Heboh Menkes Body Shaming, Sentil Ukuran Celana Jeans Pria 32-33 Diklaim Lebih Cepat Menghadap Allah
Reporter
Kamis, 15 Mei 2025 / 10:16 am
Menkes Budi Gunadi Sadikin, menyentil ukuran celana jeans pria, dikaitkan dengan risiko kematian. Foto: Repro Kompas.
JAKARTA, TELISIK.ID - Pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin kembali menjadi perbincangan publik setelah menyinggung soal ukuran celana jeans pria.
Dalam penjelasannya, Menkes menyatakan bahwa ukuran celana jeans bisa menjadi indikator sederhana untuk menilai kondisi kesehatan, terutama terkait obesitas.
Ia menyebut, pria yang memiliki ukuran celana jeans di atas angka 32-33 berisiko lebih cepat meninggal dunia karena berbagai penyakit.
Dalam kegiatan kunjungan kerja di Rusun Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat, pada Rabu, Budi Gunadi menyampaikan bahwa ukuran celana jeans bisa menjadi indikator awal kondisi obesitas pada seseorang, terutama laki-laki.
Menurutnya, jika ukuran celana jeans pria sudah berada pada angka 34 atau lebih, maka besar kemungkinan individu tersebut sudah masuk kategori obesitas.
“Pokoknya laki-laki kalau beli celana jeans [ukurannya] masih di atas 32-33, ukurannya berapa celana jeans? 34-33. Sudah pasti obesitas. Itu menghadap Allahnya lebih cepat dibandingkan yang celana jeansnya [ukuran] 32,” ucap Budi dalam keterangannya kepada wartawan, seperti dikutip dari Tirto, Kamis (15/5/2025).
Pernyataan tersebut sontak menuai perhatian, mengingat Budi secara langsung mengaitkan ukuran celana dengan kemungkinan risiko kesehatan dan potensi kematian.
Namun, ia menegaskan bahwa apa yang disampaikannya bukan bentuk dari body shaming, melainkan penyampaian fakta berdasarkan data medis dan pengamatan kesehatan masyarakat.
“Saya bukannya body shaming, tapi emang artinya begitu,” ujar Budi menegaskan.
Budi juga menyoroti kecenderungan sebagian masyarakat yang menolak menerima kenyataan bahwa dirinya berada dalam kondisi kesehatan yang tidak ideal.
Menurutnya, banyak orang merasa sehat meskipun memiliki tekanan darah tinggi atau kadar gula darah yang berlebih. Padahal, kondisi semacam ini bisa menjadi cikal bakal munculnya penyakit kronis seperti stroke dan jantung.
“Orang-orang suka bilang, saya enggak apa-apa. Darah tinggi, gula, masih sehat. Bapak Ibu, lima tahun lagi pasti kena stroke. Kita paling banyak meninggal kena stroke sama jantung,” jelas Budi.
Ia menjelaskan bahwa penyakit seperti stroke dan jantung sebenarnya dapat dicegah sejak dini apabila masyarakat melakukan deteksi dan pengendalian terhadap kondisi kesehatan mereka.
Penyakit-penyakit ini berkembang secara perlahan dalam jangka waktu lima hingga sepuluh tahun sebelum benar-benar menunjukkan gejala yang parah.
“Stroke sama jantung itu penyakit yang lima tahun, sepuluh tahun, harusnya udah ketahuan lima tahun sebelumnya. Kalau ketahuan, Bapak enggak bakal kena stroke sama jantung, wafat usia 99,” tambah Budi.
Sebagai upaya pencegahan, Budi mendorong masyarakat untuk memperhatikan tekanan darah dan kadar gula secara rutin. Ia menyarankan warga yang memiliki tekanan darah tinggi agar segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat seperti Puskesmas.
Pemerintah, menurutnya, sudah menyediakan obat secara gratis bagi masyarakat yang membutuhkan.
“Yang mesti dijaga apa? Enggak boleh darah tinggi. Kalau darah tinggi, jangan sok aksi. 120-80 itu tekanan darah [normal]. Kalau tinggi, itu Bapak ke Puskesmas cek, dikasih obat gratis,” ungkapnya.
Tak hanya tekanan darah, kadar gula dalam tubuh juga menjadi fokus perhatian Menkes. Jika kadar gula darah melebihi angka 200, maka risiko komplikasi kesehatan seperti kerusakan ginjal, stroke, dan penyakit jantung akan semakin besar.
Baca Juga: Mahasiswi Seni Rupa Ini Berani Bikin Meme Prabowo dan Jokowi Ciuman, Begini Nasibnya
“Enggak boleh gulanya tinggi. Enggak boleh di atas 200. Kalau di atas 200, [datang ke] Puskesmas dikasih obat gratis, tapi jangan didiemin. Kalau darah tinggi gula didiemin kena ginjal, kena stroke, kena jantung. Wafatnya cepat, 60 tahun menghadap Allah,” kata Budi menjelaskan.
Dalam pernyataan lanjutannya, Budi berharap agar masyarakat Jakarta, dan Indonesia secara umum, dapat memiliki usia harapan hidup yang lebih panjang, minimal di atas usia 74 tahun. Ia menginginkan masyarakat bisa meninggal dalam kondisi yang baik tanpa harus melalui sakit berkepanjangan.
“Semua rakyat DKI itu kalau bisa wafatnya di atas 74. Dan sehat terus. Jadi begitu wafat bisa dipanggil sama Allah enggak pake sakit, besoknya langsung wafat. Jadi nggak usah menderita-menderita, cuci darah lah, enggak bisa jalan kemana-mana, nggak bisa makan ini, enggak boleh makan itu,” ujar Budi. (C)
Penulis: Ahmad Jaelani
Editor: Kardin
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS