Kartini dan Kesetaraan Gender
Penulis
Minggu, 25 April 2021 / 6:29 am
Oleh: Hasni Tagili, M.Pd
Praktisi Pendidikan Konawe
TANGGAL 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Nama Kartini sendiri, oleh kaum feminis, sering dicatut sebagai pejuang emansipasi perempuan. Namun, benarkah demikian?
Kegelisahan hati R.A Kartini tertuang dalam buku yang berjudul Door Duisternis tot Licht (Armijn Pane menerjemahkannya ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’).
Ia prihatin menyaksikan wanita Jawa yang terkungkung kebebasannya untuk menuntut ilmu. Kartini menginginkan hak pendidikan untuk kaum wanita sama dengan laki-laki. Tidak lebih.
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (surat Kartini kepada Prof. Anton dan istrinya pada 4 Oktober 1902).
Menurut Kartini, ilmu yang diperoleh para wanita melalui pendidikan ini sebagai bekal mendidik anak-anak kelak agar menjadi generasi berkualitas.
Bukankah anak yang dibesarkan dari ibu yang berpendidikan akan sangat berbeda kualitasnya dengan mereka yang dibesarkan secara asal? Inilah yang berusaha diperjuangkan Kartini saat itu.
Memang, pada awalnya Kartini begitu mengagungkan kehidupan liberal di Eropa yang tidak dibatasi tradisi sebagaimana di Jawa. Namun, setelah sedikit mengenal Islam. Pemikiran Kartini pun berubah, yakni ingin menjadikan Islam sebagai landasan dalam pemikirannya.
Hal ini terlihat dari komentar Kartini ketika bertanya pada gurunya, Kyai Sholeh bin Umar (seorang ulama besar dari Darat Semarang), “Kyai, selama kehidupanku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk Al Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku.
Maka bukan bualan rasa syukur hatiku kepada Allah. Namun, aku heran tak habis-habisnya, mengapa para ulama saat ini melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran dalam Bahasa Jawa? Bukankah Al Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Selanjutnya di tahun-tahun terakhir sebelum wafat, Kartini menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bergolak di dalam pemikirannya. Ia mencoba mendalami ajaran Islam.
Pada saat Kartini mengkaji isi Al Quran melalui terjemahan Bahasa Jawa, Kartini terinspirasi dengan firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah: 257, “Allah Pemimpin orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir pemimpin-pemimpin mereka ialah Thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya”.
Baca Juga: Masalah dalam Kamus Sejarah
Makna ayat tersebut adalah Allah lah yang telah membimbing orang-orang yang beriman dari kegelapan kepada cahaya (Min adz-Dzulumati ila an-Nur).
Kartini sangat terkesan dengan ayat ini. Dalam banyak suratnya sebelum wafat, Kartini mengulang kata-kata “Dari Gelap Kepada Cahaya”, yang olehnya ditulis dalam Bahasa Belanda Door Duisternis tot Licht. Makna ini kemudian bergeser tatkala diterjemahkan sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Terjadi Distorsi
Refleksi perjuangan Kartini saat ini banyak disalahartikan oleh wanita Indonesia. Mereka berusaha menyaingi laki-laki dalam berbagai hal, bahkan sampai di luar batas kodratnya sebagai perempuan.
Padahal, dalam beberapa suratnya, Kartini menunjukkan perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak dalam pendidikan dan pengajaran, yang juga merupakan kewajiban dalam Islam.
Bukan berjuang menuntut kesetaraan kedudukan secara keseluruhan (emansipasi) antara perempuan dan laki-laki, seperti yang didengung-dengungkan oleh kaum feminis.
Feminisme muncul pada abad ke-19. Gerakan yang berpusat di Amerika Serikat ini berupaya memperoleh kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Mereka memperjuangkannya melalui parlemen, turun ke jalan-jalan untuk melakukan aksi demonstrasi, maupun pemboikotan.
Pada awal abad ke-20, gerakan feminisme di AS difokuskan pada satu isu yaitu mendapatkan hak untuk memilih, karena kala itu wanita disamakan dengan anak di bawah umur yang tidak memiliki hak pilih dalam pemilu. Hingga pada tahun 1948, sejumlah wanita berkumpul di Seneca Fall, New York untuk menuntut hak-hak mereka sebagai warga negara.
Setelah tuntutan itu terpenuhi, gerakan feminisme agak tenggelam hingga tahun 1950-an. Saat itu kedudukan wanita yang ideal sebagai ibu rumah tangga tak pernah digugat, meski sudah banyak wanita yang aktif bekerja di luar rumah sebagai buah revolusi industri.
Pada tahun 1960, isu feminisme berkembang lagi di AS. Tujuannya adalah menyadarkan kaum wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestik (rumah tangga) merupakan hal yang tidak produktif. Kemunculan kembali isu ini karena diilhami oleh buku karya Betty Freidan berjudul The Feminine Mystiquue (1963).
Juliet Mitcher, dalam bukunya Women’s Estate (1971), mengatakan bahwa menjadi Ibu Rumah Tangga itu sama dengan menjadi budak. Tampak gerakan feminis kala itu berkembang menjadi wadah perjuangan untuk membebaskan wanita dari rumah tangga dan membenci laki-laki.
Laki-laki dipandang sebagai figur penindas dan takut disaingi wanita. Gerakan kaum feminis yang mengecilkan arti keluarga relatif berhasil mengubah persepsi terhadap keluarga konvensional pada sebagian besar masyarakat AS.
Perjuangan kaum feminis inilah yang kemudian berusaha ‘disamakan’ dengan perjuangan Kartini. Sejarah perjuangan Kartini telah didistorsi sesuai dengan kepentingan kaum feminis.
Mereka mendorong perempuan meraih kebebasan dan meninggalkan rumah tangganya. Jelas, muslimah telah dijauhkan dari Islam dengan dalih kebebasan, keadilan, dan kesetaraan gender.
Terjadinya distorsi ini disebabkan tiga hal. Pertama, kuatnya pengaruh budaya materialisme yang mengukur segala keberhasilan dalam bentuk materi. Kekuasaan dalam keluarga diukur dari banyaknya materi yang dibawa ke dalam keluarga. Wanita dianggap lebih rendah powernya di dalam keluarga, jika tidak menghasilkan materi (uang).
Kedua, individualisme yang tumbuh subur di masyarakat. Sistem yang ada di Barat telah menempatkan individu sebagai figur yang lebih penting dari kelompok. Individu adalah the center of human action. Menurut paham ini, pekerjaan kerumahtanggaan dianggap sebagai penindasan individu.
Ketiga, teori neoclassical economics yang tidak memasukkan pekerjaan domestik wanita (Ibu Rumah Tangga) dalam perhitungan GNP (Gross National Product). Dengan demikian wanita dengan tugas reproduktif dan domestiknya seolah-olah tidak mempunyai kontribusi apa-apa dalam pembangunan. Miris!
Islam Memandang Kesetaraan
Dalam pandangan Islam, kedudukan pria dan wanita sesungguhnya tidak ada perbedaan secara subtansial. Perbedaan di antara keduanya hanya seputar aspek lahiriah, peran serta fungsinya saja.
Karena pada hakikatnya, makna kata ‘manusia’ dalam Al-Quran tidak terbatas pada jenis dan golongan manusia tertentu, namun ia mencakup seluruh jenis manusia, baik pria maupun wanita, semuanya sama.
Itulah sebabnya Allah SWT lewat firman suci-Nya di dalam Al-Quran Surah Al-Hujurat ayat 13, telah menyampaikan secara tegas dan gamblang bahwa perbedaan kedudukan di antara manusia itu, hanyalah karena takwanya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.”
Baca Juga: Milenial Bicara Politik, Kenapa Tidak?
Dilihat dari sisi insaniah, syariah Islam menetapkan hak dan kewajiban wanita dan pria sama; misalnya shalat, puasa, haji, zakat, menuntut ilmu, dakwah, sangsi dan hudud.
Adapun dilihat dari sisi kodrati, hak dan kewajiban keduanya berbeda; misalnya dalam hal kepemimpinan yang mengandung kekuasaan pemerintahan, kepemimpinan keluarga, kewajiban nafkah, dan jihad diserahkan kepada pria; tidak kepada wanita.
Batas aurat dan waris juga berbeda antara pria dan wanita. Adanya perbedaan ini tidak menyebabkan perempuan lebih rendah dari pada pria. Kedudukan keduanya tetap sederajat, tidak ada yang lebih mulia, kecuali karena ketakwaanya.
Secara biologis, laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Namun, terkait peran dan tanggungjawabnya, Rasulullah SAW tidak melarang perempuan berperan di sektor publik. Ummu Athiyah berkata, “Saya ikut dalam peperangan bersama Rasulullah SAW sebanyak tujuh kali.
Saya tinggal di barak-barak mereka, lalu saya membuat makanan untuk mereka, mengobati yang terluka dan merawat yang sakit.” (HR Muslim). Selain itu, Siti Aisyah ra. menunjukkan kecerdasan ilmu yang tidak jauh berbeda dengan kaum lelaki.
Adapun penetapan hak dan kewajiban wanita dan pria dalam Islam semata-mata untuk kemaslahatan keduanya. Sebab, syariah Islam merupakan pemecahan bagi seluruh permasalahan manusia.
Sehingga, apa yang sudah ditetapkan Allah pasti mengandung kebaikan bagi keduanya (perempuan dan laki-laki), walaupun manusia sering menganggap ketetapan-Nya tidak adil.
Dengan demikian, kekhawatiran Kartini terkait hak pendidikan perempuan tidak perlu terjadi ketika syariah Allah SWT diterapkan secara sempurna dalam sistem pemerintahan Islam. Sebab, dalam Islam tidak ada emansipasi.
Kedudukan perempuan dan lelaki sudah setara. Yang membedakan di antara keduanya hanyalah ketakwaannya saja. Wallahu ‘alam bisshawab. (*)