Kisah Adrian Takelayratoe Sangaji sebagai Perintis Batik Lampung
Suryadi, telisik indonesia
Sabtu, 05 Maret 2022
0 dilihat
Adrian Takelayratoe Sangaji (kiri) dan Suryadi (kanan). Foto: Ist
" Para jurnalis Lampung atau Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Lampung, rasa-rasanya adalah pihak yang pertama-tama kali paling pantas mengusulkan almarhum sebagai perintis Batik Lampung "
Oleh: Suryadi
Pemerhati Pers dan Budaya
DIA seniman tulen! Agaknya, Itu kalimat pendek yang pantas ditabalkan pada Adrian Takelayratoe Sangaji. Ia berpulang Rabu malam (2/3/2022) di Kota asalnya, Bandar Lampung, Ibu kota Provinsi lampung.
Para jurnalis Lampung atau Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Lampung, rasa-rasanya adalah pihak yang pertama-tama kali paling pantas mengusulkan almarhum sebagai perintis Batik Lampung. Kok?
Tentang orang yang telah berpulang, ceritakan dan ingat-ingatlah hanya kebaikkannya, kemudian petik hikmahnya. Pesan agama --yang almarhum Adrian dan aku anut-- ini, kerap disampaikan oleh para orangtua kepada putra-putrinya, termasuk aku.
Tulisan ini cuma sepenggal dari sedikit tentang almarhum Adrian. Karena, memang sebagian kecil saja yang kuketahui tentang seniman tulen asal Lampung itu. Waktu tepatnya aku mengenal almarhum antara 1978 dan 1992.
Sepanjang kurun tahun-tahun itu pun, terpotong-potong aku mengenalnya, lantaran kami memang tidak selalu kumpul. Ia berkiprah sebagai seniman lukis sesuai panggilan nuraninya. Aku, yang sesekali juga melukis atas dasar sekadar hobi sejak SMP, lebih banyak memenuhi tuntutan profesi jurnalis, “keluyuran” untuk involve dalam kehidupan rakyat jelatah,
Terakhir, ketika dapat kabar ia berpulang dari kakak sulungku, aku sudah sekian puluh tahun putus komunikasi dengannya. Kudengar ia tinggal di bilangan Kaliawi, Kota Bandar Lampung. Aku sendiri di Depok, wilayah Jawa Barat, berbatasan langsung dengan belahan Jakarta Selatan.
Adrian jauh lebih tua daripadaku dan adiknya, Adnan Takelayratoe Sangaji (Nan). Namun, saking akrabnya, Adrian kusapa saja dengan “Yan”. Secara etis, kurang ajar, mungkin ya?! Terpenting, dalam hematku, ia pantas diusulkan sebagai Perintis Batik Lampung.
Usulan itu subjektif, memang! Ya, memang, lantaran aku mengenalnya lebih pada tataran personal. Masih menurut subjektifku, pihak yang pertama-tama layak mengusulkan Yan menyandang gelar Perintis Batik Lampung, adalah jurnalis dan organisasi profesi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lampung.
Mengapa harus jurnalis atau PWI Lampung? Berikut alasan sederhana yang berkembang di benakku:
Pertama, Adrian adalah pelukis. Mungkin, lebih tepatnya lagi, dia “seniman tulen”. Bisnis baginya penting, tapi untuk menggelutinya “itu soal nanti saja”.
Karena, baginya yang utama adalah bagaimana berkesenian; Kedua, sepulang tinggal beberapa waktu lamanya di tanah Jawa, tepatnya kota gudeg Yogyakarta, Adrian kembali ke Lampung. Di sini ia mengangkat khasanah budaya Lampung dan mengembangkannya ke dalam lukisan batik, yang kemudian dikenal sebagai Batik Lampung.
Patut diingat, saat itu batik sangat akrab dengan Jawa sebagai tradisi dan budaya; Ketiga, dia yang menggegerkan dunia Lukis Indonesia waktu itu lewat atraksi melukis langsung di tubuh pragawati terkemuka, Eni Soekamto. Kegiatan ini dilaksanakan di Gedung Olahraga (GOR) “Saburai”, Enggal, Kodia Tanjungkarang-Telukbetung (kini Kota Bandar Lampung).
Keempat, mencipta motif batik Lampung untuk (seragam) baju safari batik dan kemeja lengan Panjang Kontingen Lampung untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) 1981 di Jakarta; Kelima, mencipta motif batik Lampung untuk kemeja batik panitia Diskusi Olahraga Nasional (DON) di Telukbetung, 1982. Diskusi ini diadakan di Gedung Pusiban Pemprov Lampung, di Telukbetung. Menkokesra, Jenderal Soerono yang membuka DON.
Sosok-sosok jurnalis, antara lain alm. Sondang Meliala (SIWO-PWI Pusat), alm. Solfian Ahmad (Ketua PWI Lampung), Harun Muda Indrajaya (Ketua SIWO-PWI Lampung), dan Dadang Riswa Wahid (wartawan Lampung Post/SIWO-PWI Lampung) adalah nama-nama yang tidak bisa dilupakan dari event PON 1981 dan DON 1982.
Dadang terakhir adalah Pemimpin Redaksi I Harian Lensa Generasi (d/h LENSA). Koran harian Lampung ini terbit di Jakarta dan lantaran itu pula kemudian dicabut surat izin usaha penerbitannya (SIUP)-nya oleh rezim penguasa otoriter-represif waktu itu.
Sekadar catatan, peran jurnalis Lampung terhadap olahraga nasional pada masa itu (1980-an), khususnya sepakbola dan tinju, tak bisa diabaikan begitu saja. Jurnalis di Lampung mendorong, tentu dengan peran SIWO-PWI pusat yang akomodatif, sampai bisa mewujudkan event nasional sepakbola “Sepatu Emas” (SE) dan “Sarung Tinju Emas” (STE).
Kini kuketahui, SE dan STE, tak lagi rutin “diputar”. Ketua PWI Pusat saat ini, Atal Depari, pasti tahu itu. Pada masa itu, dia serta sejumlah teman, seperti Djunaidi Tjunti (Suara Karya), alm, Alfian (Merdeka), Hartono (Kompas), Hardo (Berita Buana), T.H. Poerba (KNI, Lampung), Asnawi Helyan Belinau (Antara, Lampung) sangat atentif terhadap dunia olahraga sepak bola dan tinju.
Pada masa itu, bertumbuhan nama-nama petinju generasi di bawah Syamsul Anwar, antara lain Joni Asadoma (petinju Bali asal NTT, kini Kepala Hubungan Internasional Polri dengan pangkat Irjen Pol), Adi Suwandana (Bali), Sunarto, Amir Hamzah dan Yo Harmen (Lampung).
Baca Juga: Aturan Baru Pencairan JHT, Kebijakan Zalim Eksploitasi Para Pekerja
Pendek kata, Lampung sempat menjadi pusat perhatian dalam hal perkembangan olahraga nasional menyusul kemunculan SE dam STE, berkat dorongan PWI Lampung. Tambahan lagi DON diselenggarakan di Lampung.
Keaktifan jurnalis Lampung pula, yang membangkitkan peran tokoh olahraga asal daerah ini, Ir. Marzuli Warganegara (alm), ke forum olahraga nasional. Ia adalah penyumbang tropi SE dan STE-nya, yang terus-menerus mengokohkan kedua event ini diselenggarakan dari provinsi ke provinsi. Penulis sendiri bersama pelatih atletik alm. Daniel Dance Pattinasari dan Acta Djeli Panglima menghidupkan kembali olahraga atletik yang beberapa lama sempat mati suri di sini dengan mendatangkan pelatih asing asal Australia, Jack Pross dan Tom Hankock.
Perkenalkan Kembali
Tentang Adrian, aku tak tahu persis bahwa ia kerap terlibat di “belakang layar” untuk sejumlah koran yang terbit di Kodia Tanjungkarang-Telukbetung (kini Kota Bandar Lampung) pada masa itu.
Akan tetapi, aku tahu pasti ia memang dekat dengan sejumlah nama jurnalis, termasuk Harun Muda Indrajaya (in). Waktu itu In sudah wartawan senior Harian Lampung Post. Tetapi, In juga kerap menulis untuk Harian Merdeka, Jakarta, khususnya berita-berita olahraga sepak bola dan tinju.
Sebagai jurnalis, event olahraga adalah juga bidang yang banyak kuliputi secara intens. Di samping, tentunya, bidang-bidang sosial lainnya, khusunya pertanian (padi dan kopi) yang waktu itu menjadi ikon Lampung.
Nan, adik kandung Adrian, adalah “layout man” dan korektor Harian “Lampung Post” di tahun 1970-1980-an. Aku sendiri koresponden Harian Berita Buana (1978-1981), yang kemudian pindah kerja menjadi wartawan LKBN Antara (1980-1986) Lampung, banyak tahu tentang Nan.
Di mataku, Nan punya kepekaan yang bagus sebagai jurnalis. Karena itu pula, aku selalu mendorongnya untuk berlatih menulis jurnalistik dan kirim-kirim tulisan ke koran di Jakarta. Suatu ketika, akhirnya tembus juga, tulisannya banyak dipublikasi oleh Mingguan Olahraga Tabloid Bola (Kompas Gramedia Grup). Ia sempat menjadi koresponden Harian Pelita, Jakarta. Pada era itu koran terbitan Jakarta masih disebut koran nasional, dan karena itu banyak yang bangga menjadi jurnalisnya.
Faktanya kemudian, baru kusadari memang lantaran aku dan Nan sama-sama jurnalis lah yang membuat aku banyak mengenal Yan. Aku dan Nan sering bermalam di rumahnya di Metro, bila kami ke ibu kota Kabupaten Lampung Tengah (waktu itu).
Tak jelas, apa alasannya, Yan menaruh perhatian banyak terhadap keterampilanku dalam tulis-menuis jurnalistik. Kami sering terlibat percakapan semalam suntuk di rumahnya, yang tak jauh dari pasar Kota Metro. Ia merokok seperti “kereta api”, habis sebatang sambung lagi dengan batang rokok yang lain. Sampai pagi. Kerap kedapatan ia tak sadar bahwa aku sudah tertidur di sampingnya di kamar depannya yang juga merangkap sanggar Batik Lampung di Kota Metro. Waktu itu, putranya dua orang. Edo dan Ari nama kedua anaknya, seingatku.
Baca Juga: Belajar Cerdas dari Kasus Wadas
Begitu akrabnya kami, sampai-sampai di tahun 1982, Yan sempat dengan tangannya sendiri merancang batik dan membuatkannya kemeja lengan pendek untukku. Ya Batik Lampung. Tergurat di lembar batik litu “Batik Tulis, Batik Lampung, 9682”. Itu adalah guratan tangan almarhum langsung pada 9 Juni 1982.
Provinsi Lampung, yang semula hanya terdiri atas satu kota dan tiga kabupaten, kini telah bermekaran menjadi dua kota dan 13 kabupaten. Di kota dan kabupaten itu, bertebaran sangar-sanggar Batik Lampung.
Apalagi di Kota Bandar Lampung yang merupakan Ibu Kota Provinsi ujung selatan Pulau Sumatera ini. Galerinya bisa ditemukan di toko-toko atau pusat-pusat belanja. Juga, di pelabuhan atau di Bandara Radin Inten, Natar, Lampung.
Bertebarannya sanggar-sanggar Batik Lampung, pasti juga diikuti oleh kian memasyarakatnya Batik Lampung. Konsumennya, tentu tak ketinggalan para pelancong yang datang berwisata ke Lampung. Juga, terbanyak pastilah orang-orang lokal Lampung sendiri yang bangga terhadap produk lokalnya, Batik Lampung.
Akan tetapi, tahukan bahwa perintis Batik Lampung yang mereka kenakan itu adalah Adrian Takelayratoe Sangaji? Jangan tenggelamkan di bawah semaraknya Batik Lampung. Sosok yang tak pernah peduli dengan popularitas ini, tampaknya patut segera “diperkenalkan kembali” oleh para jurnalis dan PWI Lampung. (*)