Kalah Lelang Proyek karena Tak Beri Fee, Kontraktor Curhat di KPK
Reporter Jakarta
Kamis, 07 Oktober 2021 / 2:45 pm
JAKARTA,TELISIK.ID – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Alexander Marwata mengaku pernah mendapat pesan WhatsApp dari seorang kontraktor.
Ia mengaku itu dari salah satu peserta yang kalah saat proses lelang proyek di daerah.
“Saya dapat WA (WhatsApp) dari salah satu peserta lelang di daerah, dia menawar harga paling rendah, tidak menang," kata Alex dikutip dalam webinar Cegah Korupsi di Pengadaan Jasa Konstruksi, Kamis (7/10/2021).
Lebih lanjut, Alexander menceritakan dari penilaian panitia atau ULP (Unit Layanan Pengadaan), katanya harga penawarannya dianggap tidak wajar paling rendah.
“Karena apa. Dia menawar 80 persen di bawah HPS (Harga Perkiraan Sendiri), ada empat penawar harga di bawah 80 persen HPS dan keempat-empatnya tidak lolos dianggap harganya tidak wajar. Yang menang di urutan kelima yang harganya itu Rp 1,5 miliar lebih dibandingkan harga terendah yang ditawarkan,” ujarnya.
Berdasarkan itu, Alexander pun menjelaskan pengalaman di KPK dalam menangani berbagai kasus suap di bidang pengadaan barang dan jasa.
Menurutnya, para pengambil kebijakan memang kerap meminta fee sebesar 5 sampai dengan 15 persen.
“Nah saya tidak tahu, apakah selisih harga yang 1,5 miliar itu untuk menanggulangi atau untuk menutup fee tersebut yang 15 persen. Saya sudah minta koordinator wilayah terkait di KPK untuk mendalami ini,” kata dia.
“Ini fakta-fakta yang sering diungkap oleh KPK saat KPK melakukan penindakan terhadap perkara suap terkait pengadaan barang dan jasa di bidang konstruksi,” lanjutnya.
Alexander juga mengaku sempat menanyakan perihal ketidakwajaran harga itu. Menurutnya, kontraktor itu ternyata sudah memperhitungkan dengan matang termasuk keuntungan bagi perusahaannya.
Namun, pihak swasta itu tidak memperhitungkan pemberiaan fee untuk pengambil kebijakan.
"Saya sempat bertanya, apakah dengan harga terendah itu sudah untung? 'sudah, Pak Alex. Itu sudah kita perhitungkan dengan keuntungan 15 persen tapi memang hitungan kami itu tidak menghitung adanya pemberiaan fee kepada pejabat dan pihak lain. Murni keuntungan perusahaan 15 persen'," ungkap Alex.
Oleh sebab itu, temuan masalah tersebut menjadi persoalan bersama karena tidak menutup kemungkinan banyak perusahaan rekanan dalam pekerjaan konstruksi menambah biaya fee 5 sampai 15 persen di luar keuntungan yang diperoleh.
“Ini fakta yang sering diungkap KPK ketika melakukan penindakan terhadap perkara suap terkait pengadaan barang dan jasa konstruksi,” tegasnya.
Baca Juga: Menteri ATR/BPN Ungkap Praktik Mafia Tanah di Jajarannya
Baca Juga: Mendagri Tito Batal Rapat Bersama DPR Terkait Penetapan Jadwal Pemilu 2024
“Tentu saja kejadian itu sangat mengkhawatirkan kita semua, karena apa? Karena Presiden Jokowi mencanangkan percepatan pembangunan di tiga fokus utama yaitu infrastruktur salah satunya,” pungkasnya.
Selain itu, Alexander mengungkapkan khusus pembangunan infrastruktur memang mengalami peningkatan setiap tahun yang dimuat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
“Kalau kita lihat tahun 2019, anggaran yang dialokasikan untuk infrastruktur di PUPR saja mencapai Rp 119 triliun. Tahun 2020 dikucurkan dana Rp 120 triliun dan tahun 2021 mencapai Rp 150 triliun dengan realisasi anggaran rata-rata mencapai Rp 87 triliun,” ungkap dia.
“Oleh karena itu, dengan adanya korupsi dan kolusi pada pengadaan infrastruktur dan jasa maka percepatan pembangunan yang diharapkan, menjadi tidak optimal dan tentu saja itu akan berdampak pada kualitas pekerjaan yang diadakan,” sambungnya. (C)
Reporter: M. Risman Amin Boti
Editor: Haerani Hambali