Kambing Hitam Banjir
Indarwati Aminuddin, telisik indonesia
Minggu, 16 Februari 2020
0 dilihat
Indarwati Aminuddin Ombusman Telisik.id Foto Istimewa
" Mengingat banjir ini ternyata tak mudah diprediksi, saya khawatir beberapa jadwal Bali dan Kendari akan terganggu. Biasanya banjir membuat sebagian rute jalan dialihkan, janji janji ditunda, lebih parah lagi kita tak bisa menyalahkan siapa siapa karena hujan deras ini. "
Oleh: Indarwati Aminuddin
Ombudsman telisik.id
Musim hujan masih terjadi di sebagian wilayah Indonesia. Di televisi, banjir digambarkan secara masif ; ibu ibu sakit diangkut ke perahu karet, pemilik rumah terduduk di atap rumah menunggu bantuan, pemerintah turun ke areal banjir dan menjanjikan sesuatu—entah apa. Tapi hujan memang deras sekali, sehingga tak hanya di darat urusan banjir jadi memenuhi televisi, di udara pun hujan menyebabkan pesawat—penerbangan dari Jakarta ke Bali berguncang guncang dan pramugari mengingatkan untuk tidak menggunakan toilet, mereka mengkhawatirkan penumpang terjungkal atau menjerit jerit sendiri di ruang toilet bila turbulence hebat terjadi.
Mengingat banjir ini ternyata tak mudah diprediksi, saya khawatir beberapa jadwal Bali dan Kendari akan terganggu. Biasanya banjir membuat sebagian rute jalan dialihkan, janji janji ditunda, lebih parah lagi kita tak bisa menyalahkan siapa siapa karena hujan deras ini. Yah meskipun saya tahu, tak semua areal Bali banjir, demikian halnya Kendari. Namun tetap saja ada genangan di sana sini karena hujan lebat tak berhenti.
Di Bali, bila terjadi banjir, suratkabar mengatakan itu disebabkan oleh drainase yang mampet dan atau air tidak mendapatkan tempat. Sedang di Kendari, tambang dan tata kota jadi kambing hitam bila banjir terjadi. Kota ini menjadi langganan banjir sejak beberapa tahun lalu. Misalnya, di 2018, banjir menyebabkan 3 titik lokasi yakni Lelolepo, Andounohu dan Kambu terendam. Di titik pertama, Lepolepo sekitar 411 rumah terendam banjir yang tingginya 2 meter.
Saya pernah mengalami banjir setinggi 15 centimeter di Makassar, sehari setelah banjir ini, punggung rasanya patah karena bolak balik mengangkat kursi, meja, lemari dan lain lainnya, lalu mengeringkan lantai beberapa kali untuk menghilangkan bau. Aduh saya tak bisa bayangkan bagaimana dengan banjir 2 meter?
Di Januari 2020, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika di Jakarta, Dwikorita Karnawati sudah mengingatkan agar Kendari-Sulawesi Tenggara waspada dengan banjir. Areal ini merupakan satu dari sekian areal yang berpotensi banjir akibat curah hujan.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan curah hujan, toh dulu juga curah hujan lebih lebat dari sekarang, atau mungkin sama lebatnya. Yang kurang benar saat ini adalah air hujan tidak mendapatkan tempat penampungan yang tepat---karenanya hujan mencari tempat nyaman, yah manalagi kalau bukan menyerang tempat yang lebih rendah, yang pori porinya telah tertutup semen dan selokan dimampeti sampah?
Di awal Februari 2020, suratkabar memberitakan anggota DPRD Sultra yang tengah reses, menerima keluhan warga Kota Kendari atas banjir yang datang rutin setiap tahun. “Kami menampung keluhan ini,” jawab anggota dewan tersebut. Kata ‘menampung-tampung’ dalam kamus bahasa Bahasa Indonesia masuk kategori kiasan, yang berarti maknanya bisa diartikan berbeda. Kata ini sendiri berarti ‘menadah, menerima, menyambut, mengurus, menampal, dan terburuk menampar’. Artinya, bila keluhan ini diterima dan di tahun depan banjir berkurang karena para pemimpin mampu menyusun strategi rapi mengurangi banjir, maka keluhan benar benar ‘diurus’ dan ‘ditampung’. Namun bila banjir tetap tidak tertanggulangi maka warga pada dasarnya ‘ditampar’.
Kira kira yang mana ya hasilnya? Diurus atau ditampar? (*)