Korupsi Menggurita, Ini Solusinya
Redaktur Media Sosial
Minggu, 10 Januari 2021 / 4:42 pm
Oleh: Siti Komariah, S.Pd.I
Aktivis Muslimah
KASUS korupsi di negeri pertiwi ini telah menggurita, tak hanya dari kalangan pejabat-pejabat tinggi, namun praktik haram tersebut telah menjalar di berbagai elemen dan daerah. Sebagaimana di daerah Sulawesi Tenggara.
Pada tahun 2020 terdapat 22 kasus tindak pidana korupsi yang ditangani Polda Sultra.
Kapolda Sultra, Irjen Pol Drs Yan Sultra menuturkan, 22 kasus tindak pidana korupsi itu menurun dibandingkan tahun 2019 dengan 33 kasus yang mengalami penurunan sebanyak 66.66 persen dengan penyelesaian sebanyak sembilan kasus atau 36 persen.
"Kasus tindak pidana korupsi tahun 2020 ini menurun 66.66 persen jika dibandingkan dengan tahun 2019," ungkapnya, Kamis (31/12/2020),
Lanjut Yan, adapun kerugian keuangan negara berdasarkan kasus tindak pidana korupsi yang terjadi pada tahun 2020 sebanyak Rp 5.218.984.350.
Adapun penyelamatan keuangan negara oleh Polda Sultra sebesar Rp 6.781.764.246. Sedangkan untuk penyelesaian tindak pidana korupsi tahun 2019, 25 kasus ters, (Telisik.id, 31/12/2020).
Di tengah mengguritanya korupsi di negeri ini, negara telah berupaya mencari berbagai jalan keluar dari masalah ini. Mulai dari undang-undang yang dibuat untuk memberantas kasus korupsi.
Di antaranya UU No. 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, UU No. 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 dan UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Tapi, seakan mati satu tumbuh seribu.
Baca juga: Bu Mensos Risma yang Offside
Bahkan, seperti kita lihat kasus korupsi tak kunjung teratasi. Bahkan, Indonesia sudah berkali-kali menjadi juara negara paling korup di Asia.
Baru-baru ini, lembaga pemantau indeks korupsi global, Transparency International merilis laporan bertajuk 'Global Corruption Barometer-Asia' dan Indonesia masuk menjadi negara nomor tiga paling korup di Asia. Posisi pertama ditempati India diikuti Kamboja di peringkat kedua (merdeka.com, 30/11/2020).
Sistem Demokrasi Menyuburkan Korupsi
Tak dinafikkan lagi, dalam sistem kapitalis demokrasi yang berasas pada aspek manfaat dan keuntungan membuat negeri ini melahirkan para pejabat-pejabat bermental korup.
Kekuasaan yang harusnya menjadi sebuah amanah untuk diemban dan dijalankan demi kemaslahatan rakyat, justru dijadikan sebagai ladang meraup keuntungan. Baik keuntungan pribadi maupun keuntungan kelompok.
Bagaimana tidak, negara demokrasi dalam perjalanannya telah menerapkan politik mahar. Biaya kampanye hingga aktivitas suap menyuap guna naik pada kursi kekuasaan kerap terjadi, khususnya saat kampanye. Sehingga, pesta demokrasi yang berbiaya mahal tersebut membuat para pelaku harus dengan cepat mengembalikan modal kampanye.
Seperti kita ketahui bersama, para calon penguasa kerap mengeluarkan biaya guna menarik hati para rakyat agar memilih mereka menjadi pemenangnya. Sehingga, hal tersebut membuat para pejabat mengeluarkan modal yang cukup fantastis.
Tak ayal lagi, jika kekuasaan yang mereka raih hanya jalan guna mengembalikan modal secepat mungkin, tanpa berpikir kemaslahatan rakyatnya. Sebab, dalam sistem kapitalis demokrasi tidak mengenal halal-haram. Yang menjadi standar dalam sebuah perbuatan adalah kepentingan dan manfaat semata.
Sistem kapitalis demokrasi yang memisahkan agama dari kehidupan dan mengarahkan manusia agar menjadikan barat sebagai kiblat telah nyata membuat berbagai kerusakan di berbagai aspek kehidupan manusia.
Sebab, demokrasi kapitalis telah mengajarkan manusia untuk hidup bebas dan hedonis. Meraih sebuah kebahagian dengan menghalalkan berbagai cara. Alhasil, korupsi pun salah satu jalan cepat meraih keuntungan.
Selain itu juga, penyebab utama tumbuh suburnya korupsi adalah hukuman bagi para pelaku yang tidak memberikan efek jera. Dengan hukuman yang tidak konsisten dan tidak tegas membuat banyak para pelaku kejahatan, maupun korupsi tidak takut akan hukuman tersebut.
Sebab, hukuman dalam alam kapitalis demokrasi dapat diperjual belikan bagi siapa saja yang memiliki modal. Alhasil, memberantas korupsi dalam negeri demokrasi hanya sebuah ilusi.
Solusi Pasti Kasus Korupsi
Islam adalah agama paripurna yang memiliki berbagai solusi dalam seluruh lini kehidupan manusia, termaksud perkara korupsi. Sistem Islam yang merupakan sistem politik Islam telah terbukti melahirkan penguasa-penguasa yang tunduk terhadap aturan Sang Khalik.
Sebab, dalam diri para pemimpin telah terbekali tsaqofah Islami yang menganggap jika kekuasaan adalah sebuah amanah yang harus dijalankan dan diemban sesuai syara.
Dalam politik Islam pun sangat mengharamkan praktik suap menyuap, Rasulullah saw. bersabda, “Allah melaknat penyuap dan yang disuap dalam urusan hukum.” (HR Tirmidzi). Sehingga, penguasa terpilih karena potensi yang dimilikinya, dan kebaikan perilakunya serta sifat-sifat mulianya.
Prioritas utamanya menjadi seorang pemimpin tiada lain yaitu menjaga dan melindungi, serta menjadi pelayan bagi rakyatnya. Sebagaiamana hadis Rasulullah "Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Baca juga: 2021, Tahun Harapan untuk Pulih
Sedangkan dalam masalah korupsi, Islam memiliki beberapa pokok untuk memberantas praktik tersebut.
Pertama, ketakwaan individu. Dalam Islam ketakwaan setiap individu terhadap syariah Allah, baik para pejabat ataupun rakyat biasa merupakan puncak dari pengontrolan terhadap terjadinya berbagai tindak kejahatan termaksud praktik korupsi. Jika seseorang memiliki ketakwaan terhadap Allah, maka jelas saat mereka hendak melakukan segala aktivitasnya akan bersandar terhadap halal dan haram.
Begitupun saat menjadi pejabat negara. Para penguasa mengetahui jika kursi kekuasaan adalah sebuah amanah yang wajib dijalankan sesuai ketentuan syara', bukan untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, atau demi kepentingan segelincir orang. Sehingga, mereka terhindar dari pratik haram tersebut.
Kedua, negara wajib memberikan pegawai dan pejabat negara gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Mulai dari kebutuhan sandang, pangan dan papan. Selain itu, negara juga menetapkan perhitungan kekayaan sebelum dan sesudah mereka menjabat.
Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah ketika menyita harta yang dikorupsi oleh pegawaianya. “Nabi pernah mempekerjakan Ibn Atabiyyah, sebagai pengumpul zakat.
Setelah selesai melaksanakan tugasnya Ibn Atabiyyah datang kepada Rasulullah seraya berkata, ‘Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang kepadaku…’ lalu Rasulullah bersabda, seorang pegawai yang kami pekerjakan, kemudian dia datang dan berkata, ‘Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang kepadaku.
Apakah tidak lebih baik dia duduk (saja) di rumah bapak ibunya, kemudian dapat mengetahui apakah dia diberi hadiah atau tidak. Demi Zat yang nyawaku ada di tangan-Nya, salah seorang dari kalian tidak akan mendapatkan sedikitpun dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat dia akan datang dengan membawa unta di lehernya…'” (HR Bukhari Muslim, Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm. 119).
Ketiga, negara menerapkan sanksi yang tegas dan keras serta konsisten bagi para pelaku korupsi. Dalam Islam korupsi tidak sama dengan mencuri, menurut syariat yang termasuk kategori hudud akan tetapi termasuk ta'zir, dimana sanksinya diserahkan pada ijtihad hakim.
Sanksinya bisa berbentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati. Sehingga, dengan ketegasan dari sistem hukum maka para pejabat dan rakyatnya terhindar dari praktik yang membahayakan. (*)