Efektivitas Pengawasan Tahapan Pemilu
Penulis
Sabtu, 03 April 2021 / 7:38 am
Oleh: Hidayatullah, SH
Ketua Presidium JaDI Sultra/Praktisi Hukum
TAHUN 2020 adalah tahun yang sangat menentukan bagi bangsa Indonesia terutama berkaitan dengan penyelenggaraan Pilkada 2020 lalu.
Apakah di tengah-tengah bencana nasional non alam dalam status daruat kesehatann akibat pandemi COVID-19 yang juga dampaknya ikut memperburuk situasi ekonomi bangsa, Pilkada di 270 daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dapat terlaksana.
Sementara di Provinsi Sultra terdapat tujuh kabupaten yang menyelenggarakan Pilkada 2020 lalu.
Apakah kisah sukses Pilkada 2020 hanya sekadar kejutan di masa kedaruratan kesehatan, ataukah benar-benar bukti bahwa Indonesia memang serius melakukan konsolidasi demokrasi pada tingkat lokal.
Tentunya Pilkada 2020 jelas sangat berbeda dengan Pilkada sebelumnya baik dari aspek teknis penyelenggaraan terutama aspek regulasi mengalami perubahan disesuaikan dengan penerapan protokol kesehatan COVID-19.
Dari aspek UU, Presiden Joko Widodo, karena keadaan genting dan memaksa akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU(Perppu) No. 2 Tahun 2020 yang saat ini telah diundangkan menjadi UUNo, 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 1 Tahun 2015.
Perppu No. 2 Tahun 2020 itu lahir untuk melanjutkan tahapan Pilkada yang sempat tertunda selama tiga bulan sehingga berkonsekwensi pemungutan suara semula 23 Seprember 2020 bergeser menjadi 9 Desember 2020.
Itulah kenapa Pilkada 2020 disebut Pemilihan Serentak Lanjutan (PSL), karena adanya bencana non alam sehingga mengakibatkan tertundanya sebagian tahapan penyelnggaraan Pilkada dan kemudian dilanjutkan kembali.
Kompleksitas pelaksanaan Pilkada 2020 secara teknis menyesuaikan dengan protokol kesehatan COVID-19. Awal-awal penerapannya menimbulkan polemik nasional karena pada masa pendaftaran dan deklarasi pasangan calon banyak aturan protokol kesehatan COVID-19 dilangggar.
Belum lagi terdapatnya sejumlah jajaran penyelenggara Pilkada terkmasud KPU dan Bawaslu pusat sampai daerah serta peserta Pilkada terkonfirmasi positif COVID-19. Sehingga di tengah-tengah penyelenggaraan Pilkada harus menjalani proses isolasi mandiri selama 14 hari.
Tetapi sungguh di luar dugaan, justru Pilkada 2020 tidak melahirkan kluster Pilkada yang dikhawatirkan sejumlah pihak sejak perdebatan apakah Pilkada 2020 dilanjutkan atau ditunda sampai masa pandemi berakhir.
Sungguh patut diapresiasi bahwa Pilkada 2020 justru dapat dijadikan momentum bagi penyelenggara Pilkada, pemerintah, partai politik, peserta maupun pemilih itu sendiri untuk mengendalikan penyebaran dan pencegahan COVID-19.
Tentu saja sebuah perkerjaan yang menguras tenaga penyelenggara Pilkada maupun peserta itu sendiri dalam kurung waktu tahapan penyelenggaraan berkutat memikirkan bagaimana Pilkada bisa sukses di tengah tuntutan kepatuhan terhadap protokol kesehatan COVID-19.
Publik pasti banyak yang melihat hasil akhir tetapi bagaimana semua proses itu berjalan, maka hanya akan ditemukan ceritanya dari mereka yang melaksanakan dan termaksud praktisi Pemilu yang setia merekam jejak-jekak Pilkada 2020 masa pandemi.
Dalam diskusi: Evaluasi Pengawasan Pemilu/Pemilihan Tahun 2020 yang digagas Bawaslu Provinsi Sultra, dengan topik yang diberikan kepada kami selaku pihak pemantau Pemilu/pemilihan yakni “Efektifitas Pengawasan Tahapan Pemilu dan Daftar Pemilih Berkelanjutan dari Presfektif Pemantau Pemilu."
Maka tentu saja bukan hanya evaluasi menyangkut pengawasan Pilkada 2020 tetapi juga menyangkut Pemilu 2019 lalu. Topiknya pun lebih mengerucut kepada efektifitas pengawasan Bawaslu berkaitan dengan daftar pemilih berkelanjutan baik Pemilu maupun pemilihan.
Tentunya, sebagai pemantau Pemilu akan mengelaborasi sejauh mana potret yang dilakukan Bawaslu dalam mengawasi proses pemutakhiran daftar pemilih sepanjang Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, serta seperti apa kompleksitas penegakan hukum data pemilih, urgensi pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan serta kendala dan harapan.
Maka sebagai pemantau pemilu, kita bisa melacak kembali seperti apa kasak-kusuk daftar pemilih yang selalu menjadi problem klasik demokrasi kita disaat menjelang hajatan Pemilu/pemilihan. Bagaimana pula realita partisipasi publik terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan daftar pemilih tersebut.
Penting dilakukan evaluasi terus-menerus terhadap masalah yang muncul dalam pemutkahiran data pemilih yang selalu menjadi batu kerikil di Pemilu dan Pilkada. Tidak hanya terjadi di tingkat nasional, melainkan juga di semua daerah. Ada banyak yang perlu dikoreksi, dan setiap moment Pemilu/pemilihan cukup banyak pelajaran yang bisa dipetik.
Baca juga: Provokasi Jabatan Presiden Tiga Periode
Kilas Balik Implementasi Kebijakan
Pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan implementasi kebijakan pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan adalah bagian dari terobosan yang dilakukan KPU RI sejak tahun 2016 disebabkan sengkarut data pemilih baik Pemilu 2014 maupun Pilkada serentak pertama kalinya tahun 2015.
Problematika data pemilih menghiasi perdebatan yang mengemuka baik di media massa online, cetak maupun elektronik. Pada masa itu penulis sebagai komisioner (ketua KPU Sultra periode 2013-2018).
Untuk mengantisipasi problem data pemilih tersebut melalui Divisi Data dan Informasi KPU RI, Ferry Kurnia Rizkiyansyah mencetuskan ide kelembagaan yang sudah menjadi pembahasan penting di interen KPU adalah pentingnya melahirkan kebijakan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan sebagai proses memperbaharui data pemilih guna memudahkan proses pemutakhiran daftar pemilih pada Pemilu/pemilihan selanjutnya.
Atau dapat didefinisikan pula sebagai proses pengumpulan data perubahan melalui lembaga/badan melalui koordinasi dan kerjasama serta langsung dari masyarakat. Implementasi kebijakan pemutakhiran daftar pemilih diperuntukkan pertama, memperoleh data yang akurat, mutakhir, komprehensif, inklusif. Kedua, memelihara data secara kontinyu serta ketiga, terkoordinasinya data dengan dinas terkait.
Walau kebijakan itu awalnya belum didukung oleh regulasi baik Undang-undang maupun PKPU, tetapi agar memiliki landasan dan dasar hukum untuk implementasi kebijakan pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan maka tanggal 13 Oktober 2016 dilakukan MoU/nota kesepahaman antara Menteri Dalam Negeri RI dengan ketua KPU RI tentang Kerjasama Pemanfaatan NIK, Data Kependudukan dan KTP Elektronik dalam Lingkup Tugas Komisi Pemilihan Umum.
Pihak Kemendagri pada saat itu sangat mendukung MoU tersebut dikarenakan selain bersama KPU mempersiapkan 101 daerah yang akan Pilkada serentak kedua tahun 2017, juga nota kesepahaman (MoU) dilandasi UU No. 24 tahun 2014 perubahan UU 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang diantaranya menyatakan data kependudukan Kemendagri yang bersumber dari data kependudukan kabupaten/kota merupakan satu-satunya data kependudukan yang digunakan untuk semua keperluan, termaksud pelayanan publik dan pembangunan demokrasi.
Seiring perjalanan waktu urgensi pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan ini kemudian diakomodir dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada pasal 201 butir (8) menyebutkan bahwa pemerintah memberikan data kependudukan yang dikonsolidasikan setiap 6 (enam) bulan kepada KPU sebagai bahan tambahan dalam pemutakhiran data pemilih.
Lebih lanjut juga pada pasal 204 menyebutkan bahwa KPU kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data Pemilih berdasarkan daftar pemilih tetap Pemilu terakhir yang dimutakhirkan secara berkelanjutan yang diselesaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya data penduduk potensial pemilih Pemilu.
Maka, dengan demikian upaya kerjasama antar institusi menjadi sangat penting untuk mendapatkan data pemilih yang mutakhir, akurat dan komprehensif dalam upaya menjamin hak politik masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya di hari pemungutan suara.
Baca juga: Angka Kemiskinan Meningkat, Rakyat Butuh Perhatian
Urgensi Data Pemilih Berkelanjutan
Dalam mengukur seberapa sukses dan berkualitasnya penyelenggaraan Pemilu/pemilihan maka tolak ukur sebagai penentu awal adalah data pemilih. Karena data pemilih adalah bagian dari gambaran dari efektifnya penyelenggara Pemilu bekerja untuk melayani hak konstitusional warga negara yang dapat menggunakan hak pilihnya di hari pemungutan suara. Maka setidaknya kualitas daftar pemilih dapat memenuhi 3 (tiga) kualitas data, yakni mutakhir, akurat dan komprehensif.
Data pemilih yang mutakhir menggambarkan kondisi kekinian pemilih yang terus menerus diperbaharui untuk digunakan pada pemungutan suara. Terkait data yang akurat adalah data yang menggambarkan kebenaran data pemilih secara jumlah dan akurasinya yang memotret kondisi ril kekinian yang ada di masyarakat pemilih.
Ini dilakukan dengan melakukan perbaikan elemen data terhadap data pemilih, serta penambahan atau pengurangan data yang memenuhi ketentuan persyaratan sebagai pemilih. Sedangkan, data yang komprehensif menggambarkan data pemilih yang memuat seluruh WNI yang memenuhi persyaratan diakomodir menjadi pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya di hari pemungutan suara.
Bagi penyelenggara baik KPU dan Bawaslu pasti memiliki pengalaman dari Pemilu ke Pemilu maupun Pilkada, di mana usaha perbaikan data pemilih ini terkadang hanya dilakukan selama satu bulan dengan melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) lapangan oleh petugas pendaftaran pemilih (PPDP/Pantarlih).
Waktu sebulan itu biasanya digunakan untuk memastikan dari rumah ke rumah, dari satu tempat ke tempat yang lain untuk memutakhirkan data penduduk yang diterima dari pemerintah untuk kemudian ditetapkan menjadi data pemilih secara berjenjang dari tingkat kelurahan sampai tingkat nasional, setelah mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat, pengawas, dan peserta Pemilu.
Waktu sebulan untuk melakukan coklit di lapangan dengan beberapa tipikal tempat menjadi tidak memadai, terutama yang sering dikategorikan grey area. Contohnya lapas/rutan, rumah kost, rumah susun, apartemen, rumah sakit, panti sosial, dan juga tanah sengketa maupun tanah gusuran.
Hal ini terjadi karena mobilitas warga yang tinggi, warga yang sulit ditemui atau dokumen kependudukannya yang tidak tersedia atau tidak lagi sesuai dengan tempat yang ditinggali ketika pemutakhiran data berlangsung.
Demikian pula, limitasi waktu penetapan data pemilih tetap dengan hari pemungutan suara yang memiliki jeda waktu beberapa bulan tidak dapat menggambarkan kondisi kekinian yang sama di hari pemungutan suara.
Pastinya, ada pemilih yang meninggal dunia setiap harinya, yang pindah masuk atau pindah keluar dari wilayah tertentu, berubah status menjadi atau bukan lagi sebagai tentara atau polisi. Oleh karenanya, kenapa penulis menggambarkan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan sebagai upaya penting dalam mewujudkan data pemilih dengan kualitas data yang baik dengan variabel ukuran seberapa mutakhir, akurat, dan komprehensif.
Baca juga: Membaca Ulang Perpres No 10 Tahun 2021
Tantangan dan Kompleksitas Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan
Teknis dan Anggaran Tidak Maksimal. Kendatipun UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu telah mengamanatkan adanya pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan. Dimana agar data pemilih terus mutakhir dan akurat, prosesnya terus- menerus harus dilakukan ada atau tidak adanya Pemilu. Sungguh berbeda dengan Pilkada tidak ada pengaturan dalam UU Pilkada berkaitan dengan pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan.
Meskipun itu UU Pemilu telah mengamanatkan adanya pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan dan bisa berhubungan dengan kebutuhan Pilkada yang terdekat umpamanya, tetapi ternyata tetap saja implementasinya sulit dilakukan.
Penyelenggara pemilu, yakni KPU termaksud di daerah menghadapi tantangan dan hambatan yang serius. Hal ini disebabkan harus ada petugas yang turun langsung ke lapangan. Karena selama ini yang bertugas hanya divisi data dan informasi di tingkat Satker KPU kabupaten/kota melalui layanan Pemutakhiran Data Berkelanjutan (DPB) dengan cara online atau langsung.
Sedangkan petugas lapangan seperti petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP/Pantarlih), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) hanya bersifat adhock dengan masa tugas berakhir pasca Pemilu atau Pilkada. Lalu siapa dan petugas mana yang harus melakukan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan pasca Pemilu atau Pilkada.
Anggaran juga tidak tersedia beserta tenaga pendukung di lapangan selain hanya masa tahapan Pemilu atau Pilkada. Belum lagi kesadaran para pihak antara lain masyarakat pemilih juga sangat kurang dalam melaporkan data kependudukannya. Padahal data kependudukan bersifat dinamis dan selalu bergerak ketika ada penduduk yang meninggal, berpindah domisili, atau menjadi anggota TNI/Polri.
Perbedaan Definisi Pemilih Selain kompleksitas baik teknis dan anggaran juga terdapat ada problem definisi pemilih yang perlu harmonisasi antara UU Pemilu dan UU Pilkada.
Hal yang berbeda dalam definisi pemilih dimana keduanya memang mengatur bahwa hak memilih diberikan pada WNI yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih sudah kawin, atau sudah pernah kawin dan tidak sedang dicabut hak politiknya oleh pengadilan.
Lebih lanjut disebutkan bahwa yang memiliki hak pilih adalah mereka yang memiliki KTP elektronik atau Surat Keterangan Pengganti KTP elektronik yang didaftarkan sesuai dengan alamat tertera di dalamnya.
Namun, dalam UU Pilkada disebutkan bahwa selain pemilih merupakan WNI yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih sudah kawin, atau sudah pernah kawin dan tidak sedang dicabut hak politiknya oleh pengadilan tetapi juga ada tambahan klausul yang bersangkutan tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.
Jika ditemukan pemilih mempunyai lebih dari 1 (satu) tempat tinggal, pemilih tersebut diminta harus memilih salah satu tempat tinggalnya yang dicantumkan dalam daftar pemilih berdasarkan KTP Elektronik dan/atau surat keterangan domisili dari kepala desa atau sebutan lain/ lurah.
Walaupun dalam terminologi yang sama dalam kegiatan elektoral, namun definisi pemilih mengalami perbedaan yang cukup signifikan untuk diaplikasikan oleh penyelenggara.
Tentu hal ini turut pula membingungkan masyarakat karena ketika Pilkada mereka tidak didaftarkan sama sekali terutama bagi mereka yang sedang terganggu jiwa/ingatannya, sementara waktu Pemilu sepanjang mereka berusia 17 tahun ke atas, sudah atau pernah kawin berhak didaftarkan sebagai pemilih.
Ketentuan lain yang juga berbeda adalah penyebutan nomenklatur pemilih pindahan, pemilih tambahan dan/atau pemilih khusus pada kedua kegiatan elektoral tadi.
Katakanlah pada Pilkada ada beberapa macam jenis pemilih terdaftar yang dilayani dengan prosedur yang berbeda-beda, yakni DPT, DPPh, dan DPTb. Sementara pada Pemilu jenis pemilihnya terdiri atas DPT, DPTb dan DPK.
Bagi pemilih tentu saja menimbulkan kerancuan untuk mendefinisikannya di lapangan karena dengan nomenklatur yang sama namun aplikasinya di lapangan berbeda, terutama untuk pemilih pindahan dan pemilih tambahan.
DPT (Daftar Pemilih Tetap) adalah mereka yang terekam sebagai pemilih dalam dokumen yang dimiliki KPU setelah dilakukan serangkaian proses pemuktahiran data pemilih. DPT ini yang ditampilkan biasanya di depan pintu masuk TPS sebagai upaya agar pemilih dapat memastikan apakah dirinya terdaftar dalam TPS yang dimaksud. DPT ini memuat beberapa elemen data sesuai ketentuan, antara lain NIK, Nama, jenis kelamin, status, dan alamat.
Sementara itu pemilih pindahan dengan nomenklatur DPTb pada Pemilu dan DPPh pada Pilkada adalah pemilih yang terdaftar dalam DPT, namun karena alasan tertentu harus menggunakan hak pilihnya di TPS lain. Mereka ini bisa dilayani di TPS tujuan dengan membawa surat pindah memilih yang diurus sendiri ke petugas KPU sebelum hari pemungutan suara.
Kondisi pemilih yang lain disebutkan dengan DPK pada Pemilu dan DPTb pada Pilkada yang memiliki ketentuan yang sama dalam pelayanannya. Yakni pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT namun dengan kualifikasi tertentu dapat menggunakan hak pilihnya di TPS sesuai dengan alamat tertera di KTP elektronik/surat keterangan pengganti KTP elektroniknya.
Terlihat di atas bahwa dengan nomenklatur yang sama yakni DPTb memiliki arti pelayanan yang berbeda saat menggunakan hak pilihnya di Pemilu dan Pilkada. Demikian pula untuk menyebut pemilih tak terdaftar dalam DPT, dengan istilah DPK pada Pemilu dan DPTb pada Pilkada (yang mana substansi DPTb pada Pemilu adalah DPPh pada Pilkada).
Seyogyanya untuk meneguhkan pelayanan pemilih, penggunaan istilah dan definisi pemilih sebaiknya ditetapkan sama dalam kegiatan elektoral untuk tidak membingungkan penyelenggara, peserta Pemilu dan masyarakat.
Demikian juga untuk pendaftaran pemilih terdaftar sesuai dengan alamat tertera di KTP Elektronik (pada Pemilu) yakni basis de jure atau dipersilakan pada pemilih untuk memilih alamat tempat tinggal yang ditempati ketika coklit atau didaftarkan sesuai alamat tertera di dalamnya, pilihannya bisa de jure atau de facto sesuai dengan identitasnya itu.
Baca juga: Agar Kapolri tak Lagi Berutang Besar
Efektifitas Pengawasan Tahapan Pemilu pada Daftar Pemilih
Jika mengacu UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Bawaslu berwenang melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran data pemilih yang bersifat administratif maupun pidana dalam kerangka Sentra Penegakan Hukum Terpadu.
Pengalaman selama ini menunjukkan, sebagian besar pelanggaran data pemilih masuk kategori pelanggaran administrasi. Bentuk putusan Bawaslu atas pelanggaran ini bisa berupa perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan, teguran tertulis, tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam penyelenggaraan Pemilu, dan sanksi administrasi lainnya.
Semua bentuk sanksi tersebut direkomendasikan Bawaslu Provinsi/Kabupaten/Kota kepada KPU Provinsi/Kabupaten/Kota/PPK/PPS atau peserta Pemilihan yang wajib ditindaklanjuti. Meskipun UU menggunakan kata "wajib", tindak lanjut yang dilakukan oleh jajaran KPU banyak yang tidak jelas, apakah sudah dilaksanakan atau belum/tidak.
Rekomendasi Bawaslu tidak disampaikan ke publik atau minimal disampaikan melalui link website pengawasan bahwa rekomendasi sudah ditindaklanjuti atau tidak oleh KPU.
Bahkan ironinya, ada Pengawas Pemilu terkadang mengamini begitu saja jawaban jajaran KPU tanpa disertai verifikasi dan validasi secara empirik, apakah itu secara manual atau by system.
Baru setelah di kemudian hari ada laporan atau temuan dari Pengawas Pemilu atau masyarakat, atau pengakuan dari jajaran KPU bahwa masih ada masalah terkait data pemilih, Pengawas Pemilu/KPU kembali "teriak" minta penundaan penetapan DPT. Biasanya permintaan perbaikan akan diberikan, sepanjang ditinjau dari sisi waktu memungkinkan atau tersedia (pengalaman Pemilu 2019).
Menyikapi pengaturan perundangan yang dikonstruksi untuk mendesain perbaikan data pemilih menjadi demikian berkepanjangan atau on process going dan sekaligus memproteksi jajaran KPU dari kemungkinan terkena jeratan sanksi administrasi dan pidana, perlu kajian khusus dan terobosan hukum.
Yakni, dengan cara mendekonstruksi pengaturan semacam itu, dan membuat pengaturan penegakan hukum terhadap pelanggaran data pemilih tidak ambigu, jelas, dan applicable.
Tujuannya untuk memberi ruang gerak lebih terbuka dan leluasa bagi jajaran Pengawas Pemilu untuk mengimplementasikan mandat UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang memberikan otoritas kuat dalam penindakan pelanggaran Pemilu, serta menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya.
Langkah ini juga penting untuk mendorong terwujudnya data pemilih yang komprehensif, mutakhir, dan akurat; memberikan kepastian hukum mengenai proses dan jadwal kegiatan pengelolaan data pemilih, termasuk juga untuk kepentingan perlindungan hak pilih setiap warga Negara.
Selama ini dengan elastisitas pengelolaan, penyusunan, dan perbaikan data pemilih membuat sebagian jajaran KPU seperti berlaku easy going karena beranggapan pada akhirnya problem DPT akan selesai.
Sementara, bagi Bawaslu konstruksi hukum pengelolaan data pemilih membuat fungsi pencegahan dan terutama penegakan hukum pelanggaran data pemilih nyaris tumpul. Sedangkan bagi partai politik peserta Pemilu, isu data pemilih baik yang pro dan kontra justru digunakan untuk saling melemahkan dan saling menegasikan, dan bukan untuk mencari jalan perbaikan bersama.
Di atas itu semua, dekonstruksi pengaturan penegakan hukum data pemilih menuntut kemampuan dan kesanggupan Bawaslu untuk merealisasikannya.
Apa bukti penegakan hukum dalam pelanggaran data pemilih oleh Bawaslu dianggap lemah dalam menindak jajaran KPU sampai jajarannya dapat dilihat dalam sekian banyak persidangan di MK dan DKPP, problem dan pelanggaran data pemilih acap kali dijadikan dalil dan bahkan salah satu alat bukti atau argumen untuk memperkuat pengaduan pihak pemohon/pengadu.
Sehingga penyelesaian pelanggaran data pemilih ketika masuk di Mahkamah Konstitusi (MK) atau Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilu (DKPP) menjadi bukan lagi wewenang Bawaslu, melainkan di MK atau DKPP. Akhirnya MK dan DKPP akan menjadi benteng terakhir para pencari keadilan dalam penegakan hukum.
Meski demikian, pokok persoalannya bergeser bukan lagi menyangkut pelanggaran data pemilih. Melainkan, terkait dengan perselisihan hasil Pemilu yang meliputi perselisihan antara KPU dan peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan hasil suara hasil Pemilu secara nasional ataupun pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu. (*)