Point of No Return, Bung

Suryadi

Penulis

Sabtu, 12 Maret 2022  /  10:58 am

Suryadi, Pemerhati Pers dan Budaya. Foto: Ist

Oleh: Suryadi

Pemerhati Pers dan Budaya

BERDERET-DERET papan bunga “ucapan selamat” menyesaki sudut-sudut kampus merah-putih. Warna-warni meronai suasana sumringah menebar berdesak-desakan di halaman sempit kampus perguruan tinggi swasta (PTS) di bilangan Hang Lekir, Kebayoran, Jakarta Selatan itu, Senin, 7 Maret 2022.

Sehari kemudian, 40-an papan bunga congratulation itu, masih di tempat semula. Sebelum memasuki halaman, di gerbang PTS itu, banyak orang yang “dipaksa” menghentikan langkah sejenak oleh pampangan spanduk yang menyembulkan identitas Forum Komunikasi Mahasiswa Jakarta (FKSM) & Forum Kota (Forkot).

Apa yang terjadi? bukankah masa-masa mencekam diwarnai oleh semangat sipil dan “kewaspadaan tinggi” menuju negara demokrasi telah 24 tahun berlalu?  

Rupanya tokoh FKSMJ, Dr. Usmar Ismail, SE, M.M (57), hari itu baru saja dilantik menjadi Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama/B).  

Jabatan di birokrasi akademik fakultas bergengsi tersebut, ditabalkan padanya setelah bertahun-tahun ia menggeluti dunia akademis sebagai pengajar tetap. Ayah dari Putri Ushjerya Rachmadhani (10) ini, adalah suami dari Dr. Hermiyetti, SE, M.Si, CSRS, CSRA, yang juga seorang dosen, tapi di perguruan tinggi swasta berbeda.

Di era 1990-an, dunia aktivis memang mengasyikkan bagi anak muda seusia Usmar di Jakarta. Dalam perjalanan hidup di ibu kota, setelah perjuangan keras menundukkan keasyikan diri sendiri dalam gelimangan hidup sebagai aktivis, kuliah S1 dan S2 ia selesaikan pada 1995 dan 2005 di Unmoes (B), almamaternya. Gelar doktor ekonomi diraih Usmar secara ketat di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulsel (2019).  

Momen penabalannya sebagai dekan saat ini, cuma tinggal sekitar dua bulan jelang genap 24 tahun (21 Mei 2022) bergulirnya reformasi. Dua puluh empat tahun silam, di tengah derasnya desakan segera turun dari singgasana kekuasaan 32 tahun, pemimpin Orde Baru (Orba), Jenderal Besar Soeharto (alm) menyatakan diri berhenti. Sejak itu rezim otoriter-represif tumbang.

Seketika setelah itu, Wakil Presiden B.J. Habibie (alm) naik menjadi orang nomor 1 RI. Presiden ke-3 ini mengisi sisa masa kepemimpinan sang “guru besar” di tengah hiruk-pikuk mewujudkan agenda reformasi.  

Usmar, seorang penulis di banyak media, memang salah seorang tokoh aktivis dan pendiri FKSMJ. Terdesak dan kemudian turunnya rezim Orba tak bisa dilepaskan dari peran FKSMJ dan andil sosok Usmar, seperti juga peran banyak pihak yang segagasan sepemikiran meski berbeda pilihan jalan politik.

Lebih daripada sekadar pembawaan yang tenang, laki-laki kelahiran Lubuklinggau, Sumsel, 24 Oktober 1965 ini, dikenal amat akrab dalam kehidupan akademisi, tanpa meninggalkan keaktivisannya. Sebagai aktivis, ciri-ciri sebagai akademis tetap kental. Penjelasannya jernih, tidak abu-abu.  

Tak pelak lagi, Usmar menjadi sosok yang mampu mengkombain kapasitas akademis dengan keaktivisan. Baginya, sesuatu yang sensitif dalam kehidupan politik atau bernegara sekalipun, untuk kepentingan bangsa dan keteladanan, harus bisa jernih dijelaskan.  

Baca Juga: Kisah Adrian Takelayratoe Sangaji sebagai Perintis Batik Lampung

Dalam suatu dialog lintas generasi suatu ketika, misalnya, dia tunjukkan perinsip itu. Ketika itu ia meminta penjelasan seorang tokoh nasionalis senior, “Sebagai tokoh nasionalis di masa lalu yang kemudian duduk menjadi petinggi Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7), bagaimana menjelaskan sikap Bapak ini kepada generasi muda-muda saat ini.” Toh di ujung dialog itu, tinggalah interpretasi para peserta masing-masing.      

“Bang Usmar” adalah sapaan akrab untuknya dari para mahasiswa Usmoes (B). “Mar” merupakan panggilan akrab di lingkungan aktivis seangkatannya. Sapaan, adinda, ananda, juga Bung, datang dari kalangan nasionalis senior, semisal di kalangan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Usmar hingga kini mengetuai LKN, sebuah lembaga kebudayaan lawas yang punya sejarah panjang sealur laju perkembangan negeri ini.  

FKSMJ kembali menuntut pertumbuhan ekonomi yang bagus dan ikutannya, satu sisi dapat dirasakan oleh masyarakat pada era Orba. Di lain sisi, terdapat kurun yang sangat mencekam akibat terpasungnya kehidupan berpolitik. Keduanya bagai dua sisi pada sekeping mata uang logam.  

Terpasungnya kehidupan berpolitik saat itu, tak bisa dilepaskan dari kebijakan-kebijakan penguasa yang  otoriter-represif. Sebagaimana kenyataannya, politik dan kebijakan semacam itu, pasti mengimbas kemana-mana, termasuk pada kesempatan berekonomi, berpolitik itu sendiri, selain juga kehidupan pers. Semua itu terpulang dan berbasis pada budaya yang menjadi pijakan penguasa.    

Perlahan tapi pasti, dari yang semula respons berubah menjadi aksi; dari yang kecil, parsial, hingga membesar meletupkan ketidakpuasan di mana-mana. Kemunculan demi kemunculan, satu per satu dijawab oleh penguasa dengan penerapan kekuasaan yang represif hingga membungkam kebebasan.  

Akan tetapi, perlawanan demi perlawan dari masyarakat dan berbagai aktivis, terus bergulir. Akhirnya bertemu momen yang pas pada 1997 ketika negara ini dilanda jalaran kriris ekonomi yang membuncahkan krisis politik.  

Momen krisis tersebut disokong oleh parahnya kenyataan besarnya utang luar negeri (swasta dan negara) yang disebut sebagai “sengaja salah guna”. Maka, saat jatuh tempo terjadi gagal bayar. Utang dalam kurs dolar itu, praktis membubung besar terdongkrak oleh terjungkalnya nilai rupiah terhadap dolar.    

Semua itu menjadi beban rakyat yang sebenarnya selama masa Orba berkuasa, ikut menikmati banyak hal, termasuk bahan bakar minyak (BBM) yang ternyata murah karena berlatar belakang subsidi negara. Lebih parah lagi penikmat manfaat terbesar dari subsidi-subsidi ini adalah kalangan industri, khususnya dari lingkup keluarga dan kroni penguasa.  

Pernyataan-pernyataan “salah urus” yang dialamatkan kepada “pengurus negara”, sebenarnya telah lama dilontarkan oleh berbagai aktivis secara parsial. Tak isa dilepaskan dari aksi-aksi terdahulu sebagai suatu prolog, di tahun 1997 dan seterusnya, hal ini mulailah dilontarkan secara terang-terangan dan massif dalam gerakan bersama. Kondisi krisis ekonomi dan politik nasional menjadi alasan bagi berbagai Gerakan untuk bangkit.  

Aliansi seperti FKSMJ yang sebenarnya telah lahir jauh sebelum hiruk-pikuk reformasi 1998, muncul bersuara kian nyaring. Forum ini lahir pada 1993. Para mahasiswa dari kampus-kampus anggota FKSMJ bangkit memotori massa kembali turun ke jalanan.

Rosidi Rizkiandi dalam Kisah yang tak Terungkap 1998 menulis, tuntutan FKSMJ kepada Pemerintah, yaitu: 1) Penurunan harga 2) Menolak kenaikan harga BBM, 3) habisi dan kikis Orba, 4) Pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya, 5) Penegakkan supremasi hukum, 6) perbaikan ekonomi.  

Sementara Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred)  dan Forkot, tulis Rosidi lagi, masih menempuh jalan perjuangan yang lebih moderat. Keduanya dalam mengajukan tuntutan masih menempuh metode setengah kooperatif terhadap Pemerintah. Mereka masih mau mau melakukan dialog dengan DPR (2016: 293).    

Reformasi Belum Selesai

Sudah menjadi bagian dari sejarah perjalanan bangsa ini, sebagaimana pemerintah 20 tahun Bung Karno yang dijatuhkan, demikian pula dengan kepemimpinan 32 tahun Soeharto yang “dipaksa dan terpaksa” meletakkan jabatan.  

Wujud nyata turunnya kedua pemerintahan, memang didahului proses yang berbeda. Bagi Sukarno, terungkap berbagai fakta, termasuk defacto tak bisa menjalankan pemerintahan lantaran telah dijalankan oleh Soeharto sebagai “pemegang mandat” Surat Perintah 11 Maret. Puncaknya, justifikasi konstitusional lewat mekanisme tidak diterimanya pidato pertanggungjawaban Bung Karno, khususnya tentang Peristiwa G30 S, oleh MPRS.  

Sementara, Soeharto yang masih berkuasa dan sehat, dengan gagah tampil di Istana Negara “menyatakan diri berhenti” sebagai Presiden (sebelum diturunkan oleh rakyat, pen). Saat itu juga, sekaligus ia masih menunjukkan pengaruh kekuasaannya dengan meminta Wapres Habibie mengangkat sumpah di hapadan hakim Mahkamah Agung (MA) naik mengantikan posisinya. Cara ini ia sebut sudah sesuai konstitusi.

Begitulah puncak tuntutan 1998. Harus diakui, saat itu hampir semua tenggelam dalam pendapat, “Pokoknya yang penting Soeharto turun dulu”. Bahwa masih banyak yang harus dibereskan, itulah kenyataan hingga kini; Reformasi baru menuntaskan agenda-agendanya pada tataran formal. Paling kental adalah demokrasi pada tataran procedural yang “sangat menghibur”.

Pada tataran substansial, setelah 24 tahun berlalu, ternyata Reformasi belum juga mampu menuntaskan agenda-agendanya. Ini terutama amat terasa pada agenda penting yang berjalan begitu lambat, seperti pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya; penegakkan supremasi hukum yang masih menyisakan dekil-dekil pada penegak hukum sendiri; pemerataan berekonomi yang masih terkendala oleh persoalan keterbukaan kesempatan dan kemahalan ongkos yang sengaja “ditimbulkan” oleh jalur birokrasi. Semua ini, kerap berujung pada terungkapnya korupsi.    

Tokoh dan salah seorang pendiri FKSMJ, Dr. Usmar kini telah duduk sebagai  Dekan FEB. Ia tetap hidup sederhana, tidak menempuh jalan jalur fasilitas kekuasaan Negara atau pemerintahan. Meski, mungkin saja, hal itu bisa cepat-cepat ia “bermain” tepat ketika Reformasi telah “berhasil” menurunkan kekuasaan politik otoriter pada 1998.

Baca Juga: Literasi, Skeptisisme dan Euforia Kebebasan Berpendapat

Kekuasan otoriter kini telah berganti, tetapi masih sangat tajam bau “cuma berganti manusianya”. Karena tugas perguruan tinggi, bukan cuma mencetak lulusan bergelar, maka tak pelak lagi Bung Usmar bersama rekan-rekannya di perguruan tinggi di tanah air, punya tugas jauh lebih besar daripada itu.

Tugas tersebut, yakni menuntaskan agenda reformasi, khususnya dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM). Bukan pembangunan manusia berkarakter Indonesia yang sekadar ada dalam omong-omong. Apalagi cuma jargon pembangunan manusia seutuhnya seperti di era Orba yang pandai berkampanye, bahwa “Orla adalah era tidak satunya kata dengan perbuatan”.  

Bagaimana dengan saat ini? Tak seorang pun melompat dari dari masa lampau yang kosong. Sejarah adalah tentang masa lalu yang mengantarkan ke masa kini sebagai pintu keluar ke jalan menuju masa yang lebih baik.  

Dalam mewujudkan semua itu, seperti didapati saat ini, sungguh sebuah proses yang tak gampang melaluinya karena menyangkut manusia. Bangsa ini tengah berada di antara kesulitan membedakan antara sekadar ingin, layak, dan ideal. Tetapi patut diingat, kegagalan mewujudkannya, akan berdampak pada sekadar Kembali membuncahkan nostalgia, bangga masa lalu.  

Jangan biarkan bilangan-biangan usia itu, lewat begitu saja. Jangan pula buat abu-abu seolah-olah kejelasan. Apalagi, mempertemukan  dongeng dan pengkhianatan di persimpangan jalan.  

Berbalik, seperti “kalimat pasaran” yang banyak ditemukan di pintu bak truck-truck “isih kepenak jamanku to le” (lebih enak di zaman ku), juga bukan sebuah pilihan. Itu cuma kerinduan akan roti yang menyelimuti agenda kebohongan.  

Kawan-kawan, kemerdekaan RI telah pula lewat dari tigaperempat abad. Reformasi sudah bergulir 24 tahun. Point of no return! (*)