Ini Sosok K'Tut Tantri, Perempuan yang Bantu Sebarkan Berita Perjuangan Indonesia Lewat Radio
Reporter
Selasa, 17 Agustus 2021 / 5:41 pm
JAKARTA, TELISIK.ID - Nama lengkapnya Muriel Stuart Walker atau lebih dikenal dengan nama K'tut Tantri.
Ia adalah sosok perempuan berkebangsaan Amerika Serikat yang membantu menyebarkan berita perjuangan Indonesia melalui radio.
Melansir Kompas.com, K'tut Tantri lahir di Skotlandia pada 1898 dan memutuskan pindah ke Bali dari Amerika di usia 34 tahun setelah terpesona film Bali, The Last Paradise, yang ia tonton.
Di Bali, ia diangkat keluarga oleh Kerajaan Klungkung. Tantri menuliskan kisah perjalanannya dalam autobiografi yang berjudul Revolt In Paradise atau Revolusi di Nusa Damai.
"Kau kami namakan K'tut, yang dalam bahasa Bali berarti anak keempat. Segera akan kupanggil pedanda. Menurut adat leluhur kami, kau akan kami beri nama lain, yang akan merupakan nama yang ditakdirkan untukmu," cerita K'tut di autobografinya menirukan kata sang Raja Klungkung, ayah angkatnya.
Hidup di lingkungan Kerajaan Klungkung membuat Tantri mencintai Indonesia. Ia pun banyak membantu perjuangan rakyat Indonesia merebut kemerdekaannya.
Ia juga sempat berpindah-pindah daerah, termasuk di Surabaya dan Yogyakarta.
Pada 10 November 1945 yang kala itu di tengah perang, ia dengan lantang membacakan pidato berbahasa Inggris.
"Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris barangkali aku dapat mengimbangi perbuwatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan," ungkapnya.
"Perwakilan Denmark, Swiss, Uni Soviet, dan Swedia. Kuminta mereka menyertai aku dalam siaran malam itu untuk memprotes tindakan pengeboman serta menyatakan sikap mereka mengenai tindakan Inggris (di Surabaya),’’ tulisnya lagi.
Peristiwa itu membuat K'tut Tantri dijuluki 'Surabaya Sue' atau penggugat dari Surabaya.
Diceritakan pula bahwa Tantri pernah tinggal di Surabaya, tepatnya di pemancar radio gelap yang dikelola oleh Bung Tomo, pimpinan pejuang di Surabaya.
Di radio tersebut, Bung Tomo siaran dua kali setiap malam. Pemancar radio itu bernama Radio Pemberontakan dan lokasi tersembunyi di dalam sebuah rumah besar yang letaknya tidak jauh dari gedung pemancar yang resmi, Radio Surabaya.
Saat itu, Tantri diminta siaran dua kali semalam dalam bahasa Inggris dan menyampaikan laporan perkembangan yang terjadi di Indonesia pada bangsa-bangsa yang berbahasa Inggris di seluruh dunia.
Laporan yang disampaikan tentu saja dilihat dari sudut pandangan bangsa Indonesia.
"Bangsa-bangsa di dunia yang berbahasa Inggris perlu mendengar tentang perjuangan kita. Mereka harus disadarkan bahkan ini bukan revolusi sosial dan pemerintahan kami bukan boneka Jepang," tulis Tantri.
Baca juga: Aditya Prayoga: Pedagang Sabun Pemilik 5 Rumah Makan Gratis dan ATM Beras
"Kau harus bertugas mengisahkan sejarah negara kami, begitu pula perjuangan kami selama empat puluh tahun yang lalu. Kau harus mengingatkan bangsa Inggris dan Amerika pada pidato-pidato para negarawan mereka yang diucapkan semasa perang, yang menjanjikan kemerdekaan semua bangsa di seluruh dunia," tulis Tantri di autobiografinya.
Di Radio Pemberontakan, Tantri juga bertemu dengan Bung Tomo.
"Kemahirannya berpidato hanya bisa dikalahkan oleh Presiden Sukarno, Bagiku jelas, Bung Tomo sangat berbakti pada perjuangannya," ungkap Tantri saat bertemu dengan Bung Tomo.
Saat tak ada siaran, Tantri menghabiskan waktunya dengan melukis dan membuat spanduk untuk para juang. Ia mengutip sejarah Amerika dan Perancis untuk spanduk yang kemudian disebar ke seluruh kota dan desa di Jawa Timur.
Ia bertahan di Surabaya, sementara Bung Tomo melanjutkan siaran pidatonya dari Malang.
K'tut saat itu sangat dianggap berbahaya. Melalui siaran berita, Belanda menjanjikan 50.000 gulden pada orang Indonesia yang bisa menyerahkan K'tut Tantri ke markas besar tentara Belanda di Surabaya.
Sayembara tersebut pun dijawab sendiri oleh Tantri melalui siarannya di radio.
"Kalian tahu, uang gulden Belanda kini tidak laku lagi di Indonesia," kata dia.
"Kami sudah memiliki mata uang sendiri. Tetapi juga Belanda mau menyumbangkan setengah juta rupiah pada Bangsa Indonesia sebagai dana perjuangan kemerdekaan, saya bersedia datang sendiri ke markas besar kalian," tantang Tantri.
Pada November 1998, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra Nararya kepada wanita yang kini bernama lengkap Ni K’tut Tantri.
Penghargaan itu merupakan penghargaan tertinggi kedua yang dia terima bukan hanya karena keterlibatannya dalam Pertempuran Surabaya 1945, melainkan atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai Kementerian Penerangan pada 1950.
Mengutip Independent.co.uk, Tantri kemudian pergi ke Amerika untuk menulis bukunya yang berjudul Revolt in Paradise atau Revolusi di Nusa Damai.
"Kenangan untuk rakyat Indonesia yang begitu mulia memberikan hidup mereka untuk merdeka, 1945-1949 dan bagi mereka yang masih hidup yang akan melihat bahwa pengorbanan mereka tidak sia-sia," tulis K'tut Tantri di halaman pembuka bukunya.
K'tut Tantri kemudian menghabiskan hidupnya di Australia, tepatnya di sebuah panti jompo di Redferd, Sydney, New South Wales.
Di tempat itu juga, K'tut Tantri meninggal dunia pada Minggu malam, 27 Juli 1997, di umurnya yang ke 99 tahun.
Bendera Indonesia dan lembaran kain kuning dan putih khas Bali terhampar di atas petinya. (C)
Reporter: Ahmad Sadar
Editor: Fitrah Nugraha