Peace Maker
Kolumnis
Sabtu, 31 Desember 2022 / 2:10 pm
M. Najib Husain
Akademisi UHO
ISTILAH king maker sangat ramai dibahas tahun 2022. Apa itu king maker? King maker jika diartikan dalam Bahasa Indonesia adalah "pembuat raja." Pembuat raja/pemimpin (seseorang yang menjadikan orang lain raja/pemimpin), maka siapa pun bisa seseorang atau sekelompok orang bisa disebut the king maker.
Istilah tersebut merujuk pada tokoh yang dinilai dapat memunculkan kandidat yang memenangi pemilu. Begitu serius pembahasan tentang King maker, sampai beberapa lembaga survei khusus turun gunung untuk mengetahui siapa yang akan menjadi king maker untuk presiden RI tahun 2024.
Ada beberapa nama yang sering disebut oleh lembaga survei, yang pertama adalah Presiden Joko Widodo. Jokowi bukan elite partai, tetapi memiliki kekuatan “politik relawan” karena menguasai kementerian dan lembaga strategis sehingga ke mana pun arah politik akan dibawa atau akan didorong oleh Jokowi, sangat menentukan siapa yang akan jadi presiden di 2024.
Nama kedua adalah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri karena partainya merupakan partai penguasa yang memenangkan dua edisi pemilihan umum dan rencana membuat hattrick di tahun 2024.
Nama selanjutnya ialah Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY hingga kini masih menjual sang anak untuk dapat mengikuti kontestasi politik nasional.
Berikutnya Jusuf Kalla. Pengalaman pada Pilkada DKI 2017 dinilai berhasil mengantarkan jagoanya menjadi gubernur DKI Jakarta. Selain itu, Kalla juga dinilai punya jaringan yang kuat dan latar belakangnya sebagai pengusaha akan punya peran penting dalam demokrasi elektoral.
Nama berikutnya adalah Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh. Surya Paloh sudah menunjukkan sikap politiknya untuk keluar dari pakem Koalisi Indonesia Maju dengan berani menawarkan calon presiden di 2024.
Baca Juga: Ganjar Pranowo Diendorse, Ganjar Dihujat
Ada lagi dua figur bisa menjadi king maker lainnya, namun posisi “galau” yaitu Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Airlangga Hartarto Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Kedua orang ini dalam posisi dilema antara maju sebagai calon presiden atau mengusung calon lain.
Pertanyaan kenapa terlalu banyak yang mau menjadi king maker, ada apa, apa yang diharapkan dari para elit politik dan apa agenda yang tersembunyi di balik suksesi kepemimpinan ini.
Padahal reformasi sistem dari pemilihan tidak langsung (undirect election) menuju sistem pemilihan langsung (direct election) secara perlahan telah menggeser polarelasi elite-massa dalam politik elektoral.
Jika di era pemilihan tidak langsung, elite menjadi fokus perhatian, maka pada era pemilihan langsung fokus perhatian lebih berpusat pada massa. Pada sistem pemilihan langsung, kedudukan elite sebagai kelompok yang strategis dalam masyarakat secara perlahan semakin kehilangan pengaruhnya.
Di era pemilihan langsung para politisi membangun popularitas dengan menjalin hubungan kedekatan yang erat dengan rakyat, dan mangasosiasikan dirinya sebagai bagian dari rakyat, yang diistilahkan sebagai politik populisme.
Kata ‘elite’ mulai digunakan sejak abad 17 untuk menyebut kelompok sosial yang unggul. Istilah elite menujukkan adanya perbedaan kelas sosial dalam masyarakat sebagaimana diutarakan oleh Mosca yaitu adanya kelompok elite dan non-elite di masyarakat.
Di mana struktur dalam masyarakat terbagi dalam dua kategori yaitu: Sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah; dan sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.
Dalam maksud yang sama Pareto menyebut bahwa masyarakat terdiri dari dua kelas: Pertam, lapisan atas yaitu elite, yang terbagi kedalam elite yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non-governing elite), Moscha menyebut sub elite; kedua lapisan yang lebih rendah yaitu non elite.
Sudah cukup pemilihan Presiden 2019 yang menimbulkan banyak ketegangan antaranak bangsa yang begitu terasa. Sebuah proses yang sama sekali tidak menunjukkan politik yang beradab yang disebabkan permainan para elite politik yang ingin menunjukkan pengaruhnya.
Baca Juga: Koalisi Gerindra dan PKB Belum Kompak
Padahal yang harus dikedepankan orang-orang kuat yang lebih memilih menjadi tipe orang yang selalu berusaha mengakurkan ide, gagasan bahkan perilaku yang tampak kontradiktif dari beberapa orang. Tujuan supaya mereka yang terlibat bisa lebih nyaman karena tidak merasa dibenturkan.
Posisi itu yang dibutuhkan kedepan mencari elite yang mau mengambil peran sebagai juru damai dan mereka itulah 'peace maker' seperti seorang Nelson Mandela. Nelson Mandela sebagai sosok pemimpin sejati yang tidak haus kekuasaan dan tidak takut menjadi warga biasa setelah menjadi presiden, di salah satu kesempatan beliau berkata “jangan nilai saya menurut keberhasilan saya, nilailah saya berdasarkan berapa kali saya jatuh dan bangkit lagi.” Ia selalu dikenang sebagai revolusioner perdamaian bagi bangsa Afrika maupun bagi dunia.
Memasuki tahun 2023 sebagai tahun politik dan konstalasi akan memanas, maka sangat dibutuhkan elite-elite politik yang tidak bertarung kekuatan untuk menunjukkan dirinya sebagai king maker dengan alasan bahwa dirinya punya pengaruh ataukah partainya cukup kuat karena memiliki 20 kursi atau 25 suara nasional sehigga mereka memiliki legal formal dalam penentuan capres di Pilpres 2024.
Saya yakin tulisan ini lahir bukan karena akhir-akhir ini saya lebih banyak nonton kartun dan membaca komik. Tetapi satu harapan besar bangsa ini, yang saat ini sangat membutuhkan sosok panutan yang berdiri sebagai bapak bangsa. Itulah peace maker, karakter elite politik yang dirindukan, bukan sosok yang berdiri atas nama partai, kelompok maupun golongan masing-masing. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS