Puan Maharani Sedang Gemar Mengkritik Pemerintah
Kolumnis
Sabtu, 07 Agustus 2021 / 1:35 pm
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
DUA pekan ini Puan Maharani serasa menjadi topik utama di berbagai media. Puan sedang gemar mengkritik pemerintah. Kritik Puan ditujukan terhadap berbagai persoalan penanganan Pandemi COVID-19 oleh pemerintah.
Suara Puan begitu intens, hampir setiap hari, seperti menyoal ketidak kompakan komunikasi Pemerintah mengenai PPKM, menyoroti kelangkaan oksigen, meminta evaluasi PPKM, mempertanyakan durasi makan 20 menit, meminta tindak tegas pelaku mafia dan penimbun obat, dan sebagainya.
Apa yang dilakukan Puan Maharani tentu saja baik. Puan adalah Ketua DPR, yang merupakan representasi dari suara di Gedung Senayan. Pimpinan DPR sebagai pengatur rapat dan berperan pula sebagai wakil dari seluruh anggota parlemen ketika lembaga itu berhubungan dengan lembaga lain.
Oleh sebab itu, dalam negara-negara berbahasa Inggris, Ketua Parlemen biasanya disebut “speaker” of the parliamet/house (Efriza & Syafuan Rozi, 2010).
Sudah semestinya sebagai wakil rakyat, ia dituntut bekerja untuk lebih banyak berbicara. Apalagi jika dikaitkan dengan merujuk parlemen dari bahasa Prancis yang diungkapkan sebagai “parler” yang artinya “untuk berbicara.” Suara Wakil Rakyat menunjukkan bentuk dari mewakili kondisi dan perasaan dari rakyat.
Namun, tak semudah itu bahwa simpatik publik dan poin positif dengan serta-merta sudah diraih sepenuhnya oleh Puan Maharani yang sedang “getol” mengkritik Pemerintah.
Keras di luar, Melempem ke Dalam
Kritik Puan terhadap pemerintah adalah hal positif. DPR memang salah satu fungsinya adalah berfungsi mengawasi kerja dari pemerintah. Jika kita amati berbagai kritik yang dilontarkan oleh Puan Maharani, sifatnya masih bersifat mitra.
Ia mengingatkan pemerintah, seperti untuk melakukan evaluasi sebelum dilakukan perpanjangan PPKM Darurat, misalnya. Ia juga mendorong pemerintah dan aparat kepolisian untuk tindak tegas pelaku mafia obat yang menimbun obat-obatan terapi COVID-19 (Telisik.id, 1 Agustus 2021).
Puan saat ini lebih banyak bersuara menggunakan empati dan memahami kondisi dan perasaan rakyat. Inilah sisi positif dari suara Puan yang coba dihadirkannya. Ia menunjukkan sisi sebagai Ketua DPR yang kritis, perempuan yang lebih menggunakan hati dalam berbicara.
Kalimat yang dihadirkannya dalam bersuara bukan dengan nada keras dan kasar untuk pemilihan katanya. Melainkan denan bahasa sederhana, nadanya lembut tetapi menunjukkan kepedulian, serta adanya substansi sebagai mitra pemerintah berupa anjuran, nasihat, dan masukan. Puan sedang mengkritik sebagai sahabat pemerintah, bukan musuh pemerintah.
Apa yang disampaikan Puan bukan bentuk oposisi terhadap pemerintah, melainkan bekerjasama dengan pemerintah, tetapi sebagai mitra yang sedikit kritis. Langkah Puan ini lebih baik dibandingkan dengan yang dilakukan Effendy Simbolon maupun Ribka Tjibtaning.
Misal, Ribka bersuara keras, malah menghasilkan efek hingga kini yakni masyarakat masih banyak yang enggan divaksin. Ribka terkesan “asal bersuara kencang” saja dengan tanpa memilih kata-kata yang tepat, masukan yang bijak, akhirnya ia punya peran atas sikap masyarakat yang tak mempercayai vaksin.
Effendy pun malah menunjukkan suara terkesan “ngedumel,” tidak bisa “move on,” dengan mengungkit keputusan di awal pemerintah yang tak melakukan lockdown malah memilih pembatasan kegiatan masyarakat.
Sayangnya, suara mengkritik dari Puan Maharani lebih banyak bersuara keras di luar (terhadap pemerintah). Dalam beberapa hari ini masih di minggu ini, Puan malah dianggap tak peduli. Ketika Sekjen DPR membuat Surat Edaran terkait Penyediaan Fasilitas Isolasi Mandiri (Isoman) bagi Anggota DPR yang terpapar tanpa gejala (OTG) maupun gejala ringan, tetapi Pimpinan DPR termasuk Puan tak bersuara terkesan mendiamkan dan setuju dengan keputusan itu.
Namun, ketika suara-suara anggota DPR yang merepresentasikan 9 partai politik di Senayan, memberikan suara menolak fasilitas isoman di hotel untuk anggota DPR, baru hari ini Puan bersuara meminta Sekjen DPR mengevaluasi kembali rencana penyediaan fasilitas isoman yang berasal dari lingkungan DPR tersebut (Wartaekonomi, 2021).
Baca juga: Rapor Merah Pemerintahan Jokowi dalam Penanganan Pandemi COVID-19
Baca juga: PPKM Darurat dan Komunikasi Buruk Pemerintah
Analisis Atas Suara Puan Maharani
Jika kita amati dan pelajari suara-suara kritis dari PDI Perjuangan sebagai partainya Presiden Jokowi, tak dapat diartikan sedang melakukan peran politik sebagai oposisi. Suara Puan Maharani juga dilakukan bukan menunjukkan ia sedang ada konflik maupun berseberangan dengan Presiden Jokowi maupun pemerintah.
PDI Perjuangan malah sedang melakukan hubungan harmonis. PDI Perjuangan sedang menjaga pemerintah dengan menghalau suara-suara sumbang. Suara sumbang yang awalnya terlihat catchy, dilakukan oleh Partai Demokrat melalui Edhi Baskoro Yudhoyono (Ibas), sebagai simbol oposisi.
Sebab, Partai Demokrat berada di luar koalisi pemerintah. Ternyata tak terdengar lagi, setelah Ibas malah diajak untuk ikut rapat dan bersuara lantang di rapat. Rekan-rekan Ibas di Komisi VI sendiri yang membongkar sifat Ibas yang enggan datang di rapat, upaya panjat sosial (pansos) Ibas malah menjadi seperti ia “tertelan lidah sendiri.”
Panggung pun dimainkan oleh PDI Perjuangan dengan leluasa. Ketika Epidemolog UI, misalnya, menyebut pemerintah sedang dalam kondisi menuju jalur jebakan pandemi (pandemic trap). Langsung PDI Perjuangan menggiring suara masyarakat dengan suara tak bisa “move on,” sebab pemerintah tak mengambil keputusan lockdown malah dipilihnya pembatasan kegiatan masyarakat.
Tentu saja upaya menggiring opini, dikunyah dan dibahasakan kembali oleh Partai Demokrat. Akhirnya, Partai Demokrat bersuara mengikuti arahan dari PDI Perjuangan, mereka terkesan hanya mengikuti arus saja, tak ada kreativitas sendiri.
Dikhawatirkan malah PD diplesetkan sebagai Pimpinan Daerah PDIP.
Itulah lakon yang sedang dilakukan oleh PDI Perjuangan. Endingnya, bisa dipahami, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun langsung menguraikan alasannya kepada publik untuk lebih memilih PSBB/PPKM dibandingkan lockdown.
Akhirnya, simpatik dan poin positif juga bisa diperoleh pemerintah dari publik. Inilah cara membungkam oposisi dengan menerapkan strategi “penyerang palsu.”
Jika kita amati sebenarnya apa yang dilakukan oleh Puan Maharani. Sebagai uji publik, setelah ia dikritik oleh BEM UNNES sebagai “Queen of Ghosting”. Puan juga menunjukkan bahwa ia bukan sekadar ‘Ratu Baliho,’ setelah ia mengkritik rekan sejawatnya Ganjar Pranowo dengan menyatakan Pemimpin itu berjuang di lapangan, bukan di media sosial (medsos), (telisik.id, 06 Juni 2021).
Saat ini suara Puan dengan mengkritik pemerintah tak bisa dipungkiri dalam upaya untuk menuju Pilpres 2024 mendatang. Puan memang dari elektabilitas sebagai calon presiden dalam berbagai survei, hanya meraih suara sebesar 1 persen, jika dibandingkan dengan koleganya Ganjar Pranowo yang masih menempati tiga besar dan perolehan suaranya mencapai angka dua gigit (telisik, 06 Juni 2021).
Elektabilitas Puan memang kecil di survei calon presiden, tetapi bagus sebagai calon wakil presiden. Misal, Survei Y-Publica menjelaskan dalam bursa cawapres, nama Puan berada di atas Sandiaga Uno. Puan 16,2 persen sedangkan Sandiaga Uno sebesar 15,6 persen, (detik.com, 26 Mei 2021).
Wajar akhirnya, karena elektabilitas tersebut, muncul suara dari Ketua Bidang Pemenangan DPP PDIP yang menganalogikan Puan Maharani seperti ‘the botol sosro.’ Dengan menyatakan, “Siapa pun calon Presiden 2024, Puan Maharani calon wakil presiden pendampingnya” (detik.com, 09 Juni 2021).
Berbagai sindiran inilah yang sedikit banyak, membuat Puan Maharani berupaya membangun imej lebih baik dan berbeda. Sebagai peraih suara terbanyak pertama dari 575 anggota DPR, dengan terhormat ia menjadi Ketua DPR sebagai representasi suara rakyat melalui suara terbesar pertama partainya dan dirinya.
Maka wajar, jika ia ingin menunjukkan kepada publik bahwa ia juga bisa bersuara, bukan suara sumbang tanpa arah, tetapi sebagai mitra pemerintah. Puan sedang berusaha keluar dari analogi “The Botol Sosro,” ia ingin menunjukkan bahwa ia punya kepantasan sebagai bakal calon Presiden 2024, tak sekadar siapapun calonnya Puan adalah wakil presidennya.
Meski langkah Puan saat ini baik, tetapi yang perlu diingat oleh Puan dalam menyampaikan kritik/bersuara adalah: Pertama, Puan harus berupaya mengkritisi pemerintah dengan data-data, tidak sekadar arahan, nasihat, maupun sekadar mengingatkan. Sebab, suara Puan saat ini yang begitu intens akan menjadi terlihat sekadar Pansos, tetapi tanpa substansi yang mendalam.
Kedua, Puan juga harus bersuara keras ke dalam utamanya internal DPR, agar jangan sampai adanya kebijakan yang dikeluarkan di lingkungan DPR tetapi terkesan tanpa menginformasikan maupun sekadar berdiskusi dengan Pimpinan DPR, seperti yang dilakukan oleh Setjen DPR mengenai Fasilitas Isoman di Hotel untuk lingkungan DPR.
Ketiga, Puan juga harus menunjukkan aktivitas yang lebih mendekat kepada masyarakat, dengan juga menunjukkan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat. Jangan sekadar bersuara saja apalagi hanya mengirimkan press release semata ke media, khawatir masyarakat akan jengah dan ada asumsi itu bukan suara Puan tetapi ada yang mengkonsepkannya. Apalagi jika ingin menjadi calon presiden, kehadiran di tengah masyarakat bagian dari bukti kepedulian dan bahkan kehadiran negara.
Keempat, Puan juga harus membangun kekuatan ke dalam internal PDI Perjuangan, agar suara dari Puan Maharani juga turut menjadi aktivitas positif yang dilakukan oleh partai untuk lebih mendekat kepada masyarakat.
Kelima, Puan harus berjuang merebut simpatik di masyarakat dan di internal PDI Perjuangan, dengan membuka kesempatan dan sikap kompetitif kepada anggota-anggota PDI Perjuangan yang dirasakan oleh konstituen internal PDI Perjuangan memiliki kans untuk menjadi calon presiden.
Keenam, tentu saja, hal yang selalu tampak dari luar di masyarakat, Puan harus menunjukkan bukanlah sosok penyendiri bak “kaum ningrat” dengan menghindar dari aktivitas kepartaian, ia harus ada bersama konstituen dan masyarakat melalui aktivitas kemanusiaan PDI Perjuangan di tengah pandemi. (*)