Kekayaan Alam Dikeruk, Rakyat Kian Terpuruk
Rut Sri Wahyuningsih, telisik indonesia
Sabtu, 21 September 2024
0 dilihat
Rut Sri Wahyuningsih, Institut Literasi dan Peradaban. Foto: Ist.
" Presiden menegaskan bahwa yang diekspor bukanlah pasir laut, melainkan sedimentasi yang mengganggu jalur pelayaran kapal, keduanya adalah hal yang berbeda meski sama-sama berwujud pasir laut "
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
SUNGGUH cerdik netizen, sehingga muncul beberapa kosa kata menggelitik, "bukan sewa jet tapi nebeng", "bukan mudik tapi pulang kampung, "bukan ekspor pasir tapi sedimen". Rakyat dibuat geleng kepala melihat lisan pejabat hari ini yang sibuk bersilat lidah.
Kalimat yang terakhir terlontar dari lisan Presiden Joko Widodo saat mengklarifikasi kebijakan terbarunya, tentang pembukaan ekspor pasir laut setelah Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyelesaikan revisi dua Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag). Dan setelah 20 tahun undang-undang pelarangannya berjalan.
Di situ, presiden menegaskan bahwa yang diekspor bukanlah pasir laut, melainkan sedimentasi yang mengganggu jalur pelayaran kapal, keduanya adalah hal yang berbeda meski sama-sama berwujud pasir laut. (kompas.com, 16-9-2024).
Sekretaris Ditjen Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Kusdiantoro mengatakan meski untuk ekspor masih butuh verifikasi dan validasi, namun sudah ada 66 perusahaan yang mendaftar.
Kemendag, melalui Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Isy Karim menyebutkan ekspor hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut hanya dapat dilakukan selama kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi dan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Aturan ekspor pasir laut ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut serta tindak lanjut dari usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan merevisi dua Peraturan Menteri Perdagangan di bidang ekspor.
Sementara aturan turunannya diatur dalam Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor, dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Revisi dua Permendag ini merupakan amanah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 serta merupakan usulan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai instansi pembina atas pengelolaan hasil sedimentasi di laut.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan hasil penambangan pasir laut diperuntukkan bukan untuk eskpor, namun untuk kebutuhan domestik para pelaku usaha. Seolah ada dua kubu yang menjelaskan syahwat penguasa untuk mengkapitalisasi pasir laut. Bagaimana dengan pendapat wakil rakyat?
Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron menyatakan, pelaksanaan ekspor laut harus memenuhi persyaratan, sama saja ketika daratan dan gunung digali untuk diambil mineralnya, ada rumus dan cara eksploitasi, baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.
Baca Juga: Kapitalisme Gagal Menjamin Kesehatan Mental
Harapannya pemerintah bisa belajar dari pengalaman saat sebelum terbit pelarangan ekspor, bagaimana untung ruginya bagi negara (kompas.com, 19-9-2024).
Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak menilai, kebijakan ekspor pasir laut berisiko membawa sejumlah dampak buruk bagi lingkungan dan sosial di Tanah Air. Apalagi, pemerintah masih sangat lemah dalam pengawasan dan penegakan hukum. Dampak buruk tak hanya bagi lingkungan tapi juga sosial di Indonesia.
Karena pasti mengganggu keseimbangan ekosistem dan mengancam kelangsungan hidup spesies laut dan menghancurkan habitat terumbu karang, mangrove, dan biota laut lainnya.
Di satu sisi mewacanakan pentingnya ekonomi hijau, namun pada saat bersamaan, sumber ekonomi hijau seperti mangrove dan biota laut (seperti padang lamun), terancam rusak oleh pengerukan pasir laut. Kemudian erosi pantai yang bisa berujung hilangnya wilayah pesisir dan merusak infrastruktur di sekitarnya serta penurunan kualitas air atau peningkatan kekeruhan air laut.
Dampak sosial menurut Amin, akan terjadi gangguan mata pencaharian nelayan karena kerusakan habitat laut serta konflik sosial akibat aktivitas pengerukan pasir yang memicu ketegangan antara pemerintah, perusahaan pengeruk, dan masyarakat pesisir. Kemendag melibatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam mengkaji aturan itu (kompas.com 18-9-2024).
Komunikolog politik dan hukum nasional, Tamil Selvan mengatakan dengan tegas, masyarakat Indonesia tak akan mungkin diuntungkan dari kebijakan ini, kekayaan itu tetaplah larinya kepada sejumlah oligarki. Ia malah yakin bahwa kebijakan ini merupakan pesanan.
Tinggal ditelusuri saja perusahaan-perusahaan mana saja yang menjadi pertama mengambil kesempatan kebijakan dimaksud. Dalam politik hari ini tidak ada makan siang gratis. Dan saya secara tegas mengatakan, Jokowi dalam mengambil kebijakan ini juga tentu tidak gratis pungkas Tamil.
Wajah Asli Kapitalisme Utamakan Kepentingan Oligarki
Selalu para pejabat negeri ini mengatakan, semua tindakan pemerintah akan disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku, padahal perundang-undangan dalam sistem kapitalis sangat mudah diubah. Semua disesuaikan kepentingan siapa dan kapan waktunya.
Hampir tak ada batasan, terutama ketika pemilik kuasa sesungguhnya, yaitu pemilik modal menghendaki peraturan yang lebih mengakomodir kepentingannya. Itulah mengapa demokrasi bergandeng mesra dengan kapitalisme, sebab sistem politik ini melahirkan sosok pemimpin yang sangat haus kekayaan, untuk dirinya tentu dan bukan untuk rakyat.
Jika kita berkaca pada negara lain, seperti Malaysia, pada 2018, Perdana Menteri Mahathir Mohamad, memberlakukan larangan ekspor pasir laut terutama ke Singapura seketika ia usai terpilih.
Jelas, karena pemerintah melihat bahayanya ketika Singapura yang terus menerus memperluas wilayahnya dengan jalan pengerukan pasir laut yang pastinya akan membawa dampak berkelanjutan (kompas.com, 18-9-2224).
Mahathir ternyata juga khawatir pejabat Malaysia yang korup mendapat keuntungan dari bisnis pengiriman pasir laut ke Singapura tersebut. Dan apakah tidak mungkin Indonesia akan menerima dampak yang sama jika kebijakan terbaru pemerintah ini dilanjutkan?
Sebelum disahkan undang-undang pelarangan ekspor pasir laut, Indonesia pernah pada posisi tawar penjualan pasir lautnya sekitar 4 dollar Singapura. Dan Indonesia rugi sekitar 540 juta dollar Singapura atau Rp 2,7 triliun per tahun.
Pengerukan pasir secara besar-besaran untuk diekspor ke Singapura juga hampir membuat Pulau Nipa di Batam tenggelam karena abrasi. Padahal, pulau itu menjadi salah satu tolok ukur perbatasan Indonesia dengan Singapura karena berada di garis depan perbatasan.
Belum lagi di Kepulauan Riau, abrasi pesisir laut dan erosi pantai parah dirasakan oleh masyarakatnya, menghilangkan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Nelayan kerapu di wilayah Riau melihat air laut menjadi keruh dan terumbu karang rusak sehingga menyulitkan mendapatkan ikan, tempat pemijahan dan berkembang ikan-ikan secara alamiah itu telah hancur.
Baca Juga: Desa Wisata Namu, Asa Indonesia Poros Maritim Dunia
Kemudian masyarakat di Pulau Morotai, Maluku Utara. Kegiatan penambangan pasir pantai menyebabkan penyusutan garis pantai, kebun kelapa milik warga mengalami abrasi, dan hilangnya kawasan mangrove.
Juga timbul turbulensi yang menyebabkan peningkatan kadar padatan tersuspensi di dasar perairan laut, menimbulkan banjir rob, membuat energi gelombang atau ombak makin tinggi ketika menerjang pesisir pantai, serta menimbulkan konflik sosial antara masyarakat yang pro lingkungan dan para penambang pasir laut.
Padahal pasir laut tercipta jutaan tahun dari bebatuan karang, lapukan sedimen sungai dan makhluk-makhluk bercangkang di dasarnya, keberadaan pasir sebagai pencipta keseimbangan alam, jika dieksploitasi tanpa batas jelas menimbulkan kerusakan, bahkan bencana, sebagaimana Allah SWT berfirman, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (TQS ar Rum:41).
Inilah wajah kapitalisme, apapun bisa dikapitalisasi asalkan menghasilkan manfaat materi. Kapitalisme membolehkan pengusaha mengeruk SDA, membebaskan setiap orang untuk memperkaya dirinya dengan cara apa saja, termasuk eksplorasi tambang milik umum. Sudahlah watak manusia yang tidak pernah puas, ditambah negara memberi kebebasan untuk mengeruk SDA, akhirnya yang timbul adalah kerusakan dan kerugian bagi banyak pihak.
Kapitalisme juga menjadikan peran negara mandul. Negara hanya sebagai regulator, yaitu pihak yang membuat aturan agar pihak tertentu, oligarki, bisa untung. Negara tidak akan memperhatikan kerusakan lingkungan, kecuali fokus pada gemerincing cuan yang mengalir. Berlanjut saling berbagi, korupsi, kolusi dan nepotisme. Nasib rakyat tentu saja kian terpuruk.
Islam Lindungi Harta Milik Umum untuk Kemaslahatan
Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Hadis ini bermakna bahwa seluruh padang rumput, air (laut, danau, dan semua yang ada di dalamnya), serta api (tambang, minyak bumi, dan gas alam) tergolong harta milik umum. Islam mengharamkan individu atau pengusaha swasta untuk mengelolanya.
Negaralah satu-satunya pihak yang boleh mengelola dan memanfaatkan SDA milik umum untuk mengembalikan hasilnya ke rakyat. Namun jelas bukan dalam makna yang selama ini kita lihat, dimana negara terus menerus berhubungan dengan pihak swasta (dalam dan luar negeri) untuk mengalihkan amanah. Yang terjadi akhirnya urusan bisnis yang fokus pada untung rugi.
Rakyat jelas pihak yang dirugikan, sekarang mungkin masyarakat di sekitar pantai yang hendak dikeruk pasirnya, namun jika tidak dicegah secara tegas maka tak hanya ketahanan pangan yang hilang tapi juga kedaulatan negara, karena senantiasa tunduk kepada kehendak asing. Kekayaan alam yang berlimpah samasekali tak berguna bagi rakyat, di sinilah urgensitas kita untuk mulai mencabut sistem yang buruk dan menggantinya dengan sistem terbaik, yaitu Islam.
Sebab syariat diterapkan jelas untuk kemaslahatan umat. Islam tidak akan membolehkan kegiatan ekspor pasir laut karena merupakan SDA milik umum, selain menyebabkan kerusakan lingkungan.
Lagi pula, Islam tidak akan membiarkan para oligarki memengaruhi kebijakan negara. Kedaulatan atau hak membuat hukum hanyalah pada Allah SWT., bukan manusia. Termasuk masalah ekonomi, harus sesuai tuntunan syariat untuk meraih rida Ilahi. Wallahualam bissawab. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS