Partai Ummat Tampak Layu Sebelum Berkembang

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 17 Oktober 2021
0 dilihat
Partai Ummat Tampak Layu Sebelum Berkembang
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Masalah pendanaan operasional ini adalah problematika utama menyebabkan partai-partai di Indonesia cenderung pragmatis untuk memilih menjadi pendukung pemerintah dibandingkan sebagai oposisi yang solid. "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

SETELAH Zulkfli Hasan terpilih kembali sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), terang benderang publik dapat menyaksikan Amien Rais yang selalu digembar-gemborkan sebagai ikon PAN, tak lagi dianggap dengan realitas Amien Rais tak dilibatkan di kepengurusan PAN periode 2020-2025.

Konflik ini juga terjadi karena perbedaan kepentingan antara keinginan Ketua PAN yang terpilih Zulkifli Hasan dengan Amien Rais sendiri, dalam menyikapi pengambilan keputusan partai yakni apakah sebagai pendukung pemerintahan terpilih Joko Widodo (Jokowi)-KH. Ma’ruf Amin atau memilih di luar pemerintahan bersama dengan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).  

Jelas sekali pilihan Zulkifli Hasan yang akan selalu menganggap perbedaan pilihan di Pemilihan Umum (Pemilu) tidak selalu harus berbeda ketika pasca pemilu. Zulkifli Hasan ingin kembali masuk gerbong pemerintahan Jokowi seperti kala Jokowi memerintah di periode pertama bersama dengan Jusuf Kalla (JK).

Bagi Zulkifli berada di luar pemerintah adalah pilihan yang tentu tidak mudah, selain membutuhkan energi besar, juga perlu selalu menawarkan gagasan yang lebih baik dari pemerintah tidak sekadar berbeda maupun sekadar asal bunyi dalam berkomunikasi sebagai oposisi, dan problematika yang utama adalah terkait pendanaan operasional partai.

Masalah pendanaan operasional ini adalah problematika utama menyebabkan partai-partai di Indonesia cenderung pragmatis untuk memilih menjadi pendukung pemerintah dibandingkan sebagai oposisi yang solid.

Setidaknya bermain gimik dengan politik “dua kaki,” berupa langkah politik pragmatis sebagai pendukung pemerintah tetapi juga mencoba mengkritisi pemerintah, seperti yang pernah dilakukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dulu pada 2009 lalu.

Mereka menerima posisi Ketua MPR sekaligus menyatakan berada di luar pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tetapi tidak lagi menyatakan oposisi melainkan menggunakan diksi berbeda yakni sebagai mitra kritis pemerintah.

Terlempar dari pertarungan sebagai figur sentral di PAN yang sejatinya Amien Rais adalah pendiri dan ikon PAN, dengan ditambah juga masukan yang cenderung negatif tanpa berpikir realistis. Seperti yang sudah lumrah terjadi, kegagalan dalam pertarungan di internal maupun merasa berbangga diri seakan ia adalah sosok matahari kembar, acap menghasilkan partai-partai baru menjelang periode pemilu ke depannya, seperti Hanura, Gerindra, Partai Nasdem, Perindo, Partai Berkarya, Partai Gelora Indonesia, dan Partai Ummat.

Baca Juga: Kesuksesan Pembelajaran Tatap Muka Minggu Pertama

Baca Juga: Panggung Politik Kembali Bergoyang

Partai Ummat Tak Solid

Amien Rais figur politisi berbeda, ia tak bisa bermain dua wajah. Sayangnya, ia tak punya kekuatan besar di partainya sendiri. Berbeda dengan Megawati, misalnya, yang memilih oposisi, maupun mitra kritis, tetapi tetap dihormati di partainya sendiri, faksi jika ingin dikatakan antara Taufik Kiemas dan Megawati dulu sejatinya tak pernah menjadi konflik berkepanjangan.  

Ikon Megawati tak pernah pudar, seluruh anggota partai menghormatinya, apalagi ketika PDIP menjadikan Megawati sebagai pengambil keputusan tunggal di partainya. Ini menunjukkan PDIP dan Megawati merupakan satu kesatuan. Amien Rais tak bisa melakukan itu, ia kencang di luar tetapi melempem di dalam. Amien Rais tak belajar dari kegagalan pengalaman Partai Matahari Bangsa (PMB), yang juga sempalan dari PAN sebelumnya.

Amien Rais berpikir bahwa ketokohan dirinya dianggap dapat membesarkan Partai Ummat. Partai Ummat pun berdiri dengan dasar kekeluargaan yang begitu kental, dari anak hingga menantunya. Dengan juga turut mengikuti beberapa anggota legislatif sempalan dari PAN, kader kepengarusan sempalan dari PAN, serta juga turut mengikuti beberapa orang-orang yang seirama dengan Amien Rais yang masih senang menguras emosi masyarakat dengan isu politik identitas.

Dalam perkembangannya, Partai Ummat layu sebelum berkembang. Kepengurusan dari tingkat pusat satu persatu meninggalkan partai ummmat dengan berbagai alasan seperti Agung Mozin mengundurkan diri, disusul oleh Neno Warisman sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Ummat, dilanjutkan dengan pengunduran diri 26 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Ummat Kota Depok, kemudian disusul dengan sejumlah 19 kader pengurus aktif DPD Partai Ummat di Cianjur.

Penyebab mundurnya kader-kader partai mudah dipelajari oleh publik. Terjadi dualisme kepemimpinan. Membuktikan bahwa di tubuh partai ini telah terjadi faksi-faksi sehingga terjadinya dualisme kepemimpinan seperti terjadi di Kota Depok dan Cianjur.

Jelas mudah dipahami, bahwa ikatan antarfaksi ditubuh partai lebih dipengaruhi oleh kepentingan individu/kelompok dibandingkan adanya kesamaan gagasan. Kepentingan faksi-faksi ini hanya satu saja berupa pertarungan perebutan kepemimpinan, ini juga turut membuktikan kehadiran mereka di dalam partai bukan atas panggilan hidup maupun kesamaan tujuan, tetapi kehadiran dalam kancah politik partai lebih diutamakan karena faktor mencari pekerjaan dan penghidupan semata.

Jelas tampak di sini, Partai Ummat dibentuk bukan atas dasar kesamaan tujuan dan harapan yang kemudian menjadi dasar semangat ideologis partai. Sehingga yang terjadi adalah betapa lemahnya soliditas elit di tubuh Partai Ummat.

Dapat diduga orang-orang yang berhimpun di dalam Partai Ummat sebagai pendiri lebih dikarenakan “barisan sakit hati,” yang umumnya dapat mudah diduga telah terlempar dalam kepengurusan baru dari PAN, hal ini bisa kita pelajari dan pahami bahwa sebelum munculnya Partai Ummat, Amien Rais didesak untuk membuat Partai PAN tandingan dengan nama PAN Reformasi, seperti pernah terjadi hadirnya PPP Reformasi, tempo lalu.

Mengatasi Konflik Partai Ummat

Perkembangan partai saat ini di era Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 telah menunjukkan bahwa Partai-partai baru yang kehadirannya dari latar konflik elit dari partai sebelumnya tidak lagi memperoleh simpatik masyarakat.

Kecenderungan Pemilu 2019 juga dapat dipelajari bahwa masyarakat sebagai pemilih dalam memilih juga sudah lebih baik, serta juga dengan adanya Parliamentary Threshold (PT) sebesar 4 persen, yang menunjukkan bahwa kehadiran partai-partai baru tidak mendapatkan kesempatan memperoleh kursi-kursi legislatif di Senayan.

Partai Ummat tetap masih punya peluang untuk lolos dalam proses administrasi maupun sebagai peserta pemilu. Seperti, untuk mensiasati seleksi kemekumham dapat dilakukan dengan melakukan akuisi terhadap partai sebelumnya yang telah mendapatkan badan hukum di kementerian hukum dan hak asasi manusia (Kemenkumham), seperti yang dilakukan Partai Idaman maupun Perindo dulu.

Tak dmungkiri berdasarkan catatan di Kemenkumham setidaknya hingga 2016 terdapat 75 partai politik yang telah berbadan hukum. Jadi sangat mudah untuk lolos persyaratan badan hukum di Kemenkumham.

Akan berbeda dengan persyaratan verifikasi administrasi dan faktual dari KPU sebagai persyatan menjadi peserta Pemilu. Tentu jika partai ini ingin lolos, partai ini harus melakukan konsolidasi partai. Dualisme kepemimpinan terjadi menurut penulis, karena dibiarkannya tumbuh subur faksi-faksi di tubuh Partai Ummat, ini harus segera diselesaikan dengan cara disatukan.

Langkah  ini dapat dilakukan dengan Amien Rais menguatkan diri sebagai Ikon Partai Ummat. Amien Rais semestinya lebih sibuk membenahi di dalam, ia dapat belajar seperti Surya Paloh yang melakukan konsolidasi partai di setiap wilayah, kehadirannya menjadi penguat identitas partai.

Partai Ummat juga perlu memilih identitas yang lebih tepat, saat ini identitas dengan membangun sentimen identitas keagamaan sudah mulai lumpuh. Sejak Jokowi dengan cerdik memilih Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden yang menyatukan suara umat Islam dengan latar belakang Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kedua, runtuhnya ikon oposisi pemersatu dengan masuknya Prabowo Subianto dalam barisan koalisi pendukung pemerintahan terpilih Jokowi-Ma’ruf Amin.  Oleh sebab itu, lebih baik Partai Ummat membangun kembali identitas kepartaian yang lebih bersifat terbuka, dengan menawarkan ide-ide segar bagi perkembangan bangsa dan negara ini ke depannya.

Pilihan terakhir yang bisa dilakukan adalah Partai Ummat memilih cara elegan seperti Partai Idaman, jika dirasakan tak mungkin lolos syarat verifikasi administrasi dan faktual di KPU, tak ada salahnya bergabung dengan partai lama lainnya maupun kembali ke pangkuan PAN.

Tentu saja, dua langkah ini sangat berat, jika Amien Rais yang pernah menjadi ikon PAN memilih partai lama lainnya pun jika kembali ke pangkuan PAN, nama besar, kehormatan dan martabat seperti dipertaruhkan, tetapi bisa saja, sebab ini adalah kehidupan politik.

Pilihan lainnya adalah bergabung dengan memilih salah satu partai baru yang kemungkinan membutuhkan basis massa dan ikon yang mumpuni untuk partai mereka. Jika pun tidak, sebaiknya, Amien Rais menjadi negarawan saja, dengan menyerahkan urusan partai kepada yang muda, ia tetap bisa menjadi pengkritik pemerintah yang menyejukkan, layaknya Jusuf Kalla (JK). (*)

Artikel Terkait
Kelapa

Kelapa

Kolumnis Minggu, 29 Maret 2020
Baca Juga