Kronologi Bentrok dengan Warga di Pulau Rempang, Tindakan Aparat Dinilai Tak Manusiawi

Nur Khumairah Sholeha Hasan

reporter

Minggu, 10 September 2023  /  10:02 pm

Herman menggendong bayinya yang pingsan gegara gas air mata di tengah bentrokan warga Rempang dan aparat gabungan di Jembatan 4 Barelang, Batam, Kamis (7/9/2023). Foto: Tribunnews.com

RIAU, TELISIK.ID - Bentrok antara warga Rempang dengan petugas gabungan dari Polri, TNI, Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP pada Kamis, (7/9/2023) yang viral beberapa waktu lalu belum menemukan titik temu.

Diketahui, bentrokan dipicu oleh penolakan masyarakat adat Pulau Rempang atas pembangunan kawasan industri di lahan pulau seluas 17 ribu hektare di wilayah itu.

Proyek rempang eco city

Mengutip Bisnis.com, proyek yang dilabeli dengan proyek strategis nasional untuk membangun kawasan industri, perdagangan, dan wisata itu merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) pada 2023 sebagai Rempang Eco City.

Baca Juga: BMKG Ingatkan Pemerintah Daerah Risiko Jelang Musim Hujan

Bentrokan terjadi saat aparat berusaha menerobos masyarakat yang berjaga di Jembatan IV Barelang Pulau Rempang karena menolak dilakukannya pengukuran dan pemasangan batok di wilayahnya. 

Masyarakat adat yang menolak kehadiran aparat gabungan memblokir jalan dengan menebang pohon hingga meletakkan blok kontainer di tengah jalan.

Kronologis

Dikutip Nu.or.id, hal ini bermula dari Surat DPRD Kota Batam bertanggal 17 Mei 2004 dengan membuka masuknya investasi ke kawasan Pulau Rempang. Diteken Ketua DPRD Batam saat itu, Taba Iskandar, surat ini menyetujui investasi PT Makmur Elok Graha atau MEG. Isi surat itu adalah rekomendasi enam fraksi di DPRD Batam.

Secara garis besar, DPRD Batam ketika itu menyetujui langkah Pemkot Batam mengembangkan Pulau Rempang menjadi kawasan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata dengan konsep Kawasan Wisata Terpadu Eksekutif (KWTE).

Pada 26 Agustus 2004, pemilik PT MEG, Tommy Winata meneken kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman dengan Pemkot Batam. Wali Kota Batam ketika itu adalah Nyat Kadir.

Penjabat (Pj) Gubernur Kepulauan Riau, Ismeth Abdullah ikut menyaksikan langsung penandatangan perjanjian kerja sama di lantai empat Kantor Pemkot Batam. Kerja sama juga mencakup membuat studi pengembangan Pulau Rempang.

PT MEG adalah anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tommy Winata. Dalam perjanjian pemberian hak guna bangunan di Pulau Rempang antara Pemkot Batam, Otorita Batam, dan Makmur Elok Graha.

MEG mendapat konsesi selama 30 tahun, yang bisa diperpanjang 20 tahun dan 30 tahun sehingga berpotensi selama 80 tahun. Luas lahan yang dikerjasamakan seluas 16.583 hektare.

Bentrok aparat pada warga dinilai tidak manusiawi.

Baca Juga: Simak Jadwal Lengkap CPNS September 2023

Direktorat Jenderal HAM, Dhahana Putra menuturkan tindakan represif aparat kepolisian bisa merusak iklim investasi yang semakin peduli terhadap penerapan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).

"Tentu kita semua tidak ingin iklim investasi yang telah baik di Batam ini mendapat citra negatif karena persoalan semacam kemarin," ujar Dhahana dikutip dari Kompas.com.

Direktorat Jenderal HAM, kata Dhahana, telah berupaya memperkuat pemahaman aparat tentang pentingnya nilai hak asasi manusia dalam bertugas. Terdapat diseminasi kepada aparat penegak hukum untuk memahami konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.

Dhahana juga meminta aparat tidak bertindak represif dan merespons dengan kekerasan terhadap warga yang menolak pengembangan kawasan ekonomi Rempang Eco City. (C)

Penulis: Nur Khumairah Sholeha Hasan

Editor: Kardin 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS