Kecewa Keputusan Mundur Mahfud MD

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 04 Februari 2024
0 dilihat
Kecewa Keputusan Mundur Mahfud MD
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Mungkin saja di luar sana banyak yang menunjukkan rasa kecewa sekaligus kaget atas keputusan mundur Mahfud MD dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam). Tulisan ini ingin menguraikan pasca mundurnya Mahfud MD dengan menggunakan analisis perjalanan peristiwa dengan realitas "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

KECEWA. Mungkin saja di luar sana banyak yang menunjukkan rasa kecewa sekaligus kaget atas keputusan mundur Mahfud MD dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam). Tulisan ini ingin menguraikan pasca mundurnya Mahfud MD dengan menggunakan analisis perjalanan peristiwa dengan realitas.

Akhirnya Memilih Mundur

Pilihan mundur Mahfud MD diduga karena dorongan jika tak ingin disebut pemaksaan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ini dilakukan untuk tujuan memberikan kesan di publik bahwa Ganjar dan Mahfud satu kata, satu pemikiran, dan satu perjuangan. Sekaligus pesan bahwa Banteng Moncong akan totalitas memenangkan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024 serta sudah tegas berseberangan dengan pemerintahan ini.

Jika dicermati, PDIP ditenggarai khawatir Provinsi Jawa Tengah akan semakin kuat dirembesi oleh Gibran. Sebab Gibran masih menjabat dan bekerja sebagai walikota Solo. Gibran hanya mengajukan cuti bila diperlukan saja, sesuai ketentuan regulasi dalam kepemiluan.

Narasi meminta mundur kepada Gibran Rakabuming Raka yang merupakan calon wakil presiden (cawapres) dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) sudah disampaikan oleh PDIP dan Ganjar, sayangnya respons publik tak bulat sepenuhnya mendukung ide kubu PDIP dan Ganjar meski dengan narasi Gibran tak akan bisa fokus bekerja, sebab regulasi terkait pemilu memang membolehkannya.

Jika dibiarkan sentimen negatif, maka PDIP tampak dipermukaan tergambarkan sedang cemas karena elektabilitas Ganjar-Mahfud MD sedang berada diposisi buncit artinya kemungkinan kalah dan tak lolos putaran kedua semakin tinggi. Karena narasi meminta mundur hanya untuk Gibran semata sudah tak berhasil. Maka narasi mundur yang terlihat bernilai positif untuk penilaian publik adalah tidak sekadar ke Gibran semata.

Ganjar kemudian menarasikan meminta ketiga kandidat lain mundur, disasarnya Muhaimin Iskandar, Prabowo, Gibran, juga termasuk Mahfud MD. Agar fantastis, digunakanlah kata fair dan fokus, meminta semua calon hanya fokus di Pilpres seperti dirinya dan Anies yang sudah selesai menjabat tepatnya sudah menjadi “pengangguran politik.”

Ganjar berharap akan menjadi sentimen positif dari publik kepada PDIP dan Ganjar, kelanjutannya jelas agar dapat mendongkrak elektabilitas pasangan Ganjar-Mahfud.

Sayangnya, Ganjar dan PDIP di Jawa Tengah sebelum berbicara meminta mundurnya Gibran, ia melupakan peristiwa besar dari sikap Mahfud MD sebagai pasangannya. Mahfud MD sudah mengeluarkan pernyataannya terlebih dahulu, ia ingin bekerja sebagai Menkopolhukam sampai akhir masa jabatannya, bahkan meski ia terpilih sebagai cawapres.  

Alasan pernyataannya, Mahfud khawatir kerja dan target besar yang sedang dikerjakannya tidak lagi diprioritaskan atau malah diabaikan oleh Menkopolhukam baru. Bahkan, Mahfud juga sebelum dicalonkan sebagai cawapres menyatakan lebih memilih cuti ketimbang opsi mundur.

Ini menunjukkan bahwa Mahfud MD secara pribadi memang senang dan bangga bekerja sebagai Menkopolhukam sebagai pembantunya Presiden Jokowi, dan tentu saja Mahfud ingin mendedikasikan dirinya dengan bekerja dan fokus untuk rakyat.

Kemudian saat ini terjadilah upaya membangun narasi baru agar mundurnya Mahfud MD dapat menghadirkan sentimen negatif kepada pemerintah, dan tentu sasarannya kepada Prabowo-Gibran yang tidak memilih mundur sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) dan Walikota Solo.

Mahfud membangun narasi menyatakan satu pemikiran dengan Ganjar, maupun narasi etis dan moral untuk menyudutkan Gibran maupun narasi negatif terhadap pemerintah.

Baca Juga: 'Pemaksaan' Menteri Mundur dari Kabinet

Sehingga pernyataan Mahfud ingin mundur diharapkan akan menjadi berkah berupa sentimen positif kepada Mahfud, selanjutnya Mahfud layak disebut “pahlawan demokrasi,” “pejantan tangguh (maknai sebagai gentle),” maupun Mahfud sedang memberikan contoh “etika seorang pemimpin,” harapan besarnya adalah sentimen positif untuk elektabilitas pasangan Ganjar-Mahfud.

Kembali Sebagai Politisi

Sayangnya, jika membaca dengan cermat dari proses dan realitas, dengan kita mempelajari berdasarkan dari berbagai peristiwa. Malah Mahfud inkonsisten dalam sikap konsistennya itu. Keputusan awal dirinya yang tak mau mundur memilih cuti untuk kepentingan masyarakat, disingkirkan oleh Mahfud demi konsisten hanya untuk kepentingan kelompoknya yakni PDIP dan Ganjar.  

Konsisten bersama Ganjar tetapi malah inkonsistensi atas keputusannya sendiri. Mahfud bukan lagi sebagai tokoh yang kokoh pendirian, sosok pemberani, malah ia telah mengabaikan tanggungjawabnya, mengabaikan keputusan dirinya sendiri yang ingin tetap di pemerintahan menjabat Menkopolhukam karena demi rakyat.

Ia lebih memilih tidak bertanggungjawab atas kerjanya, rakyatnya, untuk memantaskan kepada Ganjar dan PDIP.

Ia tidak bisa lagi menunjukkan tak terobsesi kekuasaan, keputusan mundurnya Mahfud jelas demi dongkrak elektoral.

Ia juga telah gagal membuktikan dirinya bahwa Mahfud kokoh pendirian takkan bisa direcoki siapapun dalam mengambil keputusan. Nyatanya, Mahfud yang sekarang lebih memilih kenyaman sebagai lakon politisi ketimbang seorang profesional.

Mahfud juga malah membiarkan mundurnya dirinya untuk dinarasikan melawan pemerintah, Padahal narasinya Mahfud menghormati Jokowi yang telah memilihnya. PDIP dalam konferensi pers di DPP PDIP dengan bangga mendukung mundurnya Mahfud.  

Sebenarnya sikap Mahfud nanggung benar, dalam bahasa Sarkas, mengutip lirik lagu Meggy Z, Terlanjur Basah Ya Sudah Mandi Sekali. Ketimbang sudah satu pemikiran, satu perjuangan menjadi politisi berpredikat petugas partai, sebaiknya Mahfud memilih bergabung dengan PDIP.

Sangat disayangkan jika Mahfud tak berpartai namun tidak lagi profesional apalagi negarawan seperti sebelumnya. Cocok jika Mahfud gabung dengan PDIP. Sebab, satu tokoh seperti Mahfud, lebih berharga ketimbang merisaukan kehilangan dua kader PDIP seperti Budiman Sudjatmiko dan Maruarar Sirait.

Dalam bahasa anak sekarang, mengsad, ketika masyarakat kehilangan figur Mahfud di pemerintahan ini. Apalagi Mahfud rela mengabaikan masyarakat yang masih menunjukkan puas atas kinerjanya sebesar 70-75 persen.

Mahfud lebih mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya untuk kekuasaan semata. Mahfud telah memilih lakon dirinya bak politisi ketimbang sosok profesional dan negarawan.

Kepentingan Kelompok Abaikan Kepentingan Rakyat

Sangat disayangkan ketika Mahfud memilih mundur sisi emosional Mahfud MD tersorot. Persepsi positif publik kepada Mahfud semakin terkoreksi. Sentimen negatif terhadap Mahfud malah tinggi, karena Mahfud dianggap inkonsisten antara pernyataan awal dan pernyataannya yang baru ini.

Publik juga membaca narasi mundur Mahfud telah dipenuhi sikap emosionalnya. Sebab ketika Mahfud menyampaikan mundur, posisi dirinya di debat cawapres terakhir sedang terekam diingatan publik sebagai sosok yang sedang tersulut emosinya karena pertanyaan dan perilaku Gibran.

Sehingga tampak sekali, sepekan setelah debat cawapres dan ia memilih mundur, pernyataan-pernyataan Mahfud malah dihangatkan bahasa emosional, seperti tentang “menyimpulkan ibu melahirkan dengan minus anak tak adab dan dosa besar kepada bangsa ini.”  

Tampaknya, jika dicermati, Mahfud memang sudah tak lagi menjadi profesional dan negarawan melainkan politisi. Sehingga Mahfud tampak emosional pasca mundur. Ledakan emosi diri Mahfud ditenggarai karena Mahfud harus mengesankan diri satu pemikiran dan satu perjuangan dengan Ganjar untuk menaikkan elektabilitas pasangan ini.

Padahal dampak mundurnya Mahfud tidak akan memberikan sentimen positif yang besar kepada pasangan Ganjar-Mahfud dari segi elektabilitasnya. Mahfud juga tidak lantas dianggap “pahlawan”, malah ia mendapatkan persepsi baru bahwa figur dirinya yang sudah menjauh dari sosok profesional dan negarawan.

Baca Juga: 'Cawapres Rasa Presiden,' Jika Anies-Muhaimin Terpilih

Mahfud juga sudah mengecewakan masyarakat karena sikap dia yang ingin mengawal kasus-kasus besar dengan tetap bertahan di Menkopolhukam malah ditinggalkannya.

Mahfud juga malah dianggap tidak bisa mengontrol emosinya, karena dilecehkan di debat cawapres, terbawa perasaan (baper) sehingga memilih mundur. Bahkan, citra Mahfud adalah sama saja dengan kader-kader PDIP yang lain, cuma sekadar petugas partai.

Pernyataan dia diawal ketika terpilih sebagai cawapres oleh PDIP, bahwa Mahfud tidak akan bisa diatur layaknya petugas partai, tentu saja terkoreksi oleh sikap inkonsisten dia yang memilih mundur dari kabinet.  

Kesalahan Mahfud terbesar dibalik pilihannya untuk mundur dari kabinet, adalah ia tidak berpikir dengan cermat akan keputusannya. Malah yang tergambarkan oleh publik bahwa ia selalu mengkoreksi pendapatnya, tidak konsisten ternyata menjadi lakon dirinya.  

Padahal, kembali kepada kata awal kecewa, perlu disampaikan bahwa Mahfud itu sosok yang layak memimpin republik ini sebagai cawapres. Ia punya bekal di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta ia amat diakui kepakaran dan pemikirannya mengenai hukum tata negara maupun sumbangsih pemikirannya untuk negara.

Mahfud adalah sebuah pencarian sosok yang dirindukan. Sosok cawapres yang cerdas, yang bukan “ban serep,” ia juga bukan sosok seperti cawapres yang sekarang cenderung pasif seperti Ma'ruf Amin, bahkan awalnya Mahfud dipandang tidak akan jadi sosok “petugas partai”.

Ia memungkinkan seperti Jusuf Kalla yang mengimbangi dan bersumbangsih pemikiran untuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala memerintah. Mahfud layak dianggap akan menjadi seperti JK “the real president”.

Mahfud bahkan memungkinkan lebih hebat dari JK, sebab sosok dirinya mengingatkan publik seperti Wapres RI-1 Mohammad Hatta, ia punya sumbangsih pemikiran yang terbaik, bahkan ditunggu oleh publik, sehingga pemerintah bisa berjalan dengan lebih baik.

Sayangnya publik memungkinkan pesimis kepada Mahfud karena figurnya sudah tak seperti dulu, tetapi kita perlu tetap menghargai keputusannya, selamat menjadi politisi Pak Mahfud MD. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga