Gua Liangkabori Muna, Situs Sejarah Peninggalan Manusia Purba yang Dikelilingi Benteng

Sunaryo

Reporter Muna

Minggu, 23 Juni 2024  /  7:19 pm

Lukisan manusia purba di dinding Gua Liangkabori. Foto: Ist.

MUNA, TELISIK.ID –Desa Liangkabori, Kecamatan Lohia merupakan salah satu desa di Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Letaknya, hanya sekitar 10 KM dari pusat Kota Raha ibu kota Kabupaten Muna. Desa yang terbentuk 11 Juli 1997 itu telah ditetapkan sebagai desa wisata pra sejarah.

Liang berartikan gua dan kabori artinya tulisan. Sehingga, Liangkabori diartikan gua yang bertuliskan atau gambar.  

Kepala Desa (Kades) Liangkabori, Farlin mengungkapkan, tulisan atau gambar yang berada di dinding gua dilukis oleh manusia purba sekitar sekitar 9.000-9.500 tahun sebelum masehi. Lukisan tangan itu menggunakan tanah liat dicampur darah binatang dan getah pohon.

Baca Juga: Mengenal Budaya Mansa dari Buton Tengah

Berdasarkan data Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan, terdapat sedikitnya 222 buah gambar baik yang utuh, tidak utuh dan tidak dapat dikenali di gua tersebut.

Lukisan yang menggambarkan aktifitas manusia purba yang terlihat jelas terdiri dari layangan, orang berburu, perahu, matahari, cap tangan, tombak, kalajengking, rusa, kuda, berperang, bercocok tanam dan babi hutan serta orang menerbangkan layangan.

Di Gua Liangkabori, Metanduno dan Sugi Patani banyak terdapat gambar layangan purba dikenal dengan sebutan dalam bahasa lokal (Muna) Kaghati Kolope yang bahannya dari daun umbi hutan (kolope) dan benangnya dari serat nenas yang dipintal.

Dengan adanya lukisan layangan di dalam gua Liangkabori, bukti bahwa layang-layang tertua di dunia berasal dari Pulau Muna.

Selain lukisan-lukisan manusia purba, di sekitar puluhan gua, juga terdapat lima makam raja Muna yakni, Sugi Patani, Sugi Manuru, Sugi Patola, Sugi Ambona dan Sugi Laende. Makam raja-raja itu berbentuk tumpukan batu cadas yang sampai saat ini masih terawat.

Di sekeliling gua dan makam itu pula, terdapat Benteng Loji yang terbuat dari tumpukan batu tebal. Benteng tersebut diyakini sebagai benteng pertahanan dari serangan musuh dahulu kala.

Dengan adanya gua dan ceruk menjadikan Desa Liangkabori sebagai obyek wisata yang ramai dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara.

Di dalam desa, pengunjung dapat menikmati keindahan gua dan perbukitan kars yang sangat indah.

Dari data di desa, setiap bulannya wisatan asing yang datang berkunjung mencapai 20-30 orang. Mereka datang, untuk melihat langsung tulisan-tulisan manusia purba yang berada di dalam gua. Ada juga yang melakukan penelitian.

Pemerintah desa (Pemdes) dan warga sekitar terus melestarikan situs budaya itu. Saat ini, di lokasi telah dilengkapi dengan beberapa gazebo dan replika rumah adat yang dihubungkan jalan setapak.

Untuk terus menarik kunjungan wisatawan, Pemdes setiap tahunnya melaksanakan festival Liangkabori yang jatuh setiap 11 Juli.

Baca Juga: Pesona Gua Lanto, Destinasi Wisata Sakral di Baubau

Di festival itu, menjadi berkah bagi warga sekitar. Banyaknya jumlah pengunjung, membuat warga meraup pundi-pundi dari hasil jualan kuliner, layangan dan tenunan. Tahun 2023 lalu saja, setiap hari, pendapatan warga berkisar antara Rp 2 juta hingga Rp 7 juta.

Agar pengunjung tidak merasa takut saat berkunjung ke dalam gua, telah disiapkan tokoh adat yang akan menemani. Namanya, La Ode Mositunggu.

Kata Mositunggu, sebelum pengunjung masuk ke dalam gua, terlebih dahulu akan dilakuakan acara ritual adat kaago-ago berupa haroa (baca-baca) yang tujuannya mengusir roh-roh halus.

Di ritual itu yang disiapkan berupa rokok Muna, daun siri, pinang, kambewe (makanan yang dibungkua kulit jagung), telur, benang putih dan minuman tradisional kameko. (B)

Penulis: Sunaryo

Editor: Fitrah Nugraha

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS