Perilaku Agresif Pemerintah Menimbulkan Keraguan Netralitas Pemilu 2024

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 14 November 2021
0 dilihat
Perilaku Agresif Pemerintah Menimbulkan Keraguan Netralitas Pemilu 2024
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Semangat kebersamaan ketiga LSM ini dipicu oleh kekhawatiran netralitas penyelenggara pemilihan umum ke depannya. Mereka merasa pemerintah telah melakukan tindakan bertentangan dengan Undang-Undang Pemilihan Umum, dengan jumlah komposisi dari unsur pemerintah yang melebihi ketentuan dari unsur pemerintah "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

TIGA Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Pusat Studi Konstitusi (Pusako)  mengirimkan surat keberatan resmi terkait Keputusan Presiden (Keppres) Joko Widodo (Jokowi) Nomor 120/P Tahun 2021.

Semangat kebersamaan ketiga LSM ini dipicu oleh kekhawatiran netralitas penyelenggara pemilihan umum ke depannya. Mereka merasa pemerintah telah melakukan tindakan bertentangan dengan Undang-Undang Pemilihan Umum, dengan jumlah komposisi dari unsur pemerintah yang melebihi ketentuan dari unsur pemerintah.

Ketiga LSM ini juga mempertanyakan soal kepastian hukum dan kecermatan pemerintah di dalam mengeluarkan sebuah keputusan tata usaha negara dan juga dianggap keputusan itu bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik.

Unsur pemerintah di Tim Seleksi KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 dinilai tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang diatur dalam Pasal 22 Ayat (3) huruf a dengan secara eksplisit mengatur unsur pemerintah di tim seleksi dibatasi hanya tiga orang.

Sedangkan pemerintah saat ini dari 11 orang tim seleksi KPU dan Bawaslu memiliki empat orang yang berasal dari unsur pemerintah, (Kompas.com, 10 November 2021).

Komposisi tim seleksi dari unsur pemerintah ini dinilai, sekali lagi dijelaskan bahwa tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang Pemilihan Umum, tetapi juga dianggap berpotensi bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik.

Empat orang dari unsur pemerintah ini yakni Deputi IV Kantor Staf Presiden Juri Ardiantoro, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti, Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar dan Edward Omar Sharief Hiariej yang menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Mempertanyakan Semangat dan Antusias Pemerintah

Netralitas Tim Seleksi KPU dan Bawaslu saat ini begitu diragukan, dengan kehadiran sejumlah orang yang diduga berhubungan erat dengan pemerintah dan partai politik tertentu. Sebut saja satu nama dari tim seleksi yang juga adalah ketua tim seleksi yang diragukan oleh berbagai LSM dan publik yakni Juri Ardiantoro.

Mengenai pengalaman Juri Ardiantoro memang tak diragukan lagi, karena ia pernah menjabat sebagai Komisioner KPU Periode 2012-2017 dan Ketua definitif pada 2016 menggantikan Husni Kamil Malik yang meninggal, dan Juri juga pernah menjabat Ketua KPU Provinsi DKI Jakarta periode 2008-2013.  

Hanya saja netralitas Juri ini yang begitu diragukan, sebab ia pernah terlibat dalam Tim Kampanye Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada pemilihan presiden 2019 lalu. Juri diragukan karena dianggap telah terperangkap preferensi pilihan yang subjektif dan diragukan tidak dapat melepaskan diri dari kelompok atau jaringan kekuasaan saat ini, (Suara.com, 14 Oktober 2021).

Keraguan netralitas ini semakin menguat dengan begitu aktifnya pemerintah dalam ‘mengatur’ perencanaan pemilihan umum (Pemilu), seperti Juri Ardiantoro ditetapkan sebagai ketua tim seleksi, padahal biasanya jabatan itu diberikan kepada anggota yang berasal dari pihak masyarakat atau akademisi.

Semangat yang tinggi dari pemerintah juga menimbulkan kecurigaan dan kekhawatiran di benak publik. Ketika terjadi pertama kali, perdebatan alot penetapan tanggal Pemilu. Pemerintah juga dianggap bertindak dengan 'arogan’ mengusulkan Pemilu 15 Mei 2024, padahal sebelumnya secara bersama dengan kesepakatan tripartit kepemiluan yakni pemerintah, DPR, dan penyelenggara Pemilu telah sepakat pemungutan suara dilaksanakan pada tanggal 21 Februari 2024.

Bahkan sebelumnya, pemerintah juga telah bertindak ‘arogan’ meski dengan cara elegan berdasarkan tindakan demokratis, yakni pemerintah telah berhasil mengatur derap langkah bersama koalisi pemerintah di DPR untuk tidak mengubah Undang-Undang Pemilu.  

Kerangka hukum yang tiba-tiba ajeg ini, tentu saja tidak seperti biasanya setiap lima tahun sekali dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Pemilu. Apalagi pilihan ajeg itu bukan sesuatu yang datang sejak lama, tetapi terjadi di tengah jalan selagi proses revisi Undang-Undang Pemilihan Umum sedang memanas di Senayan, akhirnya harus dihentikan dengan paksa karena sikap pemerintah yang enggan merevisi Undang-Undang Pemilu tersebut.

Begitu agresifnya perilaku pemerintah terhadap persiapan penyelenggaraan Pemilu 2024, sehingga menimbulkan berbagai keraguan sekaligus kekhawatiran atas netralitas pemerintah dalam Pemilu ke depan, dan pertanyaan lanjutan yang menghinggapi benak publik adalah terhadap masa depan penyelenggaraan Pemilu 2024 ke depan.

Baca Juga: Menyoal Kans Prabowo Bakal Calon Presiden 2024

Ujian Netralitas Pemilu 2024

Permasalahan penyelenggara Pemilu sudah lama menjadi sorotan sejak era reformasi. Kita tak bisa melupakan ujian atas netralitas penyelenggara Pemilu selalu dipertanyakan. Apalagi jika pada akhirnya, orang-orang yang pernah menjadi penyelenggara Pemilu, kemudian bergabung kepada partai politik pemerintah setelah tak lagi menjabat sebagai anggota KPU. Sebut saja, Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati, yang keduanya kemudian bergabung ke Partai Demokrat.

Kasus seperti Juri Ardiantoro juga sempat muncul pada 2012 lalu. Ketika itu, Gamawan Fauzi yang menjabat Menteri Dalam Negeri ditunjuk sebagai ketua tim seleksi. Namun, gelombang protes, kritik, terkait kekhawatiran konflik kepentingan, akhirnya mendorong Gamawan mendeklarasikan diri bahwa dia tak memiliki pendapat saat proses seleksi dan tak aktif di proses seleksi.

Ketegasan yang sama, yang juga kini didesak oleh aliansi masyarakat sipil. Pernyataan dari Juri Ardiantoro sebagai ketua tim seleksi bahwa ia tidak ikut mengambil keputusan atau memberikan pendapat, sedang ditunggu. Agar proses seleksi berjalan lancar dan posisi Juri Ardiantoro yang pasif nantinya diharapkan dapat memastikan bahwa tidak akan mengganggu kinerja tim panita seleksi KPU dan Bawaslu.  

Ujian netralitas tim seleksi akan terus diawasi dan dikritisi seiring dengan antusias pendaftar sebagai anggota KPU dan Bawaslu. Saat ini, pendaftar sudah meningkat drastis dengan tim seleksi telah menerima 564 pendaftar, yang terdiri dari 325 pendaftar untuk calon anggota KPU dan 239 pendaftar untuk calon anggota Bawaslu.  

Oleh sebab itu, wajar jika pemerintah dalam sepuluh hari dapat memberikan jawaban atas desakan dari berbagai LSM tersebut, yang juga adalah representasi dari keraguan masyarakat atas tindakan agresif pemerintah. Dengan harapan bahwa pemerintah melakukan revisi atas Keputusan Presiden Nomor 120/P Tahun 2021 itu, yang kemudian mengeluarkan keputusan presiden yang baru untuk menyesuaikan komposisi tim seleksi dari unsur pemerintah, dengan mengganti satu dari empat orang, itu harapan dari mereka mewakili masyarakat.

Tentu pertanyaan yang hadir di benak publik adalah apakah pemerintah mau mendengarkan kekhawatiran dan keresahan masyarakat terkait netralitas penyelenggara pemilu ke depan. Jika dipelajari dengan seksama sepak terjang presiden Joko Widodo, bahwa presiden kemungkinan besar berupaya untuk tercapainya keputusan saling menguntungkan di antara kedua belah pihak yakni dari sisi masyarakat dan pemerintah.

Baca Juga: Bukan Desa 'Proyek' KPU

Presiden Jokowi ditenggarai akan merespons keinginan masyarakat tersebut dan patut kita tunggu bentuk keputusannya. Namun, keputusan yang lain turut menyertai, pemerintah dapat saja makin ‘menekan’ dengan bersikukuh untuk dapat diterima, seperti keputusan mengenai tanggal pelaksanaan Pemiliu, apalagi keputusan ini bersifat tripartit, dengan penguasaan 80 persen koalisi pendukung pemerintah rasanya tak sulit mengikuti kemauan pemerintah.

Pemerintah yang begitu agresif saat ini, dapat saja dianggap bentuk respons manusiawi seperti keinginan keberlanjutan pemerintahan. Presiden Jokowi tentu menyadari, ketika ia tak lagi menjabat, maka peran dia sebagai ‘king maker’ di Pilpres 2024 begitu besar, yakni bukan hanya mempersiapkan pasangan calon yang memang secara terbuka maupun tertutup mencerminkan dukungan pemerintah.

Di sisi lain, pemerintah juga ingin menjalankan transisi pergantian pemerintahan dengan model keberlanjutan kerja dan kebijakan dari pemerintah saat ini kepada pemerintahan yang baru.  

Namun begitu, popularitas, kualitas pemerintah, sedang diuji dari tindakan pemerintah yang terbebani oleh kepentingan partai politiknya sendiri.  

Hal yang juga tak bisa dinafikan, Presiden Jokowi terbebani oleh upaya meningkatkan perolehan suara dan kursi PDI Perjuangan pada Pemilu 2024 mendatang, bahkan keterpilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden diharapkan tetap dari unsur koalisi PDI Perjuangan.  

Oleh sebab itu, semangat “turut campur”yang begitu besar terhadap penyelenggaraan pemilu 2024 mendatang yang ditunjukkan oleh pemerintah, menunjukkan ke depannya penyelenggara Pemilu bukan saja suatu jabatan dari pekerjaan menyelenggarakan Pemilu semata.

Tetapi, tempat pertarungan uji netralitas, kapabilitas, integritas, dan penegakan komitmen keberpihakan kepada nilai-nilai demokrasi dengan mengabaikan berbagai konflik kepentingan yang akan menjadi perangkap bagi calon-calon anggota KPU dan Bawaslu ke depan. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga