.

Namun, ini hanya fase transisi menuju 3D terakhir, (4) Dematerialization yakni semua produk kehilangan wadah fisik untuk ditransfer di "Cloud" alias awan digital tak bertepi, (5) Demonetization yakni di dalam "awan digital atau cloud", tempat menyimpan segala hal itu, hampir semua biaya jadi turun drastis.

Buku, musik, film, ilmu, informasi, komunikasi, dan lain-lain, tiba-tiba jadi membludak volumenya dan makin lama makin murah harganya, (6) Democratization yakni pada puncaknya, karena semua serba berkelimpahan dan berbiaya minimal sekali.

Hal inilah yg mabawa kita pada peralihan era baru yang dimulai dari Disruption era menuju Abudance era (keberlimpahan) atau juga kita kenal dengan istilah Gigi Economy, atau Era Colaborative Consumtion.

Baca juga: Pilkada dalam Paradigma Proses vs Hasil

Era Abudance, Gig Economy, dan Colaborative Consumtion

Saat ini merupakan era revolusi industri 4.0. yakni era dimana semua serba cepat dan serba canggih sehingga masyarakat dapat mengakses informasi dengan cepat dan dimana saja.

Terdapat empat prinsip era revolusi industri 4.0 yakni interkoneksi, transparansi informasi, bantan teknik serta keputusan terdesentralisasi. Sedangkan era abudance ditandai dengan beberapa faktor yakni digitalisasi, deception, disrupsi, dematerilization, demonetization, democratization oleh Peter, (2012).

Oleh sebab itu apa yang kita alami saat ini hanyalah sebuah proses transisi menuju puncak yaitu era democratization atau disebut sebagai era abundance. Era dimana semua serba keberlimpahan dan berbiaya minim sekali.

Meskipun sebenarnya saat ini, era keberlimpahan (abundance) atau dikenal juga dengan istilah gig economy, collaborative consumtion atau free/sharing economy, semuanya serba berkelimpahan dan berbiaya minimal sekali telah kita rasakan misalnya saja, kirim surat gratis (email), telepon interlokal gratis (whatsapp call), sekolah gratis (khan academy), kuliah gratis (coursera).

Buku gratis (pdfdrive.net), film dan musik gratis (youtube), rekaman ceramah, seminar, dan pelatihan gratis (youtube), desain gratis (cpanva), main game gratis, kumpul-kumpul ngobrol bareng 50 orang dari segala penjuru dunia gratis (zoom), Penginapan gratis (couchsurging), dll.

Namun, kegratisan (atau minimal harga murah sekali sehingga terjangkau untuk semua orang) tersebut hanya sebagian kecil saja karena lama-kelamaan akan menular ke segala bidang yang lain, terutama energi, air, makanan, barang-barang, transportasi, dan kesehatan.

Oleh karenanya free economy akan meliputi segala hal saat terjadi yang disebut era singularity, yaitu saat kecepatan proses komputer seharga US$1000 sudah menyamai kemampuan proses otak manusia (10 terabyte/detik). Ray Kurzweil, (2004) dalam prediksi ilmiahnya sejauh ini 126 dari 150-an terbukti, memprediksikan momentum besar era abundance (singularity) ini akan terjadi sekitar 2035 sampai 2040.

Dengan demikian, saat itu terjadi, maka  jenis pekerjaan yang ada saat itu 65?lum dijumpai sekarang. Robot dan komputer (AI) mengambil alih 50% pekerjaan otot dan otak manusia. Maka manusia jadi bisa fokus ke pekerjaan-pekerjaan yang lebih bermartabat yang menggunakan advanced brain (kreativitas, dll) beserta  nilai-nilai sosial serta hati dan jiwa (kecerdasan emosi, sosial, dan spiritual) yang tidak dimiliki robot & AI.

Atau dengan menggunakan Neural-link, kemampuan otak kreatif kita yang bisa kita bikin merger dengan kemampuan superkomputer yang terhubung langsung ke otak. Era disrupsi yg penuh gejolak ini adalah era transisi yg harus diterima dengan semangat dan optimisme menuju era abundance. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga