Akar Budaya Korupsi di Indonesia

Abd. Rasyid Masri, telisik indonesia
Minggu, 26 September 2021
0 dilihat
Akar Budaya Korupsi di Indonesia
Prof. Abd. Rasyid Masri, Akademisi dan Pebisnis. Foto: Ist.

" MUNGKIN ada yang tidak setuju kalau budaya korupsi itu budaya peninggalan sistem feodal raja-raja di masa lalu yabg gemar pencitraan dan suka terima gratifikasi dan pemberian hadiah. "

Oleh: Prof. Abd. Rasyid Masri

Akademisi dan Pebisnis

MUNGKIN ada yang tidak setuju kalau budaya korupsi itu budaya peninggalan sistem feodal raja-raja di masa lalu yabg gemar pencitraan dan suka terima gratifikasi dan pemberian hadiah.

Sehingga banyak adipati sampai kepala desa mengumpulkan pajak, mengumpulkan pundi-pundi upeti untuk diberikan kepada sang raja agar tetap ditunjuk jadi adipati dan semacamnya.

Sehingga, ketika Indonesia merdeka, bebas dari kolonial penjajah, sayang,  secara antropologi budaya, bagi-bagi upeti, bagi amplop ilegal dan gratifikasi perselingkuhan penguasa dan pengusaha tidak ikut bebas, malahan jadi budaya.

Jadi, karakter kepribadian pada keturunan anak negeri terus menular sampai sekarang. Apalagi yang hidup di era serba pragmatis, terutama dalam praktek sistem birokrasi Indonesia dan sistem Pemilu dan Pilkada, Pilrek sampai Pilkades.

Berita aktual Rabu 23 September 2021, nalar publik Indonesia khususnya kampung Anoa Sultra,  kaget membaca berita OTT KPK. Bupati cantik yang tercatat sebagai srikandi perempuan pertama yang jadi bupati di jazirah tenggara pulau Sulawesi di Kabupaten Kolaka Timur. Ia baru menjabat bupati 99 hari.

Adalah Andi Merya Nur, dengan barang bukti awal dalam peristiwa OTT KPK sekitar Rp 25 juta, sebagai tahap awal dan menyusul tahap selanjutnya yang diperkirakan hanya Rp 250 juta. Suatu nilai yang ecek-ecek kecil untuk sekelas jabatan bupati.

Tapi bukan nilai jumlah yang menjadi titik tekan dalam tulisan ini. Tetapi pertanyaan “kenapa korupsi begitu menyatu dalam kehidupan negeri ini"? Padahal kita telah banyak berubah, pergantian presiden pun silih berganti.

Era terus berubah dari era raja-raja feodalisme, era kemerdekaan dengan kepemimpinan Orde Lama, era Orde Baru, kini era Reformasi. Justru korupsi semakin menjadi-jadi, bila ukurannya banyaknya pejabat kepala daerah dan menteri serta pimpinan lembaga yang tertangkap OTT KPK.

Baca juga: Transparansi Politik Krisdayanti

Baca juga: Kunci Sukses Berani Mencoba

Pepatah Prancis menyebutkan “Plus ca chang plus c’est la meme chose”, semakin banyak berubah tapi tetap sama saja atau semakin tetap sama. Malahan di Indonesia tambah menggurita dan jadi warisan yang terus terjadi.

Sebagai profesor di bidang sosiologi, yang mengerti sedikit ilmu komunikasi dan manajemen, melihat dari sisi budaya, tradisi feodal-lah yang melahirkan “patron klien“ yang secara sosiologis dan komunikasi politik, seorang penguasa selalu ingin menanamkan pengaruhnya dan kuasanya untuk memberikan proteksi.

Atau boleh jadi benefit kepada koleganya agar terus memberikan dukungan kepada dirinya. Hal tersebut banyak dirasakan sebagai tekanan psikis dan politik para gubernur, bupati, kepala dinas, rektor dan pimpinan lembaga lainnya.

Ketika terpilih, banyak yang tidak tenang, tidak fokus bekerja untuk menyelesaikan janji-janjinya. Akhirnya mencari jalan pintas dengan mencuri uang rakyat dari negara untuk bisa terus membagi-bagikan kepada tim sukses dan pendukungnya. Atau mengumpulkan kembali pundi-pundi untuk bayar pinjaman dan bantuan dari pengusaha atau mengumpul pundi-pundi untuk tetap berkuasa periode selanjutnya.

Sampai sekarang belum ada ahli di manapun termasuk ahli hukum yang bisa melahirkan ide dan gagasan konsep strategi jitu untuk memberantas korupsi. Bahkan KPK yang bertaring di awal kehadirannya kini sering masuk angin dan konflik internal, bahkan jadi bahan kritikan setiap saat.

Korupsi adalah warisan budaya feodal, sehingga belum ada metode untuk bisa memberantas praktek korupsi. Terutama yang tumbuh subur dalam tatanan birokrasi dan lembaga negara lainnya. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga